webnovel

ALONE

Elios melebarkan matanya ketika sebuah kesadaran menembus pikirannya. Ditatapnya Akram setengah menebak.

Jangan-jangan, tuannya itu ingin membawa Elina ke sana?

"Ya. Aku akan membawa Elina ke sana." Akram menjawab pertanyaan tanpa suara yang diajukan oleh Elios.

"Lakukan pekerjaan dengan bersih, Elios. Datanglah ke tempat tinggal Elina, ambil semua barang-barangnya dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, bereskan urusan dengan tempat tinggal Elina. Juga uruslah tempat kerja Elina dan selesaikan semua urusan perempuan itu dengan semua orang yang mengenalnya, baik orang-orang di tempat kerjanya, orang-orang di klab yang berinteraksi dengannya, juga panti asuhan tempat Elina berasal. Bunuh yang harus dibunuh, singkirkan semua saksi. Bereskan semua itu hingga jejak perempuan itu hilang tak bersisa."

Elios melebarkan mata. "Anda ingin membawa Elina ke villa di pulau hijau dan memutuskan seluruh hubungannya dengan dunia serta masa lalunya?" Simpulnya yanv tak percaya.

Akram menyeringai. "Perempuan itu telah berani melawanku dan menolakku yang tak pernah ditolak sebelumnya. Aku akan membuatnya kehilangan segalanya hingga dia tidak memiliki apapun di dunia ini selain diriku. Dan ketika dia menyadari itu semua, menyadari betapa rendah posisinya, aku yakin perempuan itu akan merayap di bawah kakiku untuk memohon belas kasihan dan perhatianku."

**

Ketika Elina membuka mata, yang dilihatnya adalah ruangan yang asing dan sama sekali tidak dikenalinya. Pikiran Elina terasa berkabut, seluruh ingatannya terpecah menjadi kepingan memori yang bertebaran, sulit untuk disatukan kembali dan membuat otaknya terasa sakit ketika dia berusaha melakukannya.

Dia ada di mana?

Kebingungan, Elina memindai ruangan itu dan malahan semakin tidak bisa menebak lokasi dirinya berada saat ini. Ruangan ini sangat indah, bahkan hanya sekilas pandang saja Elina tahu bahwa ruangan ini memiliki kemewahan yang seharusnya tidak bisa dimasuki oleh rakyat jelata sepertinya.

Kenapa dia bisa berakhir di tempat ini?

Elina mencoba menggali ingatannya, tetapi kepalanya malahan terasa sakit. Elina lalu mengangkat tangannya untuk menyentuh kepalanya, tetapi dia merintih terkejut ketika merasakan nyeri yang amat sangat dari pergelangan tangannya.

Elina mengangkat kepala dan matanya melebar ketika dia melihat perban tebal yang membebat pergelangan tangannya, dan juga selang infus di punggung tangannya yang lain.

Dia berada di rumah sakit?

Elina memandang sekeliling kembali untuk memastikan, kali ini indera penciumannya sudah bekerja lebih baik sehingga dia bisa membaui aroma khas rumah sakit, bau obat bercampur dengan disinfektan yang steril tak terbantahkan yang memenuhi ruangan ini.

Tetapi, kalau ini memang kamar rumah sakit, kenapa dia bisa berakhir di dalam sebuah kamar yang begini mewah? Padahal, kalau ditengok dari kondisi keuangan Elina, mungkin dia hanya mampu membayar untuk area bangsal, area kamar pasien paling murah yang bisa ditempati sampai dengan enam belas pasien dalam satu ruangan.

Mata Elina berakhir kembali ke pergelangan tangannya dan otaknya bekerja keras untuk memompa kembali seluruh memori untuk mencari mencari tahu apa yang menyebabkannya berakhir di tempat ini. Elina memejamkan mata, berusaha menenangkan diri dan mengingat kembali, menyatukan seluruh kepingan dan serpihan ingatan yang berceceran dan sekuat tenaga berusaha menyatukannya kembali lagi.

Akram....

Nama itu tiba-tiba terngiang di dalam kepalanya, lengkap dengan kelebatan ingatan yang menggambarkan sosok lelaki beraura gelap yang menatapnya dengan tatapan tajam mengerikan ketika menyebutkan namanya untuk memperkenalkan dirinya pada Elina.

Tubuh Elina menegang, tangannya langsung bergerak mencengkeram selimut tebal di pinggangnya dan menariknya ke dada, memeluk dirinya sendiri dengan gemetaran ketika teror dan ketakutan melingkupi dirinya tanpa ampun.

