webnovel

Bab 7

Mendengar itu Dinda merasa beruntung. Mama tidak pernah memaksa untuk memilih jalan hidupnya. ("Kerjakan apa yang mau Dinda lakukan, asal Dinda yakin") kata mama dua tahun yang lalu ketika Dinda dengan nekat mencoba masuk IPA.("Pilih yang benar-benar kau inginkan dan jalani sungguh-sungguh, karena dengan begitu kau telah belajar menjadi dewasa dan bertanggung jawab atas pilihan mu.").

Dinda memandang Bara lagi tatapan Bara masih terpaku pada gambarnya. Ia berharap orangtua Bara bisa berubah pikiran dan menyadari apa yang sebenarnya diinginkan anak mereka.

Di sebelah Dinda walaupun Bara merasa sedih beban di hatinya seakan terangkat sangat lega rasanya menceritakan hal ini kepada orang lain .

Selama ini orang tuanya selalu membuatnya menyadari betapa pentingnya menjadi dokter.

Sedangkan Jihan, ia senang mempunyai pacar calon dokter. Bara tidak bisa membicarakan tentang hasratnya menjadi seseorang yang berbeda, seorang perangcang perhiasan.

Entah berapa lama Bara dan Dinda terdiam di aula sekolah, tapi momen keduanya berakhir saat beberapa orang mendekati mereka.

"Bara" kata salah seorang dari mereka " Disini kau rupanya."

Dinda menoleh ke arah datangnya suara ada 4 orang di depannya. Satu di antaranya adalah Jihan, dan tiga lainnya orang dewasa.

Pandangan seorang pria setengah baya langsung menuju gambar di belakang Bara. Sesaat kemudian tatapannya berubah marah, tapi dia berusaha menahannya.

"Bara, kenalkan " Kata pria itu kemudian sambil menahan emosinya "Ini dekan fakultas kedokteran universitas yang akan kau masuk nanti Dokter Eko Wijaya."

Bara maju selangkah dan mengulurkan tangannya untuk menyalami kenalan papanya.

"Selamat siang, dokter Eko. Senang bisa bertemu dengan anda di sini."

"Panggil om saja" Kata dokter Eko sambil tersenyum hangat.

"Om sudah berkeliling di bazar sekolah kami?" tanya Bara balas tersenyum.

Dokter Eko mengangguk. "Belum sempat tapi sepertinya benar-benar ramai ya, Om dengar dari orang tuamu tahun ini kau mau masuk universitas Om."

Bara hanya tersenyum tipis. "Om dengar dari papamu" Lanjut dokter Eko lagi "Kau ketua OSIS bukan?" Bara mengangguk "Bagus, bagus " kata dokter Eko terkesan .

"Dia juga ketua tim basket Om "Jihan menambahkan.

"Tampaknya selain nilain akademismu yang cemerlang, prestasi di bidang lain juga tidak kalah bagusnya." Dokter Eko tampak terkesan dengan kepribadian Bara baik dalam akademis walaupun non akademis. "Om yakin kau bisa mengalahkan prestasi papamu di universitas nanti".

"Kalau untuk mengalahkan prestasi papa saya tidak yakin tapi setidaknya saya akan berusaha menyamai prestasi papa"Jawab Bara berusaha diplomatis.

Dokter Eko tersenyum pada papa Bara "Putramu ini benar-benar hebat."

Papa Bara tersenyum bangga. "Saya mohon bimbinganya saat Bara sudah masuk universitas nanti." Dokter Eko mengangguk.

"Tentu saja, murid berbakat seperti dia pasti akan berhasil." Tanpa sengaja tatapan dokter Eko beralih ke gambar. Di belakang Dinda. "Kau juga suka melukis?".

Bara mengangguk "iya, om".

"Cuma hobi kok" Sela papa Bara.

"Gambarmu bagus, Bara" Kata Dokter Eko lagi sambil perlahan menepuk pundak Bara.

"Kau benar-benar berbakat. Bara tersenyum tulus. "Terima kasih, om."

Papa Bara tiba-tiba menyela "Ma..." katanya pada istrinya " Bagaimana kalau mama mengajak dokter Eko berkeliling sekolah?"

Mama Bara tersenyum."Ide yang bagus, pa. Dokter Eko mari saya antar berkeliling sekolah."

Seperginya mama Bara dan dokter Eko, papa Bara tidak bisa menahan emosinya.

