webnovel

KEPUASAN YANG BERBEDA

Ketika Elina membuka mata kembali, kepalanya terasa sangat pening. Dia mengerjapkan mata berkali-kali untuk menguraikan pandangannya yang kabur, tetapi yang tampak di depannya hanyalah bayangan samar yang berputar-putar, membuatnya merasa makin mual.

"Pelan-pelan. Kau berdarah banyak tadi karena jahitanmu terbuka."

Suara tenang itu membuat Elina terkesiap. Dia menyipitkan mata, berusaha menahan rasa tak enak yang bergolak di tubuhnya dan menolehkan kepala ke arah sumber suara. Jantungnya langsung berdegup ngeri ketika menyadari bahwa monster itu, Akram, ia tengah duduk di kursi dekat dengan tempat tidurnya, mengawasinya dengan mata hazelnya yang menusuk tajam.

Elina berusaha menggerakkan tangannya tangannya untuk menyentuh kepalanya yang sakit, tetapi dia mengerutkan kening bingung ketika menyadari bahwa lengannya tidak bisa digerakkan. Elina menundukkan kepala untuk melihat tangannya, dan matanya membelalak ketika menyadari bahwa kedua tangannya diikat masing-masing ke besi yang memagari sisi ranjang rumah sakit itu.

Tangannya yang di infus di ikat erat di dengan sesuatu yang tampak seperti pita hitam satin yang sangat kuat di pergelangan. Sementara, tangannya yang memiliki jahitan akibat sayatan, diikat kuat di bagian lengan, mendekati sikunya dengan ikatan yang sama kuatnya pula.

"Aku yang akan mengikatmu sendiri, supaya kau tidak alam pernah bertindak bodoh dan melukai dirimu dengan sengaja." Akram menyipitkan mata. "Lain kali, jika kau berbuat kebodohan yang sama lagi, aku tidak akan sebaik hati ini dengan hanya mengikatmu. Aku akan langsung memutuskan saraf tangan dan kakimu sehingga lengan dan kakimu akan lumpuh tak tersembuhkan." Ancamnya dengan nada gelap mengerikan.

Elina menghela napas panjang, tubuhnya setengah menggigil ketika ancaman menakutkan itu menusuk ke dalam jiwanya, membuatnya dipenuhi kengerian yang amat sangat.

Lelaki ini benar-benar monster tak berhati. Dia tidak menutup-nutupi sikap kejam dan jahatnya. Dan Akram sudah pasti tidak hanya menggertak ketika mengancam Elina dengan kekejaman tak kenal ampun. Jika Elina berani membangkang lelaki itu, sudah pasti Akram akan benar benar membuatnya lumpuh tak berdaya di atas ranjang meratapi kegilaannya.

Elina tidak punya pilihan lain, bukan? Terpenjara tetapi masih memiliki kekuatan atas tubuhnya sendiri jelas-jelas lebih baik dari pada menjadi sosok wanita cacat seumur hidupnya yang hanya bisa menggantungkan diri pada orang lain. Akram... laki laki bajingab itu dengan jahatnya tidak memberikan pilihan pada Elina.

Akram bergerak dan berdiri di tepi ranjang, sementara Elina yang terikat tak berdaya di atas ranjang, tak mampu mendorong dirinya menjauh, hanya mampu menatap Akram dengan mata membelalak penuh kewaspadaan.

"Apakah kediamanmu itu berarti kau berniat untuk patuh?" Akram bertanya dengan seringai dingin yang keji. Lelaki itu duduk di tepi tempat tidur, lalu menelusurkan jemarinya ke pipi Elina.

Seketika Elina memalingkan wajahnya menghindar, membuat senyum jahat terurai di bibir Akram. Lelaki itu melepaskan sentuhannya dari pipi Elina, lalu bergerak untuk membuka jas hitam yang dipakainya, melemparkannya begitu saja ke kursi di samping ranjang rumah sakit. Setelahnya, lelaki itu membuka dasinya dan kembali melemparkannya dengan serampangan, tangannya lalu membuka kancing kemejanya satu persatu, dengan gerakan provokatif yang disengaja, dan kemudian kembali melemparkan kemejanya itu ke kursi, memamerkan tubuh kuatnya yang keras dengan otot terlatih yang sangat maskulin.

Sepanjang gerakan Akram, Elina berusaha sekiat tenaga untuk bertahan, menatap Akram dengan mata melebar penuh ketakutan bercampur waspada, dan Akram sendiri juga membalas menatap Elina dengan tajam dengan senyuman menantang, seolah olah sengaja mengadu kekuatan hati dengan Elina.

