webnovel

The Palue

Nggak pernah ada yang tahu peristiwa apa yang akan terjadi di masa depan kehidupan kita. Hanya perlu berjalan di jalan yang tepat dan percaya pada orang-orang yang kau sayangi. Setidaknya kita sudah berusaha untuk kehidupan di masa depan.

dounat · วัยรุ่น
เรตติ้งไม่พอ
1 Chs

The Palue

"Cut cut! Kalian istirahat dulu." Ujar manajer mereka.

Semuanya langsung lemas, lima cowok itu menghela nafas panjang. Tubuh mereka sudah capek dan keringat bercucuran di wajah mereka.

"Vin! Fokus! Kita udah take berkali-kali, jangan nyusahin yang lain dong." Mereka semua menatap Marvin kesal.

"Tau nih, belum makan juga." Ucap Dave lemas.

"Kenapa si hyung? Mukanya kusut gitu," Farrel dan yang lainnya mendekat, ada yang bersandar di bahu, duduk dan tiduran. Namun hanya satu yang langsung pergi dari sana.

"Sorry, kepikiran Hannah. Dia pasti di rumah sakit sendirian," kata Marvin. Dia merasa bersalah karena pengambilan gambar untuk album pertama mereka seharusnya sudah selesai dua jam yang lalu namun dia malah memperlambat.

"Maaf ya kita jadi telat pulang," sesal Marvin pada mereka.

"Sans aja Vin, tapi jangan gitu lagi ya. Udah remuk nih badan," Gavin meringis sambil memijat-mijat tangannya sendiri.

Marvin mengangguk dan saat itulah manajer mereka memanggil mereka untuk bersiap. Namun mereka tidak melihat Zach, Zach adalah leader mereka. Artinya dia orang yang bertanggung jawab atas semua anggotanya. Tapi malah dia yang menghilang, siapa yang akan bertanggung jawab?

"Kucing ini harus diperhatikan, dia bakal tidur sembarangan di tempat umum," salah satu staff keluar dari rest room menyeret Zach yang masih setengah tertidur.

"Haaa iya aku bangun." Ucapnya setengah sadar.

Setelah Zach mendapat kesadarannya, mereka mulai atur posisi dan mulai merekam lagi. Akhirnya setelah dua kali take mereka beres mengambil gambar untuk foto album mereka. Mereka diizinkan pulang setelah memastikan beberapa hal, setelah sampai di dorm masing-masing supir mereka berpesan agar jangan keluar malam sendirian. Untuk berjaga-jaga dari fotografer, sasaeng fans dan berita buruk yang mungkin akan timbul.

Namun pesan itu sepertinya keluar lewat telinga kiri Marvin, karena setelah beberes ia langsung bersiap pergi dengan pakaian serba hitam. Farrel memergoki marvin saat cowok itu mengendap-ngendap menuju tangga darurat. "Marvin hyung, kau mau ke mana?" tanya Farrel yang tidak tahu cara mengecilkan suara.

"Ssstt kecilkan suaramu, aku akan ke rumah sakit. Jangan beritahu siapapun." Jawab Marvin agak panik, takut suara Farrel terdengar orang.

"Percayakan padaku, hati-hati," Ucap Farrel agak berbisik saat ia sadar suaranya terlalu keras. Tidak perlu Farrel tanya, dia juga tahu kenapa Marvin mau ke rumah sakit.

"Aku pergi," sosok Marvin menghilang dibalik tangga setelah melambai pada Farrel.

"Siapa?" tanya cowok dengan rambut basah yang tidak sengaja mendengar sedikit pembicaraan Farrel.

Farrel yang kaget tidak tahu harus menjawab apa, "a-aku berbicara pada hantu, ya hantu."

Cowok itu hanya menatap tajam sambil mengangkat alisnya.

Mampus. Maki Farrel dalam hati.

—Di rumah sakit—

"Ya Mom, aku akan memberi tahunya," tangan Marvin yang akan membuka pintu kamar rawat Hannah berhenti di udara.

"Aku tahu," Hannah sedang di telepon.

"Ya kau benar, aku akan menyusahkannya di masa depan," Marvin menyatukan alis, siapa yang menyusahkan siapa? Pikirnya.

Marvin ingin mengurungkan niatnya, masuk dan mengejutkan gadis itu dengan kedatangannya. Pikirannya berlabuh saat ia bertemu dengan Mama Hannah dulu, tatapan menilai datang pertama kali saat wanita paruh baya itu melihat Marvin. Mereka hanya bertemu sekali, tapi pertemuan itu masih melekat di benak Marvin.

Namun, ia bukan anak kecil lagi ia harus menghadapi apapun yang terjadi di beberapa menit kedepan.

