webnovel

The wound in my heart

Nayla seorang ibu rumah tangga mempunyai anak tiga. Sering mendapat perlakuan kasar dari Beni suaminya. Keluarga Nayla pun tak pernah di hargainya. Hingga suatu hari Ibu Nayla jatuh sakit terserang strok, sikap kasar suaminya semakin menjadi-jadi bahkan sanggup mengusir Ibu dan adiknya dari rumah yang mereka tempati. Tiga tahun kemudian Ibu Nayla meninggal dunia. Sungguh hancur hatinya menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi sikap suaminya tidak berubah, bahkan tega berselingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Akibat luka hati yang begitu dalam, Nayla pun pergi meninggalkan Beni, dengan membawa ketiga anaknya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus ya pembaca setia, hanya di aplikasi WebNovel. Ikuti juga ceritaku yang lainnya, 1. Choise Lover 2. It's my dream

Novita_Adha · สมัยใหม่
Not enough ratings
268 Chs

Mengakui kesalahan

Bab 21.

Semua keluarga berpihak padaku, mereka tau apa yang di lakukan Bang Ben itu salah besar. Tak ada sedikit pun kesalahan di limpahkan ke aku, semoga saja kejadian ini bisa membuka matanya.

"Kamu menang, Nay. Semua keluarga sayang dan berpihak padamu."

"Itu karena kesalahan Abang. Semua yang Abang lakukan itu salah dan dosa. Kalau di biarkan, semua keluarga menanggung dosa besar itu," jawabku tegas.

"Akan tetapi, aku kan sudah berkali-kali minta maaf, Nay!"

"Jangan hanya maaf di mulut aja, Bang! Minta ampun juga sama Allah! Karena Allah mendengar semua ucapan dan perbuatan, Abang."

"Mulai sekarang rajin lah beribadah, jangan malas lagi! Sudah banyak rezeki, kesehatan, dan kemudahan di berikan Allah untuk keluarga kita," ucapku lirih.

"Abang tambah sayang dan cinta sama kamu, Nay!" Bang Ben memelukku hangat.

Sebenarnya aku pun belum sempurna menjadi seorang istri. Paling tidak setiap melakukan kesalahan, aku selalu memperbaiki diri. Tidak pernah marah bila di ingatkan. Berusaha untuk menjadi ibu yang baik untuk ketiga anakku. Aku tak pernah mengeluh bila Bang Ben memberi nafkah pas-pasan.

Padahal ia tau nafkah yang di berikannya padaku hanya pas buat makan saja. Susah payah aku menyisihkan sisanya. Kadang punya keinginan beli sesuatu, harus ku tahan sampai tabunganku cukup. Aku tau simpan Bang Ben itu ada. Tapi aku tak pernah minta dan ikut campur urusan tabungnya.

Beberapa kali saudaranya di kampung meminjam duit padanya, dengan cepat ia langsung mentransfernya. Aku taunya ketika saudara itu tak mau membayar hutang, mereka bertengkar hebat melalui telfon. Saat itu Bang Ben perlu modal, membeli spare part bengkel. Aku bingung

kapan ia meminjamkan uangnya, tau-tau sudah ribut saja.

Kalau sudah begitu, barulah ia cerita ke aku, hanya mendengarkan saja lah. Tak perlu ikut campur, karena aku saja pun di jatahnya. Kalau aku meminta lebih, jawabannya selalu uang itu untuk modal bengkel."Lagi pula kalau mau minta banyak, cari uang sendirilah," ucapnya. Kalau sudah begitu, aku pun terdiam menyesali nasib. Kalau punya penghasilan sendiri, pasti ia tak menghina seperti itu.

******

Aku pernah berjualan online, modalnya dari teman, aku hanya mempromosikan saja lewat medsos. Alhamdulillah, bisa untuk tambah uang jajanku dan juga anak-anak. Begitu Bang Ben tau, aku punya uang dari berjualan, eeh ... ia malah lengah memberi nafkah belanja. Alasannya lupa memberikan padaku, karena terburu-buru pergi ke bengkel.

Selalu belanja pakai uangku dulu, nanti kalau Bang Ben sudah pulang, aku minta padanya. Begitu ku minta, jawabnya suka tak jelas. Aku minta hakku dong, salahnya di mana. Ia malah marah dan bilang.

"Kamu ini tak pengertian, taunya minta uang saja, tak tau kalau bengkel sedang sepi tak ada pemasukan." Itu yang selalu keluar dari mulutnya.

"Lalu kalau aku tak punya uang, tak ada penghasilan, kita sekeluarga tak makanlah," jawabku.

"Berapalah penghasilan jualan onlineku, bukan sebesar penghasilanmu. Mana bisa ku tutupi uang belanja setiap harinya. Hanya bisa tambah uang jajan saja."

