"Aishhh pertanyaanmu banyak sekali. Apa ini ujian hah?!" namun kakek tetap menjawabnya.
"Aku mengirim Taka pada Holan agar Holan tidak keluar dari batasan dan mencari pelaku yang membuat isterinya sakit. Jadi jangan pernah menyinggung apapun tentang Ramon, atau kelompok sesat yang kau dengar itu, karena pamanmu tidak tahu apa apa, selain ingin mengapa pelaku dan memenjarakannya secara hukum. Aku tahu kau indigo, Arvy. Bukankah kau bisa merasakan auranya? Dan juga Amy? Dan juga Rataka?"
Arvy mengangguk pelan. "Aura paman sangat besar dan kuat dan juga kadang kadang menakutkan. Aura Amy juga tidak biasa, aneh dan bersupranatural tinggi, dan orang bernama Rataka itu…aku tidak tahu, auranya sangat aneh, mirip seperti orang biasa pada umumnya tapi bukan."
TAK!
Kakek menjentikkan jarinya.
"Bravo! Deduksimu benar, persis seperti itu. Kau punya kekuatan indigo serta deduksi yang kau kuasai. Karena itulah aku memintamu bergabung bersama Taka. Dia pasti akan senang mendapat rekan yang hampir setara dengannya. Dan satu lagi, Amy…gadis itu tidak mengenal Rataka mesti bertahun tahun sudah dijaga olehnya. Serta pemuda bernama Alfa…dia juga salah satu rekan Rataka."
"Apa?! si Alfa juga!"
"Dia adalah mantan mata mata Ramon yang dimanfaatkan secara sepihak. Kau tahu dia datang dari panti asuhan yang sama dengan Amy kan?"
"Iya."
"Itu tujuan Ramon. Membuatnya lengah dengan mengirimkan seseorang yang dikenalnya pada Amy."
"Ada berapa banyak rekan si Rataka itu?"
"Holan, Alfa, dan juga Rey."
"Rey?"
"Aku juga sudah dengar tentang hubunganmu dengan Rey."
"Ta..tapi dia bukan manusia!"
"Lalu apa menurutmu?"
"Dia…" Arvy tidak bisa menjawab.
Kakek menatapnya dan meminta penjelasannya.
"Itu…." Arvy masih berusaha menjawabnya namun tidak menemukan jawaban yang tepat.
"Jadi dia kemarin menemuiku dan meminta maaf karena diminta oleh Rataka?"
Kakek mengangguk.
tersenyum"Paman Holan seorang polisi, Alfa mantan mata mata dan Rey…monster yang berwujud manusia, sekarang ditambah denganku. Ah ini jadi menggelikan. Apa ini serial power ranger?"
"Sayangnya kau tidak bisa berubah menjadi raksasa seperti Ultramen."
"Tunggu, berapa usia Rataka sebenarnya?"
"Memang berapa yang dia katakan padamu?"
"Apa? Dia… dia bilang hal yang tidak masuk akal. Katanya ada zero zeronya di belakang."
Kakek tersenyum smirk. Arvy menyadarinya.
"Kalau begitu, itu sebenarnya," kata kakek sembari menaikkan salah satu sudut bibirnya.
"Apa?"
Kakek tiba tiba memegang tongkatnya. Sebenarnya ia ingin memberitahu tentang ibunya sekalian, namun ia khawatir melihat reaksinya yang berbeda. Kakek gusar dan gelisah.
"Kenapa kakek terlihat khawatir. Apa masih ada yang belum aku ketahui?"
Kakek diam, namun raut wajahnya mengatakan sebaliknya.
"Kek, aku sudah dewasa untuk tahu semua masalah dalam keluarga ini. Kakek kira aku ini masih kecil?" Arvy menyadari bahwa kakek khawatir padanya. "Aku bukan Arvy yang menangis di depan ranjang ibuku setiap hari. Apa kakek masih tidak percaya padaku?"
"Justru itu….justru karena ibumu…justru karena ibumu lah aku melakukan semua ini."
Arvy tidak mengerti. Ia menggeleng pelan tidak paham apa maksud kakeknya.
"Apa yang kakek bicarakan?"
"Ramon membutuhkan tiga tumbal perempuan untuk melawan dan menghancurkan keluarga kita. Dengan itu dia bisa menciptakan perang di mana tidak ada satupun yang akan mengalahkan sekte itu."
Arvy membelalakkan matanya. Ia mulai paham alur bicara kakek. Tumbal yang telah kakek sebutkan sebelumnya adalah Amy dan juga tante Nadia yang masih koma. Jika membutuhkan tiga, itu berarti..
"Ibu…."
Arvy mematung, menatap kakeknya dengan nanar.
Kakek mengangguk, mengiyakan dugaan Arvy.
"Tidak mungkin…"
"Itulah faktanya?"