"Papa kira kau sudah membuang gambar-gambar itu ternyata kau masih berani melukis. Berapa kali papa bilang jangan pernah melukis gambar perhiasan lagi sekarang tapi kau tetap saja melukis, kau berani memamerkannya pada semua orang! Apakah ini artinya kau menantang papa?"

Bara terdiam getir dsebelahnya Dinda kaget mendengar amarah papa Bara. Ia tidak menyangka usul nya untuk menampilkan karya-karya Bara malah berakhir dengan pertengkaran antara anak dan ayah.

Dinda sungguh tidak berharap demikian.

Tanpa memandang papanya, Bara mendekati gambarnya dan mencabutnya dari dinding satu persatu. Setelah selesai dia berbalik ke arah papanya dan berkata "Aku tidak akan melukis lagi. Apakah papa puas sekarang?"

Papa Bara memandang putranya sambil menegaskan "Jangan pernah kau lakukan hal seperti ini lagi." Setelah berkata demikian, papa Bara beranjak pergi dari aula menyusul istrinya.

Dinda memandang kejadian itu dengan perasaan sakit. Sakit yang tak terkira.

"Maaf Bara...," Ucapnya perlahan "Ini semua gara-gara usul ku"

Bara memandang Dinda dengan sedih."Bukan salahmu."

"Apa?! Teriak Jihan memandang Dinda dengan marah."Semua gara-gara kau, Dinda! kau benar-benar keterlaluan. Apakah kau sadar kalau kau baru saja membuat Bara dan papanya bertengkar?!"

"Maafkan aku" kata Dinda sedih. "Aku tidak bermaksud demikian."

Jihan menatap Dinda tajam."Jangan pernah ikut campur urusan Bara lagikalau kau masih berani melakukannya,aku akan..."

"Ini semua bukan salahmu, Dinda," Kata Bara perlahan. "Aku yang memutuskan untuk memasang karyaku disini" Lalu katanya pada jihan "Kau jangan memarahi Dinda lagi Dinda tidak melakukan hal yang salah "Jihan bermaksud memarahi Dinda lagi, tapi tatapan Bara menghentikannya.

Bara lalu membawa Jihan keluar dari aula. Sesampainya di pintu aula Bara membuang semua gambarnya ke tempat sampah.

Dibelakang mereka, Dinda seakan mati rasa Air mata menggenang di kelopak matanya, lalu perlahan keluar membasahi pipi.

Hari ini telah dimulai dengan menyenangkan telah berakhir dengan menyedihkan. Betapa ingin Dinda memutar balikkan waktu, tidak mencoba berbicara pada ketua Club fotografi, tidak berusaha membujuknya menyediakan tempat untuk gambar Bara, dan tidak berbicara pada Bara soal usulnya. Ia baru saja menghentikan mimpi seseorang.

Seseorang yang disukainya dan itu membuat perasaanya semakin buruk. Langkah Dinda berhenti ditempat Bara membuang gambarnya. Gambar-gambar perhiasan di dalamnya sekarang menjadi penghuni tempat sampah Dinda menghela napas panjang.

("Aku mungkin sudah menghancurkan mimpi Bara. Tapi aku tak ingin gambarnya hilang untuk selamanya.").

Perlahan-lahan Dinda mengambil satu persatu gambar tersebut dari tempat sampah, membersihkanya, lalu mendekapnya di dada ("Maafkan aku, Bara") Katanya pada gambar di pelukannya.

Saat bazar akan berakhir pada sore hari, Dinda sudah tidak punya semangat lagi untuk berjualan. Namun, begitu setelah mengumpulkan hasil penjualannya kepada panitia bazar, Dinda di beri selamat karena kiosnya mendapat peringkat pertama.

Dinda sama sekali tidak gembira, sebaliknya hatinya terasa hampa.

Ketika mama pulang kerja malam harinya, Dinda menatap mama dengan sorot mata sedih dan berkata "Bisakah mama memelukku sekarang?"

Melihat putrinya bersedih, mama khawatir "Dinda ada apa?".

Dinda tidak mau membicarakan kejadian tadi siang pada mama. Ia berlari memeluk mama dengan erat "Peluk aku, ma. Aku butuh pelukan mama saat ini."

Mama menghela napas, dibelainya rambut putrinya. "Tidak apa-apa, Dinda semua akan baik-baik saja. Mama ada di sini " Katanya sambil memeluk Dinda dengan erat.