webnovel

Ch. 19 — Bakat

Selama beberapa jam terakhir poin pengalaman Nier tumbuh dengan kecepatan yang fantastis. Dari yang awalnya level 1 sekarang sudah mencapai level 7. Dan jika Nier mendaftarkan namanya ke dalam Hall of Fame, gelar pemain nomor satu dunia pasti dengan mudah dia ambil.

Namun bukan itu yang ada di pikirannya sekarang.

Ia harus berpikir bagaimana cara memanfaatkan Brune sampai ke batas maksimal sebelum dia pergi meninggalkan desa esok hari.

'Apa kita pindah map saja? Kalau tidak salah ada kediaman Goblin di sekitar sini.'

Menaikkan level memang bagus, tapi setelah itu apa? Ia tidak akan mendapatkan manfaat apa pun lagi setelah Brune pergi. Ia butuh sesuatu yang berguna, yang bisa dijadikan sebagai pedoman selama satu tahun menunggu.

Nier melihat ke langit, matahari sedikit demi sedikit mulai tenggelam.

'Hari juga sudah mulai malam, jika kita berburu pun levelku tidak akan meningkat banyak.'

Disaat Nier berpikir, Brune pun angkat bicara.

"Nier, aku minta maaf ya, tapi teknik bela dirimu sungguh buruk. Aku jadi penasaran dari mana kau belajar gerakkan aneh itu?"

"Hah? ..." Nier tidak bisa berkata-kata, ditanya seperti itu membuat dirinya sangat malu. Soalnya ia tidak pernah sekalipun belajar ilmu bela diri dan hanya mempraktikkan gerakan yang sering muncul di film aksi.

"Kau harusnya meninju dengan seperti ini, kuatkan fondasi kaki dan kencangkan otot perutmu, lalu..." Brune mulai mengambil kuda-kuda, dan kemudian.

Boom!

Gelombang kejut dari tinjunya membuat pohon besar yang berada di lintasan bergetar hebat sebelum akhirnya patah dan roboh. Satu tinjuan sederhana yang bahkan tidak mengenai target dapat membuat kerusakan yang hebat.

Apakah itu karena perbedaan statistik? Itu mungkin. Tapi Nier percaya apa yang dikatakan Brune, gaya bertarungnya pasti salah. Bahkan jika dunia ini dipenuhi dengan statistik, Nier percaya ada kekuatan lain yang dapat mempengaruhinya.

"Bisa kau contohkan lagi? Sepertinya aku mengerti apa maksudmu." Mohon Nier. Ia mencoba mengingat beberapa detail kecil pada gerakan Brune.

Brune menatap Nier dengan kasihan, setelah beberapa jam mereka bersama, ada satu hal yang ia yakini. Nier memang memiliki semangat yang bagus, namun sayangnya ia tidak memiliki bakat dalam pertempuran.

Sudah banyak ia melihat kasus seperti Nier, seseorang yang memiliki semangat namun dihalangi oleh bakat. Dan ironisnya seseorang yang berbakat malah bermalas-malasan tanpa berusaha sama sekali. Takdir memang kejam, tapi begitulah hidup.

Brune kemudian tersenyum, karena ini adalah permintaan dari temannya mana mungkin dia menolak. Jika gerakan tadi terlalu cepat, maka ia akan mengulang gerakan dengan lebih lambat agar Nier bisa melihatnya dengan jelas.

"Baiklah, pertama lakukan seperti ini..." Brune mulai menyiapkan fondasinya. "pastikan kakimu menapak dengan kuat. Kaki, tubuh, dan otot harus menjadi satu kesatuan. Dan yang terakhir gunakan gaya sentrifugal untuk meningkatkan daya hancur seperti ini..."

Boom!

Pohon langsung tumbang, padahal gerakannya lebih pelan dibanding sebelumnya.

Nier mengangguk seolah mengerti.

"Cobalah, kau akan tahu seperti apa bedanya." Kata Brune.

Pada awalnya Brune tidak berharap banyak. Gerakan tadi adalah gerakan yang sangat gampang, tetapi dibutuhkan beberapa koreksi agar gerakan itu menjadi sempurna.

Gerakan tubuh, perpindahan otot, timing, dan konsentrasi adalah hal yang paling dibutuhkan. Tetapi Brune sengaja tidak mengatakan itu karena terlalu rumit untuk seorang pemula. Biarlah mereka belajar dasar terlebih dahulu dan setelah gerakan mereka membaik baru kelas lanjutan dimulai.

Bam!

Sebuah pukulan lemah akhirnya menghantam pohon. Tidak hancur dan roboh, melainkan hanya sedikit bergetar disertai dengan beberapa daun yang berjatuhan.

