webnovel

REKAYASA KEMATIAN ELINA

Elina melebarkan mata, bibirnya menjadi gemetaran ketika menyadari makna mengerikan dari ucapan Elios itu. Melenyapkan saksi... itu berarti mereka semua.... mereka semua akan dibunuh?

"Karena itulah, kau tidak perlu berjanji untuk tidak menuntut kami di lain waktu atas apa yang akan terjadi pada dirimu. Kami sudah membereskannya sampai tuntas. Tidak ada orang yang bisa menghubungkan Elina lagi ketika bersama dengan Akram. Bahkan bagi semua orang, Elina sudah tidak ada lagi di dunia ini."

"Apa?? Sudah tidak ada lagi di dunia ini?" Seperti orang bodoh yang ditelan keterkejutan bertubi-tubi, Elina hanya bisa mengulang kalimat Elios tanpa daya.

"Bagi semua orang di dunia ini, kau sudah mati dalam kebakaran semalam." Ada suara lain yang lebih tegas dan dalam yang menyahut dari arah pintu yang terbuka.

Elina menolehkan kepala ke arah suara, dan teror seketika mendera tubuhnya, membuatnya terkesiap dalam kengerian dan dengan tubuh gemetaran, langsung beringsut menggeser tubuhnya dengan putus asa hingga berada di sisi ranjang terjauh dari sosok beraura mengerikan yang saat ini sedang melangkah memasuki ruangan.

Akram saat ini memasuki ruangan dengan langkah lebar dan tubuh tegap. Lelaki itu memakai pakaian formal sama seperti asistennya. Jas setelan tiga potong yang menempel pas ditubuhnya,berwarna hitam pekat dilengkapi kemeja dan dasi berwarna gelap senada.

Penampilan Akram yang begitu kelam itu membuatnya tampak seperti malaikat kematian tak kenal ampun yang hendak merenggut jiwa jiwa yang malang tak berdosa dan melemparkannya ke neraka.

"Aku akan menanganinya sendiri, kau boleh pergi." Akram berucap singkat ke arah Elios, dan asistennya itu langsung mematuhinya.

Elios setengah membungkuk memberi hormat untuk berpamitan, lalu menyerahkan berkas yang di bawanya ke tangan Akram sebelum kemudian meninggalkan ruangan dan menutup pintunya, meninggalkan Elina sendirian dengan lelaki jahat mengerikan yang berdiri menatap ke arah Elina yang tanpa ditutup-tutupi.

Lalu, dalam keheningan yang mencekam, lelaki itu melangkah mendekat ke arah Elina, membuat Elina beringsut menjauh tanpa daya ke ujung ranjang, dan akhirnya bertahan di ujung terjauh ketika akhirnya Akram berhenti, berdiri tepat di tepi ranjang.

"Aku memerintahkan Elios untuk membakar rumah tempat tinggalmu yang bobrok dan menyedihkan itu. Sebelumnya Elios telah meletakkan mayat perempuan di atas tempat tidurmu. Ketika kebakaran besar itu berhasil dipadamkan, mereka hanya menemukan tulang belulang terbakar yang sudah terlalu rusak untuk dikenali, dengan begitu, pihak berwajib tanpa ragu langsung mengklaim sisa tulang itu sebagai dirimu." Akram melemparkan berkas di tangannya ke pangkuan Elina dengan kejam. "Kau saat ini tidak punya apa pun lagi, kau tidak punya tempat tinggal, kau tidak punya barang barang pribadi, kau tidak punya berkas-berkas pendukung seperti kartu identitas, kartu jaminan sosial, atau bahkan ijazah pendidikanmu. Aku sudah melenyapkan semuanya."

Akram menyeringai bangga ketika tangan Elina yang gemetar memegang berkas di tangannya dan matanya menatap berkas itu dengan kebingungan.

"Lihat berkas itu. Itu adalah satu-satunya bukti eksistensimu yang tersisa di dunia ini kan. Dan setelah itu, kau benar-benar tidak memiliki apa-apa lagi. Bahkan, identitas pun sekarang kau tidak memilikinya, karena di mata dunia, Elina Mahesa sudah mati."

Elina menyobek amplop cokelat itu dengan gemetaran, tangan mungilnya bergerak terburu buru, mengeluarkan selembar kertas tebal berwarna putih bersih yang tersimpan di dalam amplop cokelat itu, ditariknya kertas itu ke depan wajahnya, mencoba membaca tulisan di kertas itu dengan seksama, mencari tahu kenapa Akram menyebut berkas itu sebagai bukti terakhir eksistensi dirinya di dunia ini.

