webnovel

Tidak Baik-baik Saja

Yohan segera masuk ke dalam dan mendapati Dio memegang tenggorokannya di lantai sembari kejang kejang.

"Tuan Muda!"

Ia berlari mendekat dan berjongkok. Ada sekotak pil yang bertuliskan racun hama tergeletak di sampingnya.

"Astaga!" paniknya.

Yohan lalu memukul mukul punggungnya agar pil itu keluar dari tenggorokannya. Dan beruntung nyawa Dio terselamatkan hari itu. Ia kemudian memberitahukannya pada Holan.

Holan sangat sedih dan tidak menyangka Dio akan tersakiti secara mental seperti ini.

"Ini semua salahku," Holan menangis di depan putranya yang terbaring sakit.

"Pak Holan…" Yohan yang berdiri di sampingnya hanya bisa menunduk sedih.

"Aku terlalu sibuk dan tidak memperhatikan putraku. Putra yang begitu disayangi isteriku, dibesarkan isteriku seperti anak kandungnya sendiri. Tapi sekarang…aku malah membuatnya jadi seperti ini." Holan menangis tersedu sedu. "Dio…putraku…aku sudah menyakitinya. Maafkan aku Nadia…maafkan aku."

Sejak saat itu Holan meminta mengawasi siapapun yang datang menjenguk Nadia. Ia diminta untuk memberitahukan jika Dio menjenguk ibunya. Ia merasa bersyukur karena kalau bukan Yohan, Dio pasti sudah meninggal karena racun hama yang berbahaya itu.

Dio juga mulai mendapatkan perawatan intensif dari psikiater kenalan Yohan. Kondisinya semakin membaik dan Holan semakin sering di rumah dan memperhatikan keduanya. Ia memperhatikan sekolah Dio. Berbincang dengannya di hari libur. Makan bersama di luar, meski Amy masih sering cuek dan mengomeli kakaknya. Namun kasih sayang yang Dio berikan pada keluarganya tidak palsu. Ia hanya membenci dirinya sendiri, ia merasa berpura pura menyayangi adiknya, yang bagi dia menjadi penyebab ibunya koma. Namun sebenarnya bukan begitu. Ia tidak sadar bahwa ia menyayangi semua orang dalam keluarganya.

"Bagaimana steak nya? Enak kan? Tempat ini favorit ibu."

"Benarkah?" tanya Dio.

Ayah mengangguk.

"Yah…tidak buruk juga rasanya," Amy sok jual mahal.

"Bilang saja kau suka rasanya." Ayah tertawa.

Diikuti Dio yang juga tertawa.

Amy mengalihkan pandangannya malu. Meski begitu ketiganya tersenyum dan menikmati kebersamaan keluarga yang tidak lengkap itu.

Hingga suatu malam, saat semua orang sudah tertidur termasuk Amy. Holan memergoki Dio tengah mengonsumsi pil obat tidur dalam dosis yang banyak, 3 kali lipat dari yang seharusnya. Holan masuk dan mencekal tangannya, hingga pil pil itu berjatuhan di lantai.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Ayah. "Kau ma mati huh?"

Dio menatapnya tajam.

Holan sadar bahwa kata katanya cukup kasar untuk anaknya yang pernah melakukan bunuh diri.

"Memangnya ayah tahu apa?"

"Apa kau bahkan memikirkan ibumu saat melakukan ini? Apa kau pernah memikirkan perasaannya? Kenapa kau melakukan ini, Nak?"

"Justru itu! Justru itu, Yah!"

"Apa?"

"Mantra kutukan atau apalah itu aku tak peduli, toh orang yang melakukannya tidak bisa ditemukan hingga sekarang kan? Padahal sudah bertahun-lama. Ayah…kau juga tahu itu kan? Kau tahu ibu tidak akan kembali pada kita kan?!"

"Jadi, kau akan menyerah?"

Dio tidak menjawab, ia diam dan memalingkan wajahnya.

"Kau akan menyerah padahal ibu sangat menyayangimu? Huh?"

"Ayah aku…"

"Hentikan. Hentikan sekarang juga Dio. Ayah minta maaf karena tidak menyadari keadaanmu lebih cepat. Tapi ayah juga kehilangan, ayah juga kehilangan ibumu." mata Ayah berkaca kaca. Ia tidak bisa membendung rindu yang selama ini ia tahan dalam dada. Bahwa dirinya juga merindukan isterinya.

Ayah mengambil wadah pil berbentuk silinder di tangan Dio dengan pelan.

"Ayah tahu kau akan mengerti. Kau paham apa yang ayah maksud kan? Ini bukan seperti ibumu menginginkan kau untuk mengakhiri hidup. Bukan hanya kau yang berjuang, ibu juga berjuang untuk kembali pada kita. Jadi… ayah mohon…"

Dio menangis, menunduk dengan tersedu sedu.

"Ibu…"

"Ayah mohon tunggulah sebentar lagi. Tidak…maksudku tunggulah sampai ibu siap kembali pada kita. Tunggulah sampai waktu itu tiba. Tetaplah hidup sampai saat itu."

