webnovel

PROLOG

Hujan deras turun menghujam bumi di tengah langit gelap yang sibuk meronta karena terbelah oleh cahaya petir, beriringan dengan bunyi gelegar kencang yang menggetarkan panel-panel jendela rumah kontrakan Elina yang sudah reyot.

Elina berlari-lari kecil, melewati teras rumahnya yang basah kuyup karena bocor di seluruh sisinya yang menyedihkan. Terburu buru dia membongkar tasnya, mencari kunci kecil yang seharusnya ada di salah satu saku kantong tasnya.

Udara dingin menusuk tulang di malam hari di kota yang senyap malam ini. Itu semua masih diperburuk dengan hujan deras yang tak kunjung berhenti sejak dini hari menjelang sampai malam hari menjemput matahari.

Tangan Elina gemetaran tak terkendali, tubuhnya yang kurus ternyata masih tak terbiasa untuk menahan udara sedingin ini. Yang paling diinginkannya sekarang adalah menemukan kunci sialan itu sebelum kemudian segera memasuki rumah untuk berlindung di atap yang tak mengucurkan air di tubuhnya yang basah kuyup.

Sayangnya, tak ada kesempatan baginya untuk beristirahat, dia hanya bisa pulang untuk mengganti pakaian, lalu harus berangkat lagi untuk menjalankan kerja shift malamnya yang lain.

Elina sudah terbiasa hidup sendirian, sebatang kara dan berjuang dengan kekuatannya sendiri untuk memperbaiki hidupnya. Dia tumbuh besar tanpa mengetahui siapa orang tua sebenarnya, tanpa mengetahui siapa asal usulnya, di sebuah panti asuhan reyot di kota kecil yang menempel dengan kota tempat dia mencari rejeki saat ini.

Hidupnya di panti asuhan penuh perjuangan, dia harus belajar berbagi dan menahan keinginan hati, juga tidak pernah merasakan memiliki barang baru yang dibeli untuk dirinya sendiri.

Ya, hidup di panti asuhan dengan donatur yang hanya sedikit, membuat dirinya dan anak anak yang lain, harus merasa puas mendapatkan barang barang bekas untuk melengkapi diri mereka.

Ketika Elina sudah lulus Sekolah Menengah Atas, dia mendapatkan kesempatan untuk hidup mandiri. Ibu panti asuhan membekalinya dengan ijazah, dan sedikit uang untuk membantunya bertahan hidup sebelum mendapatkan pekerjaan. Uang sakunya mungkin sedikit, tetapi bagi Elina yang terbiasa bekerja keras sedari dini, uang itu bisa menjadi bisa menjadi batu pijakan yang bisa melontarkannya menuju kesuksesan.

Belajar untuk efisien, Elina menggunakan uangnya untuk menyewa kontrakan kecil kumuh yang berada di dalam gang yang berdesak-desakan dengan rumah-rumah kumuh lainnya. Elina sengaja memilih lokasi yang jauh dan susah dijangkau untuk menekan harga. Strateginya berhasil karena dia bisa mendapatkan harga yang pantas untuk sebuah rumah tinggal yang meskipun reyot, cukup layak untuk menjadi tempat berpulang dan berteduh.

Sisa uang yang didapatkannya dia gunakan untuk mendaftar kursus komputer dan bahasa inggris, sebuah pengetahuan dan keahlian yang bisa digunakannya untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik. Beruntung, salah seorang alumni panti asuhan yang baik hati membantunya untuk melamar pekerjaan sebagai penjaga di sebuah minimarket yang berada tak jauh dari rumah kontrakannya. Elina menggunakan uang dari pekerjaannya untuk bertahan hidup dan membiayai kursusnya. Dia menjalani kursus di siang hari dan menyilangkan waktu dengan bekerja di jam yang lainnya, terus bekerja keras untuk mempertahankan kemandiriannya.

Elina tahu bahwa dia harus memperjuangkan masa depannya sendiri. Karena dia sebatang kara di dunia ini, dia tidak memiliki siapapun untuk bernaung ataupun hanya sekedar berkelu kesah.

Pada siapa lagi dia harus bergantung kalau bukan pada dirinya sendiri?

Sekarang sudah hampir dua tahun berlalu sejak dia melepaskan diri dari panti asuhan yang membesarkannya dan hidup mandiri. Dia sudah menyelesaikan kedua kursusnya tiga bulan lalu, dan sekarang berjuang untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dari pada hanya sekedar menjadi seorang penjaga supermarket kecil di pinggiran kota.