"Hannah!" ucap Marvin riang saat membuka pintu.

"Marv! Sejak kapan kamu datang?" ucapnya sambil berlari membawa infus ke Marvin lalu memeluk dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang cowok itu.

"Baru saja, gimana kabarmu?" Marvin balas memeluk, tangannya yang lebar lebih dari cukup untuk melingkar di tubuh mungil itu.

"Jauh lebih baik, untunglah nggak harus operasi. Aku akan pulang besok pagi," Hannah menatap Marvin.

"Bagus kalau begitu, kamu mau apa saat keluar rumah sakit?" Tanya Marvin, ia balas menatap Hannah. Dari sudut Marvin, Hannah terlihat sangat mungil di dekapannya.

"Aku belum memikirkannya," jawab Hannah. "Bisakah kita duduk? Aku mulai lelah berdiri."

"Tentu saja princess, mau ku gendong?" Goda Marvin.

"Marv aku bukan anak kecil!" Teriak Hannah, malu.

"Kamu terlihat begitu mungil bagiku," Marvin terkekeh, melihat Hannah berjalan sambil menghentakkan kaki ke lantai.

"Serius Marv!" Hannah mulai kesal, namun dari sudut pandang Marvin tetap saja terlihat menggemaskan.

"Memang apa yang perlu dibicarakan harus serius begitu? Pernikahan kita?"

Bukannya teriak kesal Hannah lagi yang Marvin dengar namun hanya keheningan yang menjawab godaan Marvin. Hannah terlihat diam di depan sofa. "Hei, apa aku salah bicara?" Ujar Marvin takut-takut.

"Nggak, hanya saja kita masih muda untuk itu."

"Kita sudah memenuhi syarat, Hannah. Apalagi halangannya?" Entah kenapa Marvin ingin membicarakan hal ini dengan Hannah.

"Karir dan impianmu, aku takut merusak keduanya." Hannah tetap membelakangi Marvin saat mengatakan itu.

"Aku bisa keluar dari sana jika kamu mau. Jika kau takut akan kemiskinan setelah kita menikah, aku bakal nerusin usaha Ayah—"

"Usaha yang bahkan nggak ada harapannya itu?! Hah? Kau mau aku tinggal denganmu seumur hidup di gubuk tua dan reyot?!" Hannah berbalik dan berteriak pada Marvin.

Marvin terlalu syok untuk menanggapi Hannah, dan setelah beberapa saat Marvin mulai kesal, "kamu baru saja menghina Ayahku?"

"iya! Dan kau tau apa Marvin? KAU TANPA KARIR RENDAHAN ITU BUKAN APA-APA! KAU JAUH BERBEDA DENGAN JASON! JAUH MARVIN!" Suara Hannah meninggi, ia bahkan menunjuk Marvin dengan jarinya.

"Oh, jadi kau punya pria lain?" Marvin malah tertarik dengan hal lain.

"Iya." Gaya bicara Hannah berubah, terlihat angkuh. "Memangnya kau mau apa?"

"Enggak, selamat bersenang-senang." Setelah mengatakan itu Marvin keluar dari kamar rawat Hannah begitu saja. Tanpa ada pelukan seperti biasa.

Hannah terduduk di lantai, lalu mengambil handphone yang ada di sofa belakangnya. Ia menekan beberapa kali di sana, sampai ada bunyi pertanda sudah terhubung telepon dengan seseorang.

"Aku sudah melakukannya."

"..."

"Dia datang malam ini."

"..."

"Sesuai yang Mom ajarkan padaku tadi," air mata mulai turun dari pelupuk Hannah.

"..."

"Baiklah, bilang terimakasih pada Jason. Aku akan menemuinya besok," kristal bening itu sudah tidak bisa ditolerir jatuhnya, tapi Hannah belum mengeluarkan suara isakan.

"..."

"Aku mengerti," barulah saat menutup sambungan, tangisan Hannah pecah. Ia menarik lutut dan menelungkupkan kepalanya.

Ia menangis sendirian di kamar rawat yang sepi itu, tidak ada siapapun yang datang dan memeluknya.

—Kediaman 5 Pride—

"Darimana saja kau?" Zach di sana bersama Farrel, Marvin tahu ini akan diketahui Zach cepat atau lambat.

"Rumah sakit," jawab Marvin seadanya.

"Siapa yang kau temui?" Zach mulai mengintrogasi Marvin. Sedangkan Farrel di sana, menjadi saksi kepergian Marvin setengah jam yang lalu.

"Hannah."

"Aku menyewa beberapa orang untuk mengikutimu tadi, kau beruntung tidak ada fotografer malam ini. Lebih baik jangan menemui Hannah lagi." Ujar Zach tegas.