"Aduh sepertinya gagal ya." Ucap Nier sembari memegang tangannya yang sakit. Untung saja tidak ada kerusakan, jika iya dirinya pasti sudah diteleport kembali ke desa pemula.

Di sisi lain Brune tampak diam, dan kemudian menyuruh Nier mengulangi gerakannya. Ia memang kurang fokus tapi entah bagaimana ia bisa melihat Nier menirukan gerakkannya terlalu baik.

'Aku pasti salah lihat.' Pikirnya, sebelum...

Bam!

Nier benar-benar melakukannya dengan sempurna.

Rahang Brune hampir jatuh, walaupun kerusakan yang diberikan sangat kecil. Tapi tidak salah lagi, kekuatan serangan Nier jauh berbeda dibanding sebelumnya.

'Apa dia ini sebenarnya berbakat?' Pikir Brune.

Biasanya seseorang yang berbakat memiliki kemampuan diri untuk berkembang. Misalnya dalam 100 kali ayunan pedang, tubuh mereka pasti secara otomatis mulai menyesuaikan gerakan dengan cara yang efektif dan efisien.

Namun tidak dengan Nier, dia telah melakukan 1000 gerakan tinju, tapi tidak sekalipun tinjunya berubah dan terasa sangat monoton. Kesalahannya juga terjadi di tempat yang sama selama ribuan kali.

Namun sekarang, gerakan Nier benar-benar sudah berada di luar imajinasinya. Dari 10 gerakan yang diperagakan, seluruhnya dilakukan dengan sangat sempurna. Seolah-olah Brune bisa melihat bayangan dirinya dalam gerakan Nier.

"Ada sedikit kesalahan, kau harus sedikit mengecilkan fondasi kaki seperti ini." Brune mencoba memperagakannya.

"Tapi ini agak berbeda dari yang tadi kau ajarkan. " Sela Nier tiba-tiba.

"Cobalah, kau akan mengerti apa maksudku."

Nier sekali lagi mencoba dengan gerakan yang baru dan hasilnya bisa dilihat dari wajahnya yang tampak puas. Tentu saja karena perbedaan ukuran tubuh, walaupun gerakkannya sama perlu sedikit penyesuaian agar mendapat hasil yang maksimal.

Dari sini Brune menyadari beberapa hal tentang Nier.

Pertama, Nier adalah pembelajar yang cerdas. Sekali diajari dia akan langsung mengerti. Mau sesulit apa pun tekniknya Nier mampu mengulanginya dengan gerakkan yang sama persis.

Kedua, dia membutuhkan pengajaran visual. Jika melalui verbal, teknik yang dikeluarkannya terasa seperti sampah. Terlihat sangat kaku dan aneh.

Dan yang terakhir, walaupun terlihat jenius, namun sayangnya Nier tidak memiliki peluang untuk berkembang. Dia hanya bisa mengulangi gerakkan yang sama tanpa bisa melakukan improvisasi. Jika tidak diajarkan, dia tidak bisa berkembang.

Agak mengecewakan tapi sejujurnya itu sudah hebat. Hingga kemudian kata-kata Nier selanjutnya membuat Brune membeku.

"Guru, tolong ajari aku lagi."

"Hah? Siapa yang kau panggil guru, aku hanya mengajarimu sedikit." Tolak Brune.

"Tidak, kau adalah guruku. Tolong terima aku jadi murid, kakak brune– tidak maksudku Master Brune!" Nier bersujud seolah serius menganggap Brune sebagai gurunya.

"Aku masih 20 tahun, dan seorang paladin tidak boleh memiliki murid langsung." Brune mundur melihat reaksi aneh temannya ini.

"Ayolah Master Brune, jangan malu-malu. Aku selalu siap menjadi muridmu." Nier tidak ingin mundur. Sebab kekuatan inilah yang ia cari-cari, jika 1 tahun ia belajar dengan Brune, tidak terbayang seberapa kuatnya dia nanti.

Sayangnya upayanya harus pupus karena Brune menolak tanpa henti. Dia terlalu kaku dengan peraturan ordo dan tidak akan melakukan apa pun yang bertentangan dengan peraturan.

"Yah, apa boleh buat... Walaupun aku merasa kecewa. Hmph!" Nier akhirnya menyerah.

"Hahaha jangan begitu, aku akan mengajarimu beberapa gerakkan lagi sebagai gantinya." Brune senang bisa bebas dari rengekan Nier.

Hanya saja, sebagai seorang seniman bela diri, dia tentu penasaran seberapa jauh temannya ini bisa berkembang jika terus menyerap teknik-teknik orang lain. Yang pasti, itu pasti sangat mendebarkan.