Elina ingin seperti wanita wanita karir yang sering dilihatnya ketika menjaga supermarket, wanita wanita itu biasanya mampir sepulang kerja untuk membeli sesuatu. Penampilan mereka bersih dan rapih dan mereka menghabiskan uang banyak hanya untuk membeli barang barang remeh seperti cemilan dan produk kecantikan tanpa mengedipkan mata sekalipun.

Ketenangan jiwa dalam kehidupan, itulah yang di inginkan oleh Elina. Dia tidak pernah memiliki mimpi yang muluk muluk. Yang di inginkannya adalah ketenangan jiwa ketika menjalani kehidupan, termasuk tidak perlu merasa khawatir jika harus mengeluarkan uangnya untuk membeli sesuatu, sama seperti yang dirasakan oleh wanita wanita karier itu.

Kondisi mereka sudah tentu berbeda jauh dengan apa yang dirasakan oleh Elina, ketika dia mendapatkan gaji bulanannya, Elina harus segera memilah milah kebutuhannya sehingga dia tidak berakhir kelaparan di tengah bulan tanpa uang sepeser pun. Uang kontrakan mutlak dibayarkan di awal bulan, lalu Elina akan memisahkan uang untuk makan dan untuk kebutuhan hidupnya. Hanya untuk kebutuhan primer saja uangnya hampir tidak cukup, membuatnya terlatih menahan lapar ketika dia melihat isi dompetnya mulai menipis di akhir bulan.

Dan kecemasan itu selalu menyertainya, kecemasan memikirkan apakah dia bisa bertahan sampai akhir bulan, kecemasan memikirkan apakah dia masih bisa makan sampai esok hari. Semua itu bahkan lebih melelahkan dari kerja kerasnya yang tak kenal menyerah.

Karena itulah, mimpi Elina tidak muluk-muluk, dia ingin menjadi wanita karir yang bekerja di kantoran, yang bekerja dengan pakaian rapih, yang berangkat bekerja di jam yang sama jam delapan pagi sampai jam lima sore, yang ketika menerima gaji masih memiliki sisa uang untuk sekedar membeli pakaian atau sepatu baru, atau bahkan duduk duduk di cafe sambil menyesap kopi dengan berbagai nama unik yang menderaskan air liur. Cukup sesederhana itulah yang Elina inginkan.

Sayangnya, jenjang pendidikan yang dia miliki ditambah dengan dua jenis kursus yang menunjukkan keahlian tambahannya ternyata masih belum bisa bersaing di kerasnya dunia pencari kerja yang angkuh. Sampai dengan tiga bulan lamanya, dengan begitu banyaknya surat lamaran digital ke perusahaan perusahaan yang membutuhkan tenaga administrasi, tidak ada satupun yang memanggilnya untuk hanya sekedar wawancara dan menilai kemampuannya.

Elina tahu bahwa para sarjana dari lulusan universitas pun kesulitan mencari pekerjaan di masa sekarang ini. Dan sadar bahwa dirinya tak sebanding dengan mereka. Pemikiran itulah yang membuatnya hampir putus asa, membuatnya tidak bersemangat lagi mencari pekerjaan, dan mulai menerima bahwa mungkin seumur hidupnya, dirinya hanya akan berhasil mencapai jenjang pekerjaan sebagai penjaga supermarket kecil di pinggiran kota.

Tetapi, mungkin Tuhan masih sedikit berbaik hati kepadanya. Salah seorang temannya yang bergantian shift dengannya menjaga supermarket, tiba tiba membisikkan tawaran pekerjaan yang menarik untuknya.

Sachi cukup cantik dan berusia dua tahun lebih tua darinya, dan mereka sudah bekerja bersama setahun lebih sebagai penjaga supermarket, meskipun sebenarnya mereka tidak terlalu akrab sebab jadwal kerja mereka sebagai lawan shift membuat kondisi mereka sangat jarang bisa bekerja di jam yang sama dan menghabiskan waktu bersama.

Mungkin melihat betapa kerasnya usaha Elina untuk mencari pekerjaan, Sachi akhirnya jatuh iba dan membisikkan pada Elina untuk bergabung bersamanya menjalankan pekerjaan tambahan yang terasa menggiurkan. Pekerjaan dilakukan di dini hari, tetapi Sachi menjamin bahwa pekerjaan itu tidak berbahaya. Meskipun lokasinya berada di sebuah kelab malam ternama di tengah kota, Elina tidak bekerja sebagai perempuan malam yang menemani tamu-tamu minum dan berdansa seperti Sachi, melainkan bekerja sebagai pembersih toilet.

Ya, sebagai pembersih toilet. Sachi bilang pekerjaan itu mendapatkan gaji yang lumayan, hampir dua kali gaji menjaga supermarket, meskipun harus memiliki kekuatan lebih.