webnovel

Sidang Pertama

Valen lalu mengingat berita di televisi di rumah Arvy saat itu. Ia disebut buronan yang melakukan penyerangan, bukan pembunuhan. Valen mengacak rambutnya frustasi, tangannya masih di borgol.

"Kenapa aku bisa tertipu trik murahannya itu!" batinnya. Ia mengingat akting Arvy yang sangat meyakinkan. "Apa dia aktor? Sial!"

"Kau baik baik saja?"

"Apa? Kau serius tanya itu padaku? Sekarang?"

"Aku akan menerima permintaan maaf darimu, jika kau minta maaf dengan benar."

"Aku bahkan belum mencerna apa yang terjadi sekarang dan kau menuntut permintaan maaf dariku? Beraninya kau melakukan ini padaku. Selain pilar nomor 2, aku adalah orang yang mengasuhmu, kau tidak ingat huh?! Aku mengasuh dan membesarkanmu selama bertahun tahun tapi ini balasanmu?"

"Justru aku yang harus bertanya begitu!"

"Apa katamu?"

"Kau sudah mengasuhku bertahun tahun, tapi …apakah Kak Valen pernah...pernah sekali saja menganggapku adik?"

Valen membuang muka. Menolak menjawab pertanyaan yang sudah bisa ditebak oleh Alfa jawabannya.

"Jangankan keluarga, Kau tidak pernah menganggapku manusia, aku juga tidak yakin apa Kak Okta juga melihatku sebagai manusia. Aku dengan bodohnya senang jika kita makan bersama di restoran, ketika kau mengandalkanku, bahkan itu terasa menyakitkan saat kau memukuliku dan selalu memukuliku, namun aku yang bodoh dalam bertarung ini, selalu berakhir menyusahkan kalian berdua. Kalian mengirim budak tak berguna (karena tak bisa bertarung) sepertiku untuk menjadi mata mata. Apa kalian…" teriak Alfa. "Pernah sekali saja melihatku sebagai manusia?" Alfa menitikkan air mata. "Aku tidak percaya aku bahkan menangis untuk orang yang tidak pernah menganggapku sebagai seorang manusia. Di mata hukum aku adalah korban Kak, dan kau pelaku kriminalnya. Jika kau yakin bisa bertahan hanya karena mengira kau kuat di sel penjara, jangan salah besar."

Valen menatapnya tajam.

"Kau sudah berakhir. Kak Okta, Kak Taka, dan Tuan Ramon. Kau yakin bisa selamat dari orang orang kuat itu? Pengkhianat dan buronan nasional, kau pikir siapa yang nyawanya berada dalam bahaya sekarang?"

Di pengadilan, sidang pertama.

Jaksa membacakan tuduhan.

"Terdakwa, Valen, 31 tahun, melakukan penyerangan pada jam 17 pada seorang pria di gedung kosong dengan berpura pura menjadi teman korban. Terdakwa menjual narkoba jenis sabu dan memaksa korban yang tidak mengetahui apa apa untuk membelinya, memaksanya untuk menghirupnya dan mengancam nyawanya. Korban mengelak namun, terdakwa memukulnya, menganiayanya, hingga hampir menghilangkan nyawa korban. Berikut saya tampilkan."

Jaksa menghidupkan monitor dan menunjukkan sabu yang ditemukan. Ada dua 6 kantung kecil yang dijajar.

"Dengan ini, terdakwa terbukti sebagai pengedar narkoba."

"Sudah kubilang aku bukan pengedar, aku tidak membawa sabu saat itu!" Valen berdiri dan mengamuk, petugas polisi di sampingnya mendudukkannya kembali dengan paksa.

"Lalu…" teriak jaksa penuntut. "Jika bukan karena narkotika, mengapa kau menyerang korban hingga membuatnya koma berminggu minggu?!"

"Jaksa, mohon tenang." Hakim mengingatkan.

"Maaf, Yang Mulia, saya akan melanjutkan." jaksa mengalihkan foto foto sabu menjadi foto foto korban di monitor.

Para pengunjung berbisik bisik.

"Ini adalah foto yang di dapatkan polisi sesudah korban dilarikan ke rumah sakit."

Dalam foto itu kaki Alfa lebam sangat parah di bagian paha, leher, seluruh punggung, seluruh dada, mata kiri, bibir, pipi kanan, kedua tangan, dan pendarahan bagian kepala. Pendarahan bagian kepala adalah yang paling bahaya, ia pingsan karena luka di kepala.

"Seluruh tubuh korban luka luka, area kepala menjadi yang paling parah. Korban tidak melakukan perlawanan karena mengira terdakwa adalah temannya, namun ia ditipu dan tidak berani melakukan serangan balasan. Bagaimana anda menjelaskan ini? Jika bukan karena narkoba apa yang membuat anda menyiksa korban hingga seperti ini? Sekian, Yang Mulia."

