webnovel

Meminta Tumbal

(Sebastian Xu)

"Dasar anak sialan. Mati saja kamu dengan anak-anakmu itu." Pak Inara menatap bengis dan keji. Tidak ada sorot mata seorang ayah yang menyayangi dan melindungi putrinya.

Pak Inara melemparkan vas bunga ke arah Anaya. Seharusnya vas itu mengenai Anaya. Tapi, kebencian dan rasa sakit hati yang terlampau besar. Anaya meraung bagaikan binatang buas yang sedang marah, memperlihatkan deretan gigi-gigi yang menghitam, raungan yang sangat kencang dan hembusan angin menerbangkan segala macam barang yang mengarah ke Pak Inara. Aku berlari dan melindungi pria gemuk itu dengan tameng yang aku buat. Pecahan kaca, kayu dan vas berhamburan ke lantai, mengenai tamengku, tetapi aku dan Pak Inara baik-baik saja.

"Kamu, kamu lindungi saya. Dia anak iblis, monster yang pantas dimusnahkan."

Aku berdecih kesal. Setega itu kah Pak Inara pada putrinya sendiri. Dia sendiri yang membuat putrinya menderita dan sekarang, putrinya dirasuki sosok gelap. Teganya tidak mau memperdulikan putri kandungnya. Pria gemuk dan tua bangka ini. Seandainya aku tidak bisa menahan emosi, sudah aku hajar pria tua itu agar tidak banyak bicara. Sayangnya, aku bukan tipe orang yang emosian. Kesabaran dan tenang adalah sifatku.

Anaya dikuasai sisi gelap, mengamuk dengan melampiaskan kemarahannya pada Pak Inara. Tidak peduli aku melindunginya, kebencian Anaya terlampau besar pada ayah kandung yang sudah menyakitinya. Raungan dan amukan. Kilasan balik yang aku lihat di dalam tabir suryaku.

'Dasar anak kurang ajar! Jangan sok kamu mengajar saya.'

Pak Inara mencambuk punggung putrinya dengan cambuk. Berkali-kali Anaya melindungi diri dari amukan Pak Inara, membabi-buta menyiksa putrinya.

'Ayah, Naya bukannya sok mengajari Ayah. Melakukan ritual seperti itu, perbuatan terlarang.'

'Ayah melakukannya agar ayah cepat kaya, tidak miskin lagi. Apa susahnya sih kamu bantu ayah.'

'Dengan menumbalkan kedua anak-anakku? Dulu Ibu yang Ayah tumbal, sekarang anak-anakku, aku tidak rela.'

'DIAM!' Wajah Pak Inara memerah dan semakin marah, mencambuk punggung Anaya. Baju putih yang dikenakan Anaya robek dan memerah, penuh dengan noda darah.

'Suamimu saja tidak begitu peduli dengan kamu dan anak-anakmu. Dia senang bekerja di pulau seberang. Memberikan uang hanya habis dalam sebulan. Tidak berguna!'

'Ayah yang menghabiskan uang yang Eka kirim untuk aku. Seharusnya uang itu untuk aku, untuk anak-anakku sekolah.'

'Masa bodoh!'

Aku melihat adegan yang begitu sangat dramatis dan kejam sekali. Pak Inara begitu tega menumbalkan istri, anak dan cucu-cucunya hanya demi kepentingan sendiri. Aku melihat banyaknya kemenyan, sesembahan dan kertas-kertas bertuliskan aksara kuno. Jika memang seperti itu. Berarti Pak Inara melakukan ritual agar dia cepat kaya, meminta pada suatu entititas keji dan penuh tipu muslihat, dengan syarat meminta tumbal.

Gambaran yang aku lihat kini berbeda. Sebuah rumah kecil, minimalis, tetapi aku bisa merasakan kehangatan di dalam rumah itu. Samar-samar aku merasakan sisi kegelapan mulai merangkak di bawah kaki rumah kecil itu. Rumah yang pernah aku lihat.

Menjelang pagi hari. Matahari masih belum menampakkan diri. Aku melihat Anaya duduk termenung di sofa ruang depan. Wanita itu tengah menelpon seseorang. Aku bisa melihatnya. Tapi peristiwa itu hanya kilas balik yang aku lihat dari tabir surya yang aku lihat dari Anaya.

'Kapan kamu pulang? Anak-anak merindukan papanya, aku juga merindukan kamu. Belum bisa? Kamu kirim uang?'

Setelah panggilan dimatikan. Wajah cantik Anaya terlihat sangat pucat, raut kesedihan dan keputus asaan yang aku rasakan. Anaya sangat putus asa. Sisi kegelapan merasuki diri Anaya. Anaya berjalan ke dapur, mengambil sebilah pisau tajam. Berjalan ke arah kamar anak-anaknya. Melihat ketiga anak-anaknya yang imut masih tertidur pulas di atas kasur.

