webnovel

Perdebatan

(Sebastian Xu)

Alex terdiam menanggapi perkataanku yang tidak suka. Dia menggampangkan sesuatu yang buruk.

"Ya, tapi kita harus melihat faktanya. Sesuatu yang nyata, bukan sesuatu yang tidak nyata. Pak Inara melakukan ritual, tetapi dia tidak terjadi apa-apakan? Malah putrinya yang mengamuk. Mungkin balas dendam pada Pak Inara."

"Karena dunia ini tidak sesempit yang anda kira. Ada yang nyata dan ada yang tidak nyata, atau sulit orang pahami. Yang aku tegaskan, Anaya tidak membunuh anak-anaknya, dia mengalami kondisi psikis yang buruk dan Anaya menganiaya Pak Inara. Itu bukan atas kehendaknya," jawabku tenang.

Suasana di ruang sidang cukup panas dan tegang. Kasus seperti ini memang sangat sulit di pahami, dimana suatu kasus itu harus ada buktinya. Bukannya melibatkan sesuatu yang orang-orang tidak paham. Dua lawan satu, di sini aku sendiri melawan Alex dan Pak Inara.

"Kalau bukan karena kehendaknya, memang apa? Kerasukan setan, iblis? Kalau begitu, orang-orang yang selama ini membunuh orang juga karena kerasukan. Jangan kaitkan hal gaib dengan dunia nyata. Benarkan Pak Hakim?"

Aku akhirnya tahu, akhir dari sidang ini kemungkinan tidak akan membuahkan hasil yang baik. Selama aku dan Alex sibuk berdebat, Pak Amkar menyimak setiap tuduhan dan pembelaan dari kedua belah pihak.

"Kita di sini membahas terdakwa Anaya yang telah membunuh anak-anaknya dan penganiayaan terhadap Pak Inara," kata Pak Amkar yang hanya ingin netral, tidak ingin membela salah satu pihak.

"Jadi di sini Anaya memang membunuh anaknya atas kesadarannya sendiri. Mana bisa seseorang membunuh orang lain, dengan alasan dirasuki iblis atau bisikan gaib. Dia saja mungkin yang tidak ingin di penjara, maka dari itu mengarang dengan alasan depresi." Alex berkoar di pengadilan. Beberapa orang yang menonton jalannya persidangan ada yang menyetujui pendapatnya.

"Bukan selalu kerasukan. Seseorang yang sudah mengalami tekanan mental yang sangat besar, mereka memiliki dua sisi. Seperti kepribadian ganda atau sisi gelap yang mengendalikannya. Saya membawa seorang dokter psikologi yang menangani Anaya."

Dokter Claudia, dengan pakaian dokternya dan tampilannya sederhana. Menyampaikan pendapatnya sebagai dokter yang menangani Anaya.

"Saya sebagai dokter yang menangani penyakit mental Anaya, dan lebih dari lima tahun. Mungkin anda sebagai ayahnya tidak mau tahu psikis yang dialami putri anda. Anaya mengalami penyakit mental berat sejak lama, bahkan saya ragu, jika penyakitnya sudah ada sedari kecil. Semenjak Anaya menikah dengan Eka, Anaya merasa nyaman dan ada seseorang yang bisa melindunginya, tetapi, semenjak suaminya memutuskan merantau. Penyakitnya kembali kambuh."

"Alasan. Mana percaya yang seperti itu. Putriku hanya pura-pura gila, dia sudah sekongkol dengan dokter gadungan ini," elak Pak Inara.

Sampai saat ini masih ada saja orang-orang yang menyepelekan penyakit mental, menganggap itu hanya bualan semata.

"Putriku saja yang mentalnya lemah, tidak bisa lihat kalau dunia ini sangatlah keras. Sok konsultasi ke psikiater."

Seseorang tertawa di ruang pengadilan yang saat ini diliputi ketegangan oleh ke dua belah pihak. Pak Inara yang dari tadi banyak bicara terdiam. Jika Karin sudah mengintrupsi persidangan ini, maka dia tidak toleran terhadap orang-orang yang menyepelekan sesuatu. Aku sangat mengenalnya sekali, watak dan sifatnya.

"Harus dikasih apa sama orang bodoh yang menyepelekan penyakit mental?"

Pak Amkar menatap tajam Karina. Wanita itu memutar bola matanya. " Karin, ini di ruang sidang. Apa kamu tidak bisa tidak ikut campur?"

"Pak Tua, aku hanya menanyakan saja. Tidak perlu diambil serius," kata Karin santai.

