webnovel

Desiran

Kirana terus memperhatikan perut Gama dengan tatapan ngeri. Dia teringat dengan sebuah santet yang bisa mengeluarkan benda tajam dari dalam tubuh manusia padahal manusia itu tidak pernah menelan apa pun selain makanan. Apa yang dialami Gama itu sejenis santet?

Namun, tonjolan berbentuk keris itu makin lama makin tak nampak. Kirana mendekat dengan mata mengerjap. Napas Gama tampak kembali teratur. Pria itu juga terlihat lebih tenang dari sebelumnya meskipun matanya masih terpejam.

"Pak, Bapak tidak apa-apa?" tanya Kirana melongok lebih dekat wajah sang bos. Keningnya mengernyit. "Apa dia tertidur?" Dengan hati-hati Kirana mengangkat tangan ke depan wajah Gama, lalu secara perlahan dia melambaikan tangannya itu.

Namun, Kirana terperanjat saat tiba-tiba saja mata tajam Gama terbuka. Dan tanpa bisa menghindar tangan perempuan itu langsung Gama cekal.

"Apa yang kamu lakukan, Bodoh?" tanya Gama ketus dan kasar seperti biasanya.

Kirana meringis kesakitan. Cekalan Gama pada pergelangan tangannya sangat kuat. "Maaf, Pak. Tadi saya hanya memastikan Bapak tidur atau tidak," cicit Kirana takut-takut.

Gama memicingkan mata dan tersadar di depannya bukanlah makhluk menjijikan tadi melainkan asistennya. Perlahan Cekalan Gama mengendur. Pandangannya sedikit turun ke bawah dan jatuh tepat pada dua buah benda berbentuk bulat pada bagian tubuh atas asistennya. Posisi Kirana yang membungkuk di depannya membuat Gama dengan jelas melihat belahan dada Kirana yang... Shit! Gama akui begitu terlihat indah. Gama segera mengalihkan pandang dan melepas cekalannya. Wajahnya terasa panas hingga ke telinga.

"Pakai bajumu kembali," ucap Gama dengan jakun naik turun.

Kirana mengerjap mendengar perintah si bos. Apa otak pria itu kembali waras sehingga menyuruhnya mengenakan pakaiannya lagi? Atau bikini yang dia pakai terlihat jelek di tubuhnya?

"Sa-saya ganti baju lagi, Pak?"

"Iya, kamu tuli?!" sentak Gama membuat Kirana melonjak. "Bikini itu nggak cocok buat kamu. Tubuh kamu biasa saja," lanjutnya mengejek.

Kirana menganga tak percaya. Gama bilang apa tadi? Tubuhnya biasa saja? Kirana akui dia tidak memiliki tubuh sempurna. Tidak tinggi seperti model-model atau artis bintang film. Tapi tidak seharusnya Gama menghinanya seperti itu. Kirana memberengut kesal lalu memutar badan dan beranjak melangkah meninggalkan Gama.

Kirana tidak sadar jika dari belakang Gama memperhatikan gerakan pinggulnya sembari menelan ludah.

Awalnya Gama hanya ingin mengerjai perempuan itu saja. Berenang menggunakan bikini. Gama juga tidak memiliki reaksi yang berarti saat melihat tubuh asistennya yang berbelut kain minim itu. Namun, ketika jaraknya dengan Kirana terlampau dekat dan tanpa sengaja matanya bertatapan langsung dengan belahan dada Kirana yang bulat, tubuhnya bereaksi lain. Sebagai seorang pria normal dia merasakan dadanya berdesir dan hawa panas seketika menjalar ke tubuhnya. Reaksi seperti ini belum pernah dia rasakan sebelumnya. Bahkan ketika dia jatuh cinta sekali pun.

Mata tajam Gama masih memperhatikan tubuh belakang Kirana yang melenggang. Kembali dia melihat sebuah tato di belakang pundak kanan wanita itu. Jika tidak salah lihat, tato berwarna kecokelatan itu membentuk sepasang bunga atau entahlah, Gama tidak melihatnya dengan jelas.

Gama sudah kembali berpakaian saat Kirana kembali menemuinya. Wanita itu pun sama, blouse berwarna salmon lengan panjang serta pencil skirt kembali membungkus tubuhnya.

"Sekarang Bapak mau ke mana?" Kendati masih merasa dongkol akibat insiden kolam renang tadi, Kirana harus bersikap profesional saat kembali bekerja.

"Pulang," jawab Gama singkat.

Kirana bergerak mengambil jas milik Gama, lalu membantu mengenakannya pada tubuh pria itu. "Saya hampir lupa. Malam ini Bapak ada makan malam dengan Pak Sultan Raharja di kediaman beliau."

"Saya tidak mau hadir," sahut Gama tidak peduli.

"Tapi, Pak. Mereka bahkan sudah menghubungi saya dua kali setelah Bapak tidak mengangkat panggilan dari mereka."

Gama mendebas. Dia memutar tubuhnya dan menghadap langsung kepada asistennya. Telunjuknya terangkat. "Dengar baik-baik, Kirana. Jika ada dari keluarga mereka menghubungi kamu lagi tidak perlu diangkat. Saya tidak mau membuang waktu berkumpul bersama mereka."

Sultan Raharja adalah ayah kandung Gama yang menikah lagi dengan seorang perempuan cantik begitu ibunya meninggal dunia. Sampai detik ini, Gama tidak pernah menyetujui pernikahan itu. Apa lagi perempuan pengganti ibunya itu membawa seorang anak laki-laki yang menyebalkan seperti Raja. Gama dipaksa memanggil anak laki-laki itu dengan sebutan kakak lantaran usia mereka yang terpaut tiga tahun. Hanya tiga tahun, tapi Raja kecil merasa sok berkuasa di rumahnya karena menjadi seorang kakak.