Anaya memancarkan aura gelap, wajah itu menampilkan sisi keji. Tanpa ada rasa kasihan. Anaya menghujami tubuh mungil bocah laki-laki dengan tusukan bertubi-tubi dan menggorok leher putra bungsunya. Si sulung yang melihat adik laki-lakinya telah bersimbah darah, menjerit ketakutan. Menghindar dari Anaya yang terus memojokkan putri sulungnya.

'Mama kenapa? Kenapa bunuh Ade? Jangan sakiti aku Ma?'

Tidak peduli putri sulungnya memohon pada Anaya. Hati wanita itu sudah tertutup sisi kegelapan. Tanpa ampun menghujam tubuh gadis kecil itu dengan tusukan di beberapa bagian tubuh. Menulikan pendengaran dikala putrinya menjerit, hingga tangis dan jeritan sudah tak terdengar. Anaya menjatuhkan pisau yang berlumuran darah anak-anaknya.

Semua kejadian itu terlihat jelas di depan mataku, hingga sesuatu menarikku kembali ke dunia nyata. Aku melihat Anaya mengamuk. Hembusan angin kencang mempora-porandakan apa saja yang ada di sini. Kebenciannya sangat begitu besar sekali.

Aku mendengar langkah kaki menaiki tangga. Seorang pria mengenakan jaket kulit dan membawa tas di punggung. Pria itu terkejut hingga menjatuhkan tasnya ke lantai.

"Naya sayang, kenapa jadi seperti ini? Kenapa kamu tidak cerita padaku?"

Hati nurani Anaya sudah tertutup oleh kebencian. Menyerang pria lusu itu. Pecahan kaca dan vas terangkat, berterbangan ke arah pria itu yang menatap nanar. Aku berlari ke arah pria itu, memberi perlindungan mutlak. Hujanan kaca menghantam pelindung yang aku buat, aku dan pria di sampingku baik-baik saja.

Aku tahu pria ini siapa. Dia John, suami dari Anaya. Dia menatap nanar istrinya yang mengamuk. Dengan masih memasang pelindung diantara aku dan John. Sedangkan pria gemuk di seberang sana mencaci maki tiada henti, mencari perlindungan di balik sofa atau meja.

"Dasar, tidak berguna. Bukannya melindungiku. Wanita gila ini seharusnya di bunuh. Lihat, dia menghancurkan rumah mewahku."

"Teganya Ayah bicara seperti itu sama Anaya. Dia putri kandung Ayah." John yang berada di lindunganku, kecewa dan marah pada Pak Inara.

"Dia hanya wanita gila, tidak berguna."

Anaya memang sudah hilang kendali, tetapi Pak Inara terus memaki dan menyakiti hati Anaya. Tentunya, Anaya yang di kendalikan sisi gelap murka. Salah satu pecahan kaca yang cukup besar, menancap paha kaki Pak Inara. Pria gemuk itu memakai dan merintih kesakitan.

"Naya sayang. Aku mohon, berhentilah. Aku juga salah, maafkan aku yang tidak bisa mengerti kesedihanmu. Aku sangat mencintaimu."

John dengan pandangan nanar dan mata yang sudah berkaca-kaca, menatap malang istri tercintanya.

Tidak ada pilihan lain. Aku harus segera menenangkan Anaya, dengan begitu aku bisa masuk ke alam bawah sadarnya. Tameng pelindung yang aku buat menghilang, aku berlari cepat, menghindari serpihan kaca dan barang-barang yang hampir mengenaiku. Aku sudah berada di belakang Anaya, memegang kedua tangan wanita itu yang meronta-ronta. Aku siap masuk ke alam bawah sadar. Tapi, Anaya memberontak. Kekuatan besar dan emosi yang meluap, dia menghempaskan tubuhku hingga membentur dinding. Seluruh badanku merasakan sakit yang luar biasa.

"ANAYA!"

John berlari ke arah Anaya yang tengah mengamuk. Salah satu serpihan kaca yang lumayan besar dan tajam, menancap perut Eka. Pria itu terduduk, merintih menahan sakit di perutnya yang berdarah. Rasa sakit disekujur badanku, aku memaksakan diri untuk berdiri, menyelamatkan Eka yang terluka parah.

Sekali lagi. Hembusan angin kencang mendorongku dan menghantam ku hingga membentur tembok. Kali ini, seperti ada magnet yang membuat tubuhku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa menggerakkan badanku. Aku harus secepatnya menyelamatkan John. John dalam bahaya.