Selama ini ia mengira bahwa ayahnya baik baik saja. Ia mengira semua orang di rumah itu mengikhlaskan ibunya. Ia sudah tidak bisa hidup tanpa ibunya. Amy mungkin akan baik-baik saja hidup dengan Ayah tapi tidak dengan dirinya. Ia berniat bunuh diri dan menyusul ibunya yang memang sudah tidak bisa selamat. Namun ayahnya ternyata memiliki kekhawatiran yang sama, kecemasan dan ketakutan akan Nadia yang tidak bisa kembali bangun. Semua orang di sana khawatir, begitu juga dengan Amy. Ia sesekali mengunjungi Nadia di rumah sakit dan menyalahkan dirinya sendiri bahwa dia membawa malapetaka untuk keluarganya sekarang, yaitu keluarga Satria.

"Amy…dia juga kesulitan. Menyalahkan dirinya sendiri atas ibu yang sakit. Dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri selama hidup di sini. Karena itu dia tidak tahu, dia tidak tahu harus menganggap apa dirimu, Dio. Amy bahkan tidak tahu harus menganggap kau saudara atau orang lain."

"Kenapa ayah membawanya? Kenapa ayah membawa anak indigo itu?"

"Karena cuma dia yang bisa membangunkannya. Karena aku menyegelnya bersamanya. Jadi kau harus melindungi Amy, Dio. Bukan hanya karena dia adikmu, tapi karena dia yang akan menolong ibu suatu saat nanti."

"Aku tahu. Aku tahu semuanya Ayah! Tapi…" Dio hanya bisa menghela napas.

Ia membalikkan badannya, tidak ingin melihat wajah ayahnya.

"Keluarlah. Keluarlah dari kamarku, Ayah."

Holan menatapnya drai belakang. Ia lalu melangkah keluar meninggalkan Dio di kamarnya seorang diri. Ia membawa pil tidur itu bersamanya.

Malam harinya Dio pun bermimpi buruk akibat tidak meminum pil itu. Ia bermimpi melihat Amy dan ibunya yang saling berpelukan, namun sesaat setelahnya Ibunya jatuh ke lantai dan pingsan. Amy hanya diam tidak membantu, begitu juga ayah. Dirinya terkunci tidak bisa bergerak, tidak bisa menyelamatkan ibunya.

Di malam lain ia juga bermimpi dengan hal yang hampir sama. Kehilangan ibunya, namun tidak ada siapapun yang menolong ibunya di kala sekarat. Dio telah menderita dalam waktu yang sangat lama.

Flashback Again

Kejadian saat Alfa koma dan Amy menemaninya. Dio menjenguk ibunya dan Arvy tidak sengaja melihatnya menaiki lift. Arvy mengikutinya.

"Ibu. Kapan ibu bangun?" Dio memegang telapak tangan Nadia yang dingin.

"Apa Ibu akan kembali?"

"Aku kesulitan, Bu."

"Aku lelah."

"Sampai sekarang aku masih belum mengerti. Mengapa ibu menerima Amy?"

Degh

"Apa yang Dio katakan sebenarnya? Apa selama ini dia…" Arvy menutup mulutnya tidak percaya. Ia mengintip dari kaca kecil di pintu.

"Aku tidak baik baik saja, Bu. Aku masih bermimpi buruk. Kadang kadang aku melihat masa lalu yang menyakitkan. Aku takut ibu tidak akan kembali lagi. Aku…berusaha menerima Amy. Aku juga berusaha memahami ayah. Namun aku tidak pernah mengerti, mengapa ibu masih belum kembali pada kita. Aku akan bertahan. Meski aku hidup dalam kebohongan yang melelahkan ini, aku akan menunggu, aku akan tetap hidup dna menunggu ibu sampai saat itu tiba."

"Maafkan aku, Bu. Maaf karena pernah berpikir untuk melenyapkan diriku sendiri. Aku menyukai keluarga kita. Aku menyayangi Amy, aku juga menyayangi ayah. Jadi…tidak bisakah ibu kembali lebih cepat?"

"Kamuflase," tebak Arvy. "Dia benar benar bunglon yang handal. Bagaimana bisa dia semurni itu? (auranya). Pria malang." Arvy menggeleng pelan.

Ia miris mendengar monolog Dio pada ibunya. Ia juga terlalu cepat menyimpulkan bahwa Dio terlalu tegar untuk ukuran anak yang kehilangan ibunya. Lagipula Dio tidak seperti Arvy yang mempunyai temperamen buruk dan dingin. Ia yakin bahwa Dio adalah anak yang baik dan hangat. Namun ia tak menyangka bahwa selama ini dia mengalami depresi yang berat setelah ditinggalkan ibunya. Toh ia sendiri paham bagaimana rasanya, karena Raziva notabenenya koma lebih dulu dari Nadia.

"Aku mengerti. Dio hanya menyalahkan dirinya sendiri. Dia tidak yakin, mampu melanjutkan hidup tanpa ibunya."

Arvy melihat Dio dengan sedih, seolah melihat dirinya sendiri dahulu.