webnovel

Pagi Depan Mata Air

Lintang menjadi orang pertama yang bangun pagi usai acara cukup panjang semalam. Masih jam lima pagi, namun langit sudah agak terang diluar sana, mengundang Lintang untuk membuka pintu depan base camp, sekedar menghirup udara segar sebelum beraktivitas padat nanti siang.

Aktivitas pagi di distrik Sierra Leone itu rupanya cukup ramai. Beberapa orang yang memiliki ladang pertanian tampak berjalan beriringan ke tempat kerja seraya mengobrol asik, sesekali tawanya dapat Lintang dengar dari kejauhan. Itu dia, suasana hangat yang selalu Lintang rindukan dalam proyek-proyek kesehatan di pedalaman.

Baru saja meregangkan bahu, sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Ah, Lintang sudah tahu, siapa lagi kalau bukan Zevanya?

"Morning, Dokter," sapanya imut, seperti anak kecil Ia menyembulkan bawah dibalik leher Lintang, membuat pria itu kegelian sendiri.

"Morning, Zeva. Gimana tidur tadi malem? Nyenyak gak? Atau banyak nyamuk?" Lintang balik merangkul Zevanya hangat. Sudah lama percakapan intensif seperti ini tak mereka lakukan, terhadang jarak dan pekerjaan.

Zevanya mengangguk, "Aku kayaknya kekenyangan deh, Lin."

"Oh ya? Jadi nyenyak tidurnya?"

"Iya, hehe."

"Hmm oke. Kamu mau jalan-jalan gak?" tawar Lintang kemudian. Udara pagi, pemandangan pedesaan, dan seorang pasangan sepertinya menjadi kombinasi penyemangat yang tepat.

Zevanya hanya mengangguk, lalu Lintang menggenggam tangannya sepanjang perjalanan kecil mereka itu. Alangkah menggemaskan mereka yang baru bangun tidur itu, hanya mengenakan kaos, celana pendek, dan sandal jepit.

"Hi, Doctor Lintang!" Seorang anak laki-laki menyapanya dari atas sepeda onthel besar dan tinggi. Tinggi anak itu tak sebanding dengan sepedanya.

"Ooow hello, Alam! Where are you going?"

"I will go to school later, Doctor. But now, buy some food first," jawabnya kemudian pamit, tampak agak terburu karena seingat Lintang, rumah anak itu cukup jauh di perbatasan desa.

"Kamu tuh manis banget ya kalau sama anak-anak?" Zevanya memuji, dan Lintang sudah biasa.

"Biar Kamu diabetes disini, banyak lihat yang manis-manis karena Aku pasti selalu berinteraksi dengan anak-anak."

Zevanya tertawa, lalu melanjutkan langkah mereka sampai berhenti di depan mata air yang menjadi sumber pengairan utama ladang padi hingga ubi kayu.

"Bagus ya?"

"Hm, bagus. Kayaknya kapan-kapan Aku harus melukis disini deh, Lin." Zevanya mulai terinspirasi, melukis memang bakat dan hobinya.

"Jangan kapan-kapan, kapanpun bisa, pasti Aku temenin. Udah lama gak mendampingi bakat seni Kamu yang satu itu." Lintang mengelus surai lembut Zevanya sayang. Namun Zevanya malah teringat sesuatu, "Kamu gak mau cerita kenapa sempet di Indonesia waktu itu? Aku juga mau penjelasan lengkap kenapa Kita harus mundur jadwal nikahnya."

Lintang berubah ekspresinya, sedikit memudar, meski tangannya itu menggenggam Zevanya lebih erat, pun ditumpukan ditengah kedua telapak tangannya, "Ini ..."

"Masalah keluarga. Sebenarnya Aku gak mau ngasih tahu Kamu, tapi lama-lama Aku juga gak bisa memendam ini sendirian ..."

Zevanya mengangguk, memberikan atensi dan afeksi penuh pada Lintang yang tengah mengeluarkan perasaan aslinya. Astaga, belum apa-apa Zevanya sudah merasakan kesedihannya.

"Kamu janji ya, jangan katakan ini ke siapapun?"

"Iya, Lintang. Tenang aja, apa masalahnya?"

Lintang menghela nafasnya berat, "Kamu harus tau kalau Aku ... sekarang punya tanggung jawab lain diluar pekerjaanku sebagai dokter anak."

"Ehm ... soal bisnis sinematografi Kamu?"