Dan ketika Elina membaca keseluruhan surat itu, suaranya memekik terkejut bercampur syok luar biasa. Seluruh tubuhnya gemetaran tak terkendali, pun dengan tangannya yang kehilangan kekuatan hingga membuat kertas itu jatuh terlempar ke lantai.

Akram memang tidak membunuhnya secara fisik. Tetapi lelaki itu telah membunuh eksistensinya sebagai Elina Mahesa di dunia ini...

Berkas yang dibacanya itu..... Itu adalah surat keterangan kematian resmi dari negara, atas nama Elina Mahesa.

Akram sama sekali tidak peduli dengan ekspresi syok yang membuat Elina tampak pucat pasi. Lelaki itu membungkuk di atas ranjang, mendekat seperti predator yang ingin mengunci mangsanya, dan membuat Elina semakin beringsut menjauh, tetapi tak berdaya karena tak bisa lagi berlari.

"Kau... kau mau apa?" Elina berhasil menyerukan suaranya yang tersekat, tangannya memeluk dirinya di dada, sebagai tameng perlindungan rapuh atas tatapan Akram yang begitu tajam sampai menusuk jiwanya

"Kau bertanya aku ingin apa? Emhhh apa ya???" Akram setengah terkekeh, meskipun matanya sama sekali tak menyiratkan senyum. "Aku ingin kau."

Mata Elina melebar. Lelaki di depannya ini memang orang gila. Akram bahkan sama sekali tidak menutupi obsesi mengerikannya terhadap Elina. Dan lelaki ini begini arogan, seenaknya mengklaim apa yang diinginkannya, seolah Elina adalah sebuah benda yang tak punya kehendak. Apakah selalu seperti ini pengaturanya bagi golongan kuat? Apakah karena mereka kuat, berkuasa dan memiliki banyak harta, mereka bebas menghancurkan penghargaan atas hak asasi manusia?

"Kau tidak akan bisa berbuat semaumu lagi! Aku... aku bukan barang yang bisa dimiliki sesukamu, aku ini manusia!" Elina memberanikan dirinya untuk melawan meskipun dia tahu kesempatannya untuk menang sangat kecil. Dia tahu Akram adalah tipe penindas, lelaki itu membabat habis golongan lemah tanpa ampun dan tanpa belas kasihan.

Jika Elina tidak bisa melawan sama sekali, dia tahu pasti bahwa dia akan ditekan oleh kekuasaan lelaki itu hingga merendah sampai ke tanah. "Manusia memiliki hak pribadi atas tubuh mereka sendiri, meskipun kau memaksakan diri kepadaku, tubuh dan hatiku tetap milikku, tidak bisa dimiliki oleh orang lain!" Sambungnya terbata, mengungkapkan maksudnya dengan nada sungguh sungguh.

Sayangnya, kesungguhan Elina itu tampaknya sama sekali tidak mempan untuk mengetuk nurani Akram. Lelaki itu malahan tersenyum mengejek, sengaja memandangi seluruh tubuh Elina dengan pandangan sensual yang melecehkan.

"Oh ya? Kau bilang kau punya hak atas tubuhmu sendiri. Tapi bukankah aku sudah berhasil memiliki tubuhmu? Apa kau lupa semalam aku bisa menyentuhmu semauku dan kau sama sekali tidak memilki kekuatan untuk melawan?" Akram menyahut dingin, senyumnya muncul ketika melihat wajah Elina langsung pucat pasi mendengar perkataannya. Perempuan itu bersikap melawan, tetapi Akram tahu pasti bahwa di dalam hatinya, Elina begitu takut terhadapnya.

Tangan Akram bergerak menyentuh helai rambut Elina, membuat perempuan itu mengkerut ketakutan. "Kucing penakut yang siap mencakar. Ternyata kau masih memiliki keberanian untuk melawanku. Aku jadi tidak sabar menunggu untuk menjinakkanmu hingga kau mendengkur di bawah elusanku." Akram mendesiskan kalimat sensual dengan sengaja, mengirimkan sinyal yang membuat tubuh Elina menegang kaku.

Mendengar perkataan Akram yang vulgar itu, kelebatan demi kelebatan malam laknat itu muncul di dalam pikiran Elina seketika. Tubuhnya gemetar setengah menggigil, tangannya mengepal sementara lengannya semakin kuat memeluk dirinya sendiri. Akram sengaja memancing trauma mengerikan yang muncul di kepalanya akibat perkosaan yang dilakukan lelaki itu kepadanya. Itu semua karena Akram tahu, bahwa ketika Elina tenggelam dalam ketakutan dan trauma, mentalnya semakin lemah dan semakin mudah untuk diintimidasi, hingga kehendaknya untuk melawan akan tertekan habis oleh penindasan dari Akram yang tak punya nurani.