"Ayah…apa dia mengetahuinya?"
"Em, ayahmu tahu."
"Jadi sejak itu kakek memintanya mengurus perusahaan cabang?"
Kakek mengangguk lagi.
"Untuk membuat ayah menyingkir dari kasus ini?"
"Semuanya yang kau katakan, aku sudah tidak bisa mengelaknya lagi. Kau pasti akan tahu suatu saat nanti, aku hanya tidak mau kau terguncang dan melakukan hal bodoh.karena itu kakek memberimu pilihan. Diam dan tidak melakukan apapun atau bergabung…"
"Dengan Rataka," sela Arvy sebelum kakek selesai bicara.
Kakek pun lagi lagi mengiyakan tanpa alasan lain lagi.
Kini Arvy paham mengapa ayah terus memintanya agar tidak terlalu membenci kakeknya. Ternyata ayah sudah tahu tentang ini. Tapi tidak ada yang memberitahu dirinya. Padahal ia sudah cukup dewasa berpikir jernih.
Arvy melamun. Kakek hanya menatapnya dalam diam.
"Apa Paman dan Rataka juga tahu ini?"
Kakek mengangguk.
"Aku harus menangkapnya. Aku harus membunuh pria bernama Ramon itu!" batin Arvy dengan amarah yang penuh. Telapak tangannya mengepal, namun ia menahan agar tidak mengeluarkannya di depan kakeknya. Ia lalu memejamkan matanya mengambil tarikan napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan dari mulut dan membuat dirinya kembali fokus.
"Kau baik baik saja?" tanya Kakek.
"Iya. Aku sepenuhnya baik baik saja. Kakek jangan khawatir."
"Syukurlah, kukira kau akan berlari keluar dan mencoba untuk menangkap Ramon dengan caramu sendiri."
"Apa Ramon manusia?"
Kakek tersentak mendengar pertanyaannya, namun Arvy tidak sedang bercanda.
"Tentu saja, dia hanya diberi keberkatan spesial dan juga sedikit bumbu dendam dalam otaknya."
"Dendam?"
"Dia membenci seluruh keturunanku, untuk alasannya aku tidak bisa memberitahumu. Tapi yang pasti, dia tidak akan membiarkan keturunan Satria hidup tenang. Kau hanya perlu mengingat itu." ujar kakek. "Untuk saat ini jangan fokus ke sana. Datangilah Rataka lebih dulu dan jangan bertindak gegabah. Untuk masalah Gita, biarkan mengalir mengikuti waktunya."
"Aku akan menunggu Gita, selain itu aku akan mengurusnya. Termasuk Rataka." kata Arvy.
"Kakek," panggilnya.
Kakek mendengarkannya seksama.
"Apa kau…." Arvy berhenti bicara sejenak.
"Ada apa?"
"Tidak, tidak jadi."
"Kau tidak mau meminta maaf kan?"
Arvy ketahuan. Ia akhirnya memberanikan diri berbicara. "Aku tidak mau meminta maaf untuk semuanya. Tapi aku akan berterima kasih."
"Dari pada itu…apakah kau ingat hari kecelakaan Raziva?" tanya kakek tiba tiba.
"Kecelakaan ibu?"
"Kau ada di sana bukan?"
Arvy mengangguk sedih, kapanpun ia mengingatnya, ia menyalahkan dirinya sendiri seolah semua itu karena dia. Namun ayahnya selalu meyakinkan bahwa itu bukan karenanya. Ibunya hanya sial karena berada di sana dan bertemu dengan orang yang salah. Bahkan beberapa tahun sesudahnya Arvy menjadi jarang bicara, jarang keluar kamar dan menghabiskan waktunya sebagian besar tidur di kelas saat masa sekolah dan juga saat kuliah.
Ayahnya yang selalu memaksanya kuliah agar tidak hanya berdiam diri di kamar dan menjadi pecundang. Mereka bahkan pernah bertengkar hebat. Sejak itu ayahnya suka mabuk mabukkan dan Arvy memutuskan keluar dari rumah dan tinggal di apartemen dan juga membuak bisnis bar nya, tanpa sepengetahuan ayahnya saat itu. Arvy tidak pernah ikut acara keluarga Satria dan tidak peduli pada sekitarnya. Dia menjadi pribadi yang murung dan anti sosial.
"Arvy? Arvy!" panggil kakeknya.
Arvy melamun.
"Oh iya."
"Kau memikirkan ibumu?"
Arvy menggeleng. Ia meraih gelas wine nya lalu menghabiskannya dalam sekali tenggak.
"Kau akan mendapatkan informasi lebih banyak lagi saat bertemu Rataka nanti. Tapi kuharap kau tidak memukulnya seperti kemarin."
"Untuk itu aku juga tidak akan meminta maaf. Tidak akan."