Pak Amkar hanya bisa menghela napas panjang, jika Karin sudah ikut bersuara di persidangan, tidak ada yang bisa menghentikan wanita itu. Dia punya prinsip nya sendiri dan aku bersyukur dia mau sebagai hakim di persidangan.

"Jadi, anda ayah dari Anaya?"

"Ya, memangnya kenapa?" ujar Pak Inara menantang.

"Apa anda tidak bisa merawat putri anda dengan baik?"

"Apa maksudnya?" Pak Inara bertanya kasar.

Karina menopang tangannya di dagu, menatap remeh lawan bicaranya. Aku hanya memperhatikannya saja.

"Anda tidak mempercayai putri anda sedang sakit mental. Orang-orang seperti ini yang selalu menutup mata, masih banyak orang yang mengalami sakit mental karena lingkungan dan keluarga. Kita contohkan saja, Anaya bisa mengamuk dan membunuh. Selalu ada pemicunya, kalian selalu tidak percaya seseorang dikendalikan. Anggapan kesurupan, bisikan-bisikan gaib. Semua itu memang nyata, tetapi tidak bisa di lihat."

"Selalu ada pemicunya, baik itu lingkungan luar dan keluarga. Kita asumsikan saja, semua itu memang nyata dan masih banyak orang yang tidak mau mempercayainya, karena itu sesuatu yang sangat mustahil."

Aku menyimak apa yang di sampaikan Karin. Tapi, aku merasakan sesuatu yang tidak beres. Anaya yang berada di sampingku. Dia sedang tidak baik-baik saja.

Aku menepuk bahunya dan menanyakannya, karena wanita di sampingku hanya menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di balik rambut. "Anaya, ada apa?"

Dia tidak menjawab, tetapi ada yang tidak beres dengannya. Anaya tiba-tiba mengamuk, menjungkir balikkan meja. Ruang sidang menjadi riuh ketakutan, orang-orang yang menonton jalannya persidangan berteriak histeris, kocar-kacir lari menyelamatkan diri. Tentu saja, Anaya dengan beringas berlari tanpa arah, ingin melukai orang-orang. Aku mencekal kedua tangan Anaya, dibantu John yang menahan sakit di perutnya karena bekas operasi.

"Lihat, lihat, lihat. Dia pura-pura gila, mengamuk tidak jelas seperti ini. Seharusnya dia di tahan, bahkan kalau perlu di penjara seumur hidup," ucap Pak Inara heboh, menunjuk-nunjuk Anaya.

Aku tidak bisa menghentikannya. Dia seperti dikendalikan seseorang. Tapi, mana mau orang-orang percaya seperti itu. Aku merasakan sesuatu yang mengendalikannya.

Karin berjalan dari kursi hakim, berjalan ke arah aku dan John yang tengah menahan Anaya. Tapi kekuatan Anaya begitu besar sekali, aku tidak bisa menahannya lagi. Anaya dengan mudah mengangkat aku dan John, melempar kami seperti karung yang ringan. Aku terpelanting dan menabrak dinding. Meringis, menahan sakit dipunggung. Aku melihat John menabrak meja dan terpelanting, jatuh ke lantai.

aku mengkhawatirkan luka John yang belum sembuh sepenuhnya.

Anaya mengamuk, mengejar orang-orang di persidangan, berusaha menghindari Anaya. Karin naik ke atas meja hakim, melompat dan mendarat di samping Anaya. Menendang keras tubuh Anaya, menabrak bangku-bangku, tempat menonton jalannya persidangan. Masih ada beberapa orang yang belum keluar.

Karin melangkah ke arah Anaya yang tergeletak tidak sadarkan diri, berlutut di hadapan Anaya. Aku memegang pergelangan tanganku yang terkilir.

"Jadi begitu?!"

Aku tidak tahu apa yang diucapkan Karin. Karin berbalik, menatap tajam Pak Inara. Langkahnya begitu cepat sekali, dengan cekatan, tangan Karin mencengkram pergelangan tangan Pak Inara.

"Apa-apaan ini? Kamu apakan saya?" Pak Inara panik. Sesekali melirik Alex yang bingung, memberi kode seakan meminta bantuan. Tapi yang dimintai bantuan tidak mengerti.

Karin mengambil sesuatu dibalik kantong baju Pak Inara. Sebuah boneka berbentuk manusia. Sebagian orang yang tidak keluar dari ruang sidang, termangu menatap benda di tangan Karin. Entah dapat dari mana pemantik itu, Karin membakar boneka kecil berbentuk manusia, menjatuhkannya ke bawah dan menginjaknya hingga menjadi abu. Aku beralih ke Anaya yang tidak sadarkan diri, melihat guratan hitam di wajah Anaya menghilang.