Lintang menggeleng, "Bukan, tapi perusahaan keluarga, cukup besar, dan Aku harus menggantikan peran Papaku, karena beliau ... tengah dalam kasus hukum."

Zevanya membulatkan matanya, lalu mengingat kembali beberapa artikel berita yang sekilas Ia lihat tanpa membaca keseluruhan, "Lin, apa Papa Kamu ... satu dari tiga perusahaan ..."

Lintang mengangguk, "Iya, Papaku salah satunya. Maaf Aku baru memberitahu Kamu sekarang, Ze. Awal rencanaku padahal ... Kita akan buat pertemuan keluarga bulan depan, memperkenalkan Kamu ke keluargaku, dan sebaliknya. Tapi yang terjadi benar-benar diluar dugaan, dan itu juga turut menjadi alasan kenapa Aku harus menunda pernikahan Kita ..."

"Tapi menurutku itu bukan alasan untuk menunda juga, Lin. Mau gimanapun kondisi atau latar belakang Kamu, Aku akan tetap menerima Kamu," potong Zevanya. Sungguh kalimat yang sangat Lintang butuhkan sebagai konfirmasi.

"Makasih, Ze. Tapi ... Aku juga perlu bilang kalau urusan kasus ini akan menjalar kemana-mana, termasuk ke ranah pribadi. Aku gak mau kalau suatu saat Kamu akan terseret. Lebih baik Kita tunggu sampai situasinya kondusif, dan Aku janji sama Kamu untuk mempercepat ini semua, biar Kita bisa fokus lagi. Ya?"

Zevanya menghela nafasnya berat, "Oke, Aku memaklumi Kamu kok. Kalau gini kan enak, Lin. Aku jadi paham," ujarnya, membuat Lintang kembali mengulas senyum, "Maaf ya, Aku bingung kemarin. Cerita gak ya, cerita gak ya. Aku malu, Aku ragu, Aku ... juga takut dengan respon Kamu gimana. Tapi rupanya Aku beruntung karena Kamu pengertian. Once again, thank you, Zevanya."

"Sama-sama. Apa ada yang bisa Aku bantu buat kasus Papa ini, Lin?"

"Belum, dan gak pernah ada."

"Kok gitu?"

"Tadi denger kataku? Kamu gak boleh terlibat. Cukup Kamu jadi tempatku cerita ini itu, udah cukup."

Zevanya sekali lagi menghela nafasnya, "Oke. Ngomong-ngomong siapa lagi yang tau soal ini selain Aku?"

"Cuma Tama."

"Really? Kamu sangat dekat sama Tama rupanya?"

Lintang mengangguk, "Ya, Kamu gak tau kalau Kami itu best friend?"

Zevanya memutar matanya, geli mendengar nada flamboyan dari Lintang, "Tau sih, cuma kan kalian tuh semacam kontras banget kepribadiannya. Agak kaget kalau sedeket itu sampai berbagi rahasia penting."

"Hm, awalnya gak sengaja, karena Tama mendesak buat diceritain."

Zevanya mengangguk, "Terus sampai mana proses hukum Ayag Kamu? Kabarnya baik kan? Kamu pastikan terus?" tanyanya selaku calon menantu idaman.

"Kabar Papa baik. Dalam waktu dekat akan diselidiki kedua kalinya."

"Ah, tapi Kamu yakin kan Papamu gak bersalah?"

"Sangat yakin, dan di penyidikan kedua ini, nama-nama dalam sistem kejahatan struktural ini harus muncul ..."

"Papa memang salah, dan itu gak akan menjadi kesalahan fatal kalau semisal sudut pandang para penegak hukum tidak hanya pada profit, hasil akhir ..."

"Papa dinilai melanggar birokrasi, tanpa diberi kesempatan untuk menebus atau sekedar memperbaiki kesalahannya ..."

"Hukum memang ada, tapi untuk diinjak oleh kaum berkuasa, diatur semua semau mereka," final Lintang, matanya penuh ambisi, meskipun semua yang diucapkannya barusan masih tanda tanya, penuh ketidakpastian.

Zevanya memeluk kembali Lintang, membuat pria itu sedikit tertunduk lesu, "Aku tau Papa Kamu pasti orang baik, orang hebat, maka beliau bisa memiliki anak yang seperti Kamu ..."

"Aku selalu akan temani Kamu ya, Lin. Jangan sungkan lagi, dan semoga masalah Papa cepat selesai."