"Tidak akan."

"Kau boleh kembali," kata Zach.

Marvin langsung pergi ke dorm nya, Farrel hanya bingung kenapa dia tidak jadi amukan Marvin karena dia sudah beritahu Zach. "Marvin hyung kenapa?"

Zach hanya diam melihat pintu drm Marvin yang perlahan menutup, ia tidak tahu ada masalah apa diantara mereka. Namun sepertinya tidak baik.

—5 tahun kemudian—

"Kau tahu apa dengan negara ini ha?" Ejek Dave pada Farrel.

"Hei! Aku tahu beberapa kalimat yang digunakan di Amerika, seperti ini contohnya. Hei sup bro! How are you?"

"HAHAHAHAHA," Dave tergelak, ia sangat terhibur dengan Farrel hari ini.

"Hei! Kalian makan dulu! Jangan sampai satu diantara kalian tersedak kaki kepiting." Ujar Gavin agak kesal. Namun ia ikut tertawa setelahnya karena aksen yang dituturkan Farrel sangat lucu. Sedangkan Zach dan Marvin hanya diam menikmati makanan sambil sesekali mendengarkan lelucon mereka bertiga.

Mereka—5 Pride—mengadakan konser di Amerika, sekarang mereka sedang menikmati indahnya kota New York. Tanpa ada kamera, namun tetap diawasi beberapa orang. Ini adalah salah satu dari sekian banyak jadwal konser yang mereka punya, sekarang mereka sudah sukses dan digemari banyak orang.

Saat sedang menikmati spageti, Marvin kaget karena disentuh seseorang—oh bukan itu hanya bayi yang meraih rantai pada celananya. Karena menggemaskan Marvin bertanya, "sedang apa kau di sini hm? Dimana ibumu?"

Member yang lain ikut teralihkan perhatiannya pada bayi itu, "astaga dia menggemaskan sekali."

"Apa itu milikmu Vin?" Pertanyaan itu datang dari Gavin, namun diabaikan karena bayi di samping Marvin itu hampir jatuh.

"Hei, hati-hati. Ayo paman bantu carikan ibumu," Ucap Marvin lembut.

Saat akan menuntun bayi itu berjalan, ada suara yang Marvin kenal memanggilnya. "Marvin?"

Marvin mendongak, agak terkejut dengan siapa yang memanggilnya. Setelah 5 tahun tidak bertemu. Mereka dipertemukan dalam dalam keadaan yang tidak terduga, "Hannah." Marvin menengok ke belakang Hannah, ada seorang pria dengan pakaian santai menatap mereka, jadi Marvin langsung tahu, "ini pasti bayimu." Kata Marvin sambil menyerahkan pria mungil itu pada Hannah.

Itu Jason.

"Ah iya, terimakasih." Ucap Hannah kaku karena baru saja menatap Marvin yang ada di depannya.

"Kau nggak tinggal di gubuk tua dan reyot kan?" Tanya Marvin tiba-tiba.

"Marvin aku—" perkataan Hannah terpotong oleh Marvin.

"Aku tahu Hannah, kau hanya menuruti Mamamu." Ucap Marvin, lembut.

"Bagaimana kau tahu?" Tanya Hannah, bingung.

"Sebelum masuk dan setelah keluar kamar rawat mu, aku dengar semuanya. Maaf aku menguping pembicaraan kalian."

Hannah menghembuskan nafasnya, lega.

"Nggak papa. Syukurlah kau tahu kebenarannya. Aku harus pergi, pria mungil ini mulai rewel." Dilihatnya bayi itu meminta pergi, menunjuk pria di belakang Hannah.

"Baiklah, semoga harimu menyenangkan." Kata Marvin.

"Kau juga," balas Hannah.

Setelah Hannah pergi Marvin duduk dan akan mulai memakan lagi spagetinya. Namun tatapan semua orang di meja itu menuntut Marvin untuk menjelaskan. "Yang kalian lihat benar, itu Hannah. Jangan melihatku seperti itu. Makan makanan kalian sebelum dingin," kata Marvin menunjuk makanan Farrel, Dave, dan Gavin.

Mereka yang penasaran harus menunggu Marvin menceritakannya, dan mereka melanjutkan makan. Zach yang duduk di sebelah Marvin berkata, "aku tahu kau nggak membencinya."

"Nggak bisa, dia cuma gadis yang polos. Syukurlah dia baik-baik saja." Kata Marvin sambil sekali lagi menengok ke belakang, dimana keluarga kecil itu bersantap siang. Senyum Hannah mengenbang di sana begitu juga Marvin.

Creation is hard, cheer me up!

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

dounatcreators' thoughts