"Apa sesuatu yang seperti ini masih kurang dipercaya?"

Tidak ada yang memberi tanggapan atau jawaban. Karin menatap tajam Pak Inara, seperti harimau yang siap menerkam mangsanya.

"Licik sekali. Seorang ayah ternyata bisa tega menyakiti putrinya, mengendalikan putrinya sesuka hati dengan benda ini." Karin berbalik menatap Pak Amkar yang hanya terdiam, dua mata yang saling bertatap. "Jadi bagaimana?" tanya Karin.

"Sidang hari ini ditunda. Sidang kedua, akan dilaksanakan tiga hari kemudian," jawab Pak Amkar mengetuk palu.

Aku membawa Anaya ke ruang pengobatan, di bantu dua petugas kepolisian. John juga dibawa langsung ke rumah sakit, luka tusukannya terbuka akibat terbentur meja. Untuk saat ini Anaya tidak di kembalikan ke sel tahanan. Menimbang psikis Anaya yang tidak baik-baik saja.

***

Semuanya tidak berjalan baik. Anaya kembali mengamuk dan ternyata, Anaya mengamuk karena dikendalikan oleh Pak Inara. Untung saja ada Karin yang mengetahuinya, Anaya kembali tersadar dan lepas dari kendali. Anaya terbaring di ruang pengobatan, sedangkan John kembali dilarikan ke rumah sakit.

Berjalan-jalan di lorong, aku mendengar Pak Amkar dan Karin tengah berdebat. Aku melihat mereka di samping lorong. Aku tidak enak jika harus ke sana, menunggu Karin menyelesaikan masalahnya, aku tidak sengaja mendengar percakapan mereka.

"Aku sudah bilang cukup. Kamu terlalu membuka begitu banyak hal-hal yang seharusnya non magis ketahui, mereka itu tidak percaya dengan orang-orang seperti kita, spirit magis."

"Pak Tua takut aku mengekspose kebenaran ini. Tidak lama lagi, semua orang akan sadar, kalau mereka berdampingan dengan orang-orang seperti kita. Kita saja sebagai spirit magis terlalu menyembunyikan diri kita dari mereka. Pak Tua itu selangkah lagi, memakai barang magis dan kekuatan ilmu hitam. Padahal Pak Tua itu hanya non magis, bukan spirit magis. Dan satu lagi, aku adalah Master Spirit Magis Agung. Master Spirit Magis Agung terdahulu ingin orang-orang seperti kita menemukan keadilannya di dunia ini."

Sepertinya Pak Amkar menyadari kehadiranku dan tidak lagi melanjutkan pembicaraan. "Kita bicarakan nanti."

Pak Amkar melewatiku dan aku menyapanya ramah, meski dijawab dingin.

"Dasar Pak Tua bodoh," gerutu Karin.

Karin dan Pak Amkar memiliki perbedaan umur yang cukup jauh, sembilan tahun lebih tua. Tapi, karena Karin yang awet muda di usianya yang tak lagi muda. Sering melakukan perawatan mahal hingga ke luar negeri. Hubungan mereka juga sebagai senior dan junior tidak lah baik. Selalu ada perdebatan diantara mereka.

"Dari dulu dia memang tidak menyukai orang-orang biasa yang tidak percaya atau orang yang memiliki kekuatan unik di banding orang biasa. Baginya, orang-orang biasa itu lemah dan mereka yang memiliki kekuatan itu yang lebih hebat."

"Dunia semakin modern, orang-orang juga tidak mungkin percahaya hal-hal seperti itu," ucapku menanggapi pernyataan Karin.

"Jadi, aku sudah lihat barang yang kamu bawa itu. Tidak salah lagi, itu terhubung oleh seseorang yang memanggil sosok Iblis ke dunia ini."

"Apa anda tahu siapa pemilik topeng ini?" tanyaku.

"Aku tidak tahu. Tapi benda seperti ini sering digunakan dalam ritual pemanggilan iblis, entah iblis apa yang dipanggil. Semua itu terlalu luas sekali. Bash, apa kamu bisa mencari jejak pemilik topeng ini?"

"Saya akan usahakan mencarinya, Nyonya Karin."

Aku sudah putuskan, mencari tahu pemilik benda ini. Mungkin aku meminta bantuan padanya. Dia memang masih sangat muda, kegiatan yang padat dan pelatihannya. Mungkin, aku bisa minta tolong padanya.