Aku sudah hapal tabiat Bang Ben ini, tak bisa melihat istrinya punya uang. Niatnya langsung ingin memanfaatkan. Pura-pura mengeluh lagi sepi, lagi susah biar aku tak minta uang padanya. Memberi nafkah itu kan tanggung jawab seorang suami. Kalau tak di penuhi, pasti berdosa besar.

Beda cerita kalau ia sedang sakit, tak mampu menafkahi, pasti posisi mencari nafkah bisa di gantikan istri. Nah ini ia sehat, bisa bekerja, punya uang lagi. Giliran saudaranya pinjam uang, cepat di bantunya. Sedang sama istri sendiri sangat perhitungan sekali.

*******

Beberapa kali ketiga anakku dapat bantuan beasiswa dari sekolah. Uang sekolahnya di gratiskan selama enam bulan karena mereka siswa berprestasi. Setiap kenaikan kelas, pasti dapat beasiswa itu. Tapi aku tak pernah bilang ke Bang Ben. Takut nanti ia tak mau lagi membayar SPP anaknya. Sementara beasiswa itu sifatnya hanya sementara.

Jadi uang SPP yang di berikan Bang Ben setiap bulannya aku tabung. Ku pakai hanya untuk keperluan sekolah mereka. Misalnya: membayar uang buku, uang kas dan uang ekskulnya. Aku bisa sedikit bernafas lega karena ada uang simpanan. Belum lagi kalau anak sakit, harus di bawa ke klinik, pasti perlu biaya. Menunggu Bang Ben mengeluarkan duit, bisa-bisa anakku mati karena kelamaan di bawa berobat.

Aku harus bisa sabar dan bertahan demi anak-anak. Mungkin menurut sebagian wanita di luar sana, tak mau repot memikirkan ini. Bagiku tak ada gunanya juga bertengkar setiap hari. Tak merubah keadaan yang telah terjadi. Karena ku lihat niat Bang Ben ingin berubah, makanya aku mau di bujuknya pulang kembali ke rumah.

Padahal aku mulai betah tinggal di rumah Bapak. Soal pekerjaan, aku bisa meminta Bapak untuk menjadikan aku tenaga pendidik di pesantren tempat ia mondok.

Sekolah anak-anak bisa di pindahkan ke sini, tapi itu tak ku lakukan. Aku lebih mendengar nasihat Bapak, ketimbang mengikuti egoku.

Begitu Bang Sanif dan Kak Eli tau, kalau kami sudah pulang dari berlibur, mereka pun datang dan menanyakan semua kebenaran berita tentang Bang Ben ini. "Berhubung orangnya ada di depan kita, tanyakan saja langsung," ucapku. Mereka semua terdiam, tak berbicara apapun. Dengan diamnya Bang Ben, mereka menyimpulkan sendiri jawabannya.

Menjadi penengah di antara kami tak jadi masalah. Kalau hanya memperkeruh keadaan lebih baik, tak usah ikut campur. Biar kami sendiri yang menyelesaikannya. Lagi pula Bang Ben setiap hari pulang ke rumah kok. Tak seperti Bang Sanif, lebih banyak waktu di luar kota ketimbang dengan keluarga.

*******

Selesai urusan dengan kakak ipar dan suaminya. Kini giliran iparku yang tinggal di kampung, menelfon dan menanyakan kebenaran masalah yang sedang ku hadapi. Mereka mendapat kabar dari suami kakak ipar yang di sini. Ia menyebarkan ke semua keluarga suami dan ke keluargaku juga. Mereka ingin dengar sendiri masalah ini, dari mulut kami berdua, tanpa mendengar dari satu pihak saja. Aku di telfon seusai makan malam. Awalnya menanyakan kabar kami, setelah itu, mereka berbicara langsung dengan Bang Ben dan ingin tau cerita yang sebenarnya.

Setelah berbicara yang sebenarnya, Bang Ben di marahi habis-habisan oleh kakaknya itu. Jangan karena kasihan pada orang lain, lalu mengorbankan keluarga sendiri. Jangan jadi bodoh gara-gara cinta sesaat. Banyak lagi nasihat yang di berikan mereka, Bang Ben hanya mendengarkan tanpa berani membantahnya. Padahal hubungan kami mulai membaik, kok malah di ingatkan lagi oleh keluarga Bang Ben.

Setelah dua minggu pulang dari rumah Bapak, akhirnya kedua adikku Ivan dan Derry pun tau juga. Mereka di beritahu oleh abang ipar. Sekarang mereka sudah ada di rumah. Bang Ben mengakui kesalahannya dan tertunduk malu. Setau mereka Bang Ben selalu bersamaku, hampir tak ada celah untuk sendiri. Mereka tak habis mengerti, kok tega Bang Ben melakukan itu terhadapku.

Karena mereka paling tau, sebesar apa pengorbananku selama menikah dengannya. Sampai ibuku sendiri  terabaikan. Hanya karena patuh terhadap aturan Bang Ben. Sungguh malu rasanya, kami yang punya masalah, kedua keluarga besar, ikut menengahi dan menasihati.

Bersambung ....