Hami memberi tanda kepada pengacara untuk membela.

"Terdakwa mengakui telah menyebabkan cedera pada korban, namun untuk narkotika, kami menolaknya. Terdakwa tidak ada hubungannya dengan narkotika yang berada di tkp. Bukankah yang anda temukan di tempat kejadian tidak terdapat sidik jari terdakwa?"

"Saat itu hujan deras, korban bahkan hampir mati karena lukanya diperparah OLEH hujan!" sela jaksa.

"Kami hanya menerima tuntutan penyerangan, tapi kami menolak adanya tuduhan pengedaran narkoba. Sekian dari saya yang mulia." pengacara duduk kembali.

"Sialan! Sialan! Sialan!" batin Valen. Ia melihat ke belakang kursi pengunjung.

Ada Rataka yang duduk di baris paling sudut paling belakang. Sedang kan di tengah ada Arvy, Holan dan Asya yang duduk bersebelahan. Arvy maupun Rataka menatapnya tajam. Sedangkan di bagian sisi tempat duduk sebelahnya, ada Okta di sana.

"Jika terdakwa masih bersikukuh hanya melakukan penyerangan dan tidak ada kaitannya dengan narkoba. Kira kira alasan apa yang paling logis untuk menyerang seseorang yang baru dikenalnya hari itu hingga hampir membunuhnya? Apakah itu karena dendam? Emosi sesaat? Atau…"

"Jaksa, dimohon jangan mengatakan praduga." kata hakim.

"Yang mulia, kita perlu mendengarkan dari pihak terdakwa, jika mereka memang menolak keberadaan sabu itu sebagai bukti, bisakah pihak terdakwa memberi alasan yang jelas, mengapa menyerang korban yang tidak tahu apa apa? Itu yang ingin saya tanyakan, sebelum menghadirkan saksi. Terima kasih."

"Pengacara, kau boleh menjelaskan alasannya, atau menolak memberi pernyataan dan mengakui tuduhan pengedaran narkoba."

"Sh*t!" umpat Valen. "Apa maksudnya saksi? Apa ada saksi mata saat itu?"

"Bagaimana ini Tuan Valen," bisik pengacara itu.

"Lakukan seperti yang kusuruh," Valen membisikinya.

Pengacara maju dan memberi pernyataan.

"Yang Mulia, sabu itu ditemukan di gedung kosong yang biasanya menjadi tempat barter barang barang ilegal. Polisi tidak dapat mengidentifikasi sidik jari bukan hanya disebabkan oleh hujan, melainkan sabu itu telah lama berada di sana. Bisa saja karena dijatuhkan seseorang atau alasan kriminal lainnya. Sekali lagi terdakwa tidak ada hubungannya dengan sabu yang ditemukan. Polisi seharusnya fokus memeriksa tempat kejadian perkara, bukannya memperluas pencarian di sekitar gedung."

"Jadi maksud anda, polisi tidak kompeten memeriksa barang bukti?!"

"Saya tidak mengatakan hal semacam itu!"

Duk duk duk!

Hakim mengetuk palunya untuk menenangkan pengacara dan jaksa yang saling meninggikan suaranya.

"Jaksa itu terlihat cerdas," bisik Holan pada Asya.

"Dia kenalanku di kejaksaan. Aku memintanya menangani kasus ini."

"Benarkah? Bagus sekali." Holan manggut manggut.

"Silahkan dilanjutkan pengacara," kata Hakim.

"Terdakwa memiliki gangguan kepribadian yang bermasalah mengenai tempramentalnya, seperti mudah marah dan mudah memukul hingga di luar batas kewajaran. Terdakwa mengakui menyerang korban berlebihan namun itu dikarenakan gangguan emosional, bukan dendam pribadi atau memaksa penggunaan narkoba. Kami akan melampirkan buktinya, Yang Mulia." Pengacara maju dan menyerahkan dokumen diagnosis kejiwaan resmi dari rumah sakit di meja panitera, kemudian panitera memberikannya pada hakim.

Hakim utama dan hakim pendamping berdiskusi sejenak.

"Seperti biasa, menggunakan diagnosis kejiwaan untuk mengurangi hukuman," batin Rataka.

"Kami akan mempertimbangkannya. Sidang selnajutnya akan dilaksanakan besok pagi."

Hakim meninggalkan aula. Begitu juga dengan pengunjung yang bubar.

Di ruang tahanan, Okta menemui Valen.

"Ada apa? Apa kau ke sini karena kasihan melihatku?" tanya Valen sinis.

"Akui saja semua tuduhannya."

"APA? Apa kau gila? Kau mengatakannya karena bukan kau yang duduk di kursi sialan itu!" (kursi terdakwa) Valen emosi. "Apa yang dikatakan Tuan Ramon?"

"Tuan Ramon sudah tahu."

"Apa?"