Dan, yang lebih menyebalkan Raja begitu mudah mengambil perhatian ayahnya dan juga keluarganya yang lain. Pembawaan Raja yang ramah ditambah paras yang rupawan membuat siapa pun yang berinteraksi dengannya langsung tertarik. Termasuk Silvana dan almarhum Cyntia. Gama benar-benar muak. Dia dikucilkan karena mengemban kutukan itu. Tidak ada yang menyukai anak indigo seperti dirinya. Satu-satunya teman masa kecilnya yang mau menerimanya bahkan pergi meninggalkannya.

Kirana mengangguk pasrah, tidak berniat membantah karena tidak mau urusannya menjadi panjang.

***

"Gama!"

Langkah Gama dan Kirana terhenti ketika mendengar suara seseorang memanggil. Saat ini keduanya tengah berada di lobi gedung hotel tempat mereka berenang beberapa saat lalu.

Kirana ikut menoleh dan menyaksikan maha karya indah tidak jauh dari tempatnya berdiri. Maha karya itu tengah tersenyum lebar ke arah Gama.

Mata Kirana mengerjap pelan. "Cantik sekali," pujinya tanpa sadar. Kirana merasa dia sedang melihat seorang malaikat yang baru saja turun dari langit. Wanita yang tengah tersenyum itu tampak berkilau seperti mutiara. Masih dengan pandangan takjub, Kirana menangkupkan kedua tangannya.

"Itu pacar Bapak ya?" tanya Kirana menoleh kepada Gama di sebelahnya.

"Bukan. Dia teman saya."

"Sayang sekali wanita secantik itu tidak dijadiin pacar."

Gama melirik sebal asistennya itu. "Diam kamu."

Kirana mencibir, lalu pandangannya kembali melihat wanita cantik yang sekarang tengah berjalan, mengarah kepadanya. Ah, tidak. Tepatnya ke arah Gama. Tungkai panjang wanita itu terayun anggun. Gaun yang memeluk tubuhnya begitu pas. Kirana benar-benar terpukau.

"Gama, kamu di sini? Kenapa nggak bilang coba?" tanya wanita itu sesampainya di hadapan Gama. Wanita cantik yang tak lain dan tak bukan adalah Silvana, teman Gama dan cinta pertamanya itu langsung bergelayut ke lengan Gama tanpa risi.

Terang saja sikapnya itu membuat mata Kirana melebar. Padahal sang bos baru saja bilang wanita itu hanya teman. Kirana menyipitkan mata, menatap Gama penuh selidik. Apakah ucapan pria itu bisa dipercaya?

Ketika pandangan Kirana masih menyorot Gama, Silvana menjatuhkan tatap kepada wanita itu.

"Kamu ...." Silvana menunjuk ragu, lalu tatapannya kembali kepada Gama. "Siapa dia, Gam?"

Kirana sontak mengubah mimik wajahnya, lalu tersenyum dan sedikit menundukkan kepala sebentar. "Perkenalkan saya Kirana, asisten pribadi Pak Gama," ucap Kirana memperkenalkan diri.

Silvana tersenyum lalu tangannya yang bergelayut di lengan Gama terlepas. "Halo, aku Silvana. Teman Gama sekaligus calon kakak iparnya." Silvana mengulurkan tangan kanannya.

Kirana sedikit terperangah. Jadi, wanita berbulu mata lentik itu benar-benar hanya teman atasannya saja. Dan apa tadi dia bilang? Calon kakak ipar? Kirana menyambut tangan Silvana, tapi tatapannya tertuju canggung ke arah Gama. Reaksi pria itu tampak tak nyaman.

"Anda calon istri Pak Raja?" tanya Kirana ragu.

"Kamu sudah kenal tunanganku?" Mata Silvana melebar. "Wah, seneng deh. Iya, dia tunanganku. Doakan ya kami segera menikah," lanjutnya lantas terkikik.

"Perkenalannya sudah, kan? Kalau sudah, kita pergi, Kirana," sela Gama, yang terlihat bosan melihat interaksi kedua wanita itu.

Silvana cemberut. "Kamu selalu begitu. Kita ngopi-ngopi dulu mumpung kamu di sini," rengek Silvana. Dia tahu Gama tidak akan pernah menolaknya.

"Aku harus—"

"Ayolah, Gama. Nggak akan lama. Makan siang terakhir kita bahkan kamu ninggalin aku."

Gama membuang napas. Dia sangat tidak bisa jika Silvana sudah merengek seperti itu. "Oke, tiga puluh menit."

Bibir penuh Silvana kembali mengembang. Dia langsung menggaet lengan Gama kembali. "Kalau begitu, ayo kita ke coffee shop." Silvana menoleh kepada Kirana. "Kirana, kamu ikut juga kan?"

Kirana tampak ragu. Dia tidak mau lancang. Tapi ....

"Dia ikut juga," sahut Gama cepat. "Dia harus ada di sisiku ke mana pun aku pergi."

Silvana menaikkan kedua alis dan mengangkat bahu. "Oke."

___________..

Aku nggak akan bosan mengingatkan sama kakak-kakak yang menemukan cerita ini untuk mampir me-review bintang lima hehe. Jangan lupa juga tetap ramaikan dan simpan ke library yah. teng kyu.