Ketika jemari lelaki itu melepaskan kaitan ikat pinggangnya dan bergerak membuka celananya, kepanikan memenuhi jiwa Elina, membuatnya menggerakkan tubuhnya dengan panik meskipun tertahan oleh tangannya yang terikat di besi samping ranjang.

"Kau... kau mau apa...?" Serunya panik setengah menjerit.

Lelaki ini tidak akan melakukan 'itu' di dalam kamar perawatan rumah sakit, bukan? Bagaimana jika para perawat atau dokter memasuki ruangan? Dan juga, bukankah Elina masih sakit? Apa lelaki itu sebegitu tak mempunyai belas kasihannya sehinga tega memaksa Elina melayani nafsunya ketika Elina sedang sakit seperti ini?

"Aku ingin apa? Tentu saja aku ingin menidurimu." Akram menggerakkan jemari untuk melepaskan celananya dengan sensual. "Melihatmu terikat dengan pita satin ini membuatku sangat bernafsu, aku akan meledak kalau tidak menidurimu sekarang." Akram bergerak naik ke atas tempat tidur, menyelubungi tubuh rapuh Elina dengan tubuh kuatnya di atasnya.

Dan ketika lelaki itu menyentuhkan bibirnya ke bibir Elina, mencumbunya sesuka hati tanpa izin, Elina hanya bisa memejamkan mata dengan perasaan bergolak di dalam jiwanya.

Marah, terhina, sedih, sakit hati, semua emosi itu bergolak dalam hatinya, membuat setetes air mata frustasi menetes jatuh tak tertahankan, membasahi pipinya.

Tubuh lemah Elina terbaring di bawahnya, tak berdaya di bawah kuasanya. Perempuan itu memalingkan muka dengan mata terpejam dan seluruh tubuh memancarkan sinyal penolakan, seolah olah ingin menipu diri bahwa Akram tidak sedang berada di atasnya dalam posisi paling intim yang paling biasa terjadi antara seorang lelaki dan seorang perempuan.

Biasanya, setelah memuaskan diri seperti ini dengan wanita wanitanya yang lain, Akram akan langsung melepaskan diri menjauh, berusaha meminimalisasikan kontak tubuh dengan wanita itu. Akram tidak suka keintiman setelah bercinta, dia akan memuaskan perempuan manapun yang ditidurinya dengan sangag ahli, membuat perempuan-perempuan itu mengerang, merengek dan menjerit dengan keahliannya bercinta. Tetapi hanya sampai di situ. Ketika proses bercinta telah selesai, Akram akan menolak segala bentuk keintiman baik dalam sikap maupun dalam sentuhan sesedikit apapun itu.

Tetapi kali ini berbeda. Ketika Akram telah memuaskan hasratnya dari tubuh milik Elina, dia sama sekali tidak ingin bangkit dan menjauh dari Elina. Seluruh tubuhnya masih menginginkan keintiman lebih lanjut dengan perempuan itu, sebuah hasrat asing yang tidak dimengertinya.

Akram ingin melingkarkan tangannya memeluk perempuan itu dalam rengkuhan lengannya, menenggelamkan wajah perempuan itu rapat di dada kerasnya yang telanjang, lalu mendaratkan wajahnya di lekukan antara leher dan bahu perempuan itu, mengirup aroma dari permukaan kulitnya yang lembab penuh dengan feromon setelah bercinta. Akram ingin menyatu dengan perempuan itu lebih lama, dalam keintiman tingkat tinggi yang tidak pernah dirasakannya kepada perempuan lain sebelumnya.

Tanpa sadar, tangan Akram bergerak menyentuh pipi Elina dengan lembut, mengangsurkan jarinya dengan sikap hati-hati yang tidak pernah dia berikan pada perempuan lain sebelumnya.

Namun akan tetapi, reaksi Elina sangat bertolak belakang. Begitu ujung jarinya menyentuh permukaan kulit Elina, tubuh perempuan itu menegang, matanya terpejam semakin erat seolah jijik bercampur ketakutan kepadanya.

Akram langsung menarik kembali tangannya ketika mendapatkan reaksi penolakan yang gamblang dari Elina itu. Bibirnya menipis penuh rasa tersinggung dan kemarahan yang merobek keangkuhan harga dirinya yang tinggi.

Tidak pernah ada satu perempuan pun yang menolaknya sebelumnya. Bagaimanapun para perempuan itu berpura pura jual mahal dan sulit didapatkan, pada akhirnya mereka akan menunjukkan warna aslinya dan menyerah pada pesona Akram, mereka akan berakhir menyembah dan memuja di bawah kaki Akram, putus asa untuk mendapatkan perhatiannya.