Kelebatan ingatan demi ingatan yang begitu jelas membanjiri kepalanya, mengembalikan kesadarannya sepenuhnya akan apa yang telah terjadi.

Bahkan rasa sakit yang begitu menggigit ketika lelaki jahat bernama Akram itu merenggut kesuciannya, masih terbayang jelas sampai sekarang, membuat Elina menggigit bibir dan menahankan air mata yang mulai terkumpul di sudut matanya. Bayangan akan perkosaan brutal yang dilakukan oleh Akram yang tanpa ampun dan tanpa menahan diri, memuaskan nafsunya tanpa peduli jerit kesakitan dan permohonan mengiba Elina agar dia berhenti, membuat Elina tidak bisa menahan lagi tangisannya. Air mata bergulir kencang membasahi pipi, diiringi isakan tak berdaya dari seorang perempuan yang telah kalah, kehilangan kesucian yang seharusnya dijaganya sampai waktunya untuk diserahkan.

Elina begitu putus asa dan merasa dirinya begitu kotor setelah Akram menyelesaikan nafsunya. Lalu ketika akhirnya lelaki itu melepaskan dirinya dan meninggalkannya sendirian, Elina hanya bisa terbaring pilu di atas ranjang, berharap kematian segera menjemputnya. Kemudian, mata Elina tak sengaja melihat ke arah gelas air yang ditinggalkan oleh Akram untuknya, dan pikirannya menjadi nekad.

Yang dia tahu bahwa pada detik itu, kematian merupakan jalan keluar yang paling mudah dan paling tidak menyakitkan. Elina tidak sempat berpikir lagi ketika dia memecahkan gelas itu, mengabaikan rasa ngeri dan akhirnya berhasil menyayat nadinya dengan pecahan gelas nan tajam tersebut.

Dia seharusnya sudah tertidur lelap dalam kematian yang merangkul semua deritanya dan menghapus semua petakanya di dunia ini. Tetapi kenapa dia masih hidup? Kenapa dia malahan berbaring di atas ranjang rumah sakit ini dengan luka percobaan bunuh dirinya yang diperban untuk perawatan? Kenapa dia diselamatkan? Kenapa dia tidak dibiarkan mati?

Bagaimana dia menjalani kehidupannya setelah ini? Bagaimana bisa dia melangkah ke depan dengan mengetahui bahwa tubuhnya sekarang sudah begitu kotor? Terjamah tanpa izin dan ternoda dengan kejam? Apa yang akan dia gunakan sebagai bukti pertanggung jawaban moralnya sebagai seorang perempuan kepada suaminya di masa depan nanti?

Elina selalu seorang diri di dunia ini, dia sebatang kara di panti asuhan, lalu berjuang hidup sendiri, bekerja keras dan sekuat tenaga menghidupi diri dengan kekuatannya sendiri. Pada malam-malam sepi, Elina bahkan harus memeluk dirinya sendiri, dalam kesepian dan rasa iri akan orang lain yang begitu beruntung memiliki keluarga sebagai tempat bersandar dan berkeluh kesah. Seorang ibu untuk dipeluk, seorang ayah untuk mengadu, saudara-saudara untuk berbagi tawa dan kesedihan... itu semua tidak dimiliki oleh Elina.

Meskipun begitu, Elina merasa bahwa masih ada harapan untuknya bisa menemukan teman hidup untuk selamanya di masa depan, impian akan seorang lelaki baik baik yang bertanggung jawab, yang menjadi tempatnya bersandar dan membentuk sebuah keluarga bahagia. Mereka akan menciptakan keluarga kecil yang indah, dianugerahi anak-anak yang ceria dan memenuhi rumah mereka dengan gelak tawa.

Tetapi, itu semua mungkin akan menjadi impian yang tak akan pernah terwujud setelah ini. Dengan kesuciannya yang terenggut, dengan tubuh kotornya yang ternoda, Elina tidak punya nyali untuk mencari lelaki baik yang mau menerimanya apa adanya.

Air mata menderas kembali, membuat pipinya basah hingga Elina terpaksa menutup wajahnya dengan kedua tangan untuk menahan isakanya yang makin tak terkendali. Mungkin... mungkin memang Elina ditakdirkan untuk membuang impiannya membentuk keluarga impian di masa depan, mungkin memang Elina ditakdirkan menjadi sebatang kara, hidup seorang diri sampai ajal menjemputnya nanti.