webnovel

Jeratan Ilusi

(Clarissa Lim)

"B-b-bunda." Ucapan ku tergagap tak kala melihat sosok yang sangat aku rindukan. Sosok yang ingin aku peluk dan curahkan semua kerinduanku padanya. Wajah itu masih sama seperti dulu. Cantik dan lembut. Mataku memanas, buliran air mata jatuh membasahi wajahku. Tangis rasa rindu, bukan tangis kebencian. Tubuhku bergerak sendiri, berlari menghambur ke dalam pelukan Bunda yang sangat aku rindukan.

"Bunda, Cla merindukan Bunda. Cla benar-benar merindukan Bunda."

Aku menangis sesenggukan, menangis di pelukan bunda yang paling aku sayangi dan aku rindukan. Pelukan hangat ini, sentuhan lembut di puncak kepalaku, sama saat aku masih kecil. Aku masih mengingat jelas bagaimana bunda selalu mengelus kepalaku.

Wajah bunda begitu cantik sekali, dia tersenyum padaku. Membuatku semakin menangis keras. Aku tidak tahu ini hanyalah ilusi atau memang kenyataan. Tapi aku merasakan kalau semua ini bukanlah ilusi.

Seperkian detik, cahaya terang yang sangat menyilaukan sekali. Aku yang berada di pelukan bunda dan bunda menghalau cahaya itu dengan melindungi ku seperti dulu. Kilauan cahaya kian mereda, aku membuka mataku kembali. Aku sudah berada di tempat lain, bukan lagi di dalam gua. Tempat ini nyaman sekali, di penuhi bunga-bunga indah, ada air mancur di tengah. Sepertinya aku berada di sebuah taman yang sangat indah sekali.

Bunda mengajakku duduk di bangku taman. Saat kami duduk, aku tidak melepaskan genggaman tanganku dari bunda, apa lagi senyuman cerah ku. Entah sudah berapa lama aku tidak tersenyum kembali seperti ini. Yang mampu membuatku tersenyum hanya dua orang yang membuatku bahagia. Bunda Dayana dan Kak Chenoa, kakak tersayangku yang lebih memilih menyibukkan diri menyelesaikan pelatihan magis.

"Bunda, Cla rindu sekali sama Bunda."

Aku memasang wajah murung dan bunda menyentil hidungku seperti dulu, saat bunda masih hidup.

"Kamu ini, Cla. Putri kesayangan bunda."

"Bunda kenapa tinggalkan Cla sama Kak Chen?"

"Maafkan bunda ya, bunda tidak bisa tepati janji bunda untuk selalu ada untuk kalian berdua."

"Bunda sudah janji, untuk selalu ada buat Cla dan Kak Chen. Tapi, nyatanya bunda bohong."

Ya, aku sedih dan kecewa, karena kematian bunda. Bunda tidak lagi bersamaku dan malah, wanita lain bersama anaknya yang masuk ke dalam kehidupan keluargaku. Aku tidak akan bisa menerima Mama Selena dan Lucy sebagai bagian dari keluargaku. Aku tidak bisa terima mereka, bagiku hanya Bunda Dayana, Kak Chenoa, dua orang yang menyayangiku, sedangkan ayah. Ayah lebih memilih Mama Selena dan Lucy, di banding anak-anak kandungnya sendiri. Aku tidak akan terima sampai kapan pun.

Aku menatap wajah bunda yang sangat aku rindukan. Saat kami saling bertatap muka. Aku melihat ke dalam bola mata bunda, seperti ada titik merah di dalam bola mata hitam bunda.

'CLA!'

Seperti ada suara yang memanggilku, tetapi suara itu sangat samar sekali. Aku menengok ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Mungkin hanya perasaanku saja. Lupakan tentang suara yang memanggilku. Ada banyak pertanyaan di kepalaku dan ingin aku tanyakan langsung pada bunda.

"Bunda, aku ingin tanya sama Bunda. Kenapa Bunda meninggal? Siapa orang yang sudah membunuh Bunda?"

Tidak ada jawaban dari bunda. Bunda hanya menatap ke depan, tidak menatapku. Aku menjadi khawatir dan rasa penasaranku yang sangat tinggi. Di samping itu, siapa pun orang yang sudah membunuh bunda, aku tidak akan memaafkannya. Aku akan balas dendam atas kematian bunda.

"Bunda."

Aku menatap termangu melihat bunda yang berdiri dan berjalan, seakan ingin meninggalkan aku lagi. Tidak. Aku tidak ingin bunda pergi lagi. Aku mencekal pergelangan tangan bunda, menghentikan bunda yang ingin pergi dari ku.

Saat aku menyentuh pergelangan tangan bunda, ada rasa dingin yang menjalar hingga ke dalam tubuhku. Rasa dingin yang sama di kala aku memeluk bunda yang terbujur kaku. Kilasan gambaran yang aku lihat. Sebuah potongan gambar tidak begitu jelas, seperti kaset video rusak, gambaran yang terlihat patah-patah. Melihat wajah bunda di penuhi darah, mata tertutup sempurna, tidak akan lagi terbangun.

Gambaran beralih ke sebuah peti mati. Bunda Dayana terlelap damai di dalam peti mati, tidak ada raut kesakitan dan seperti putri yang tertidur nyenyak. Tangan kecilku menggapai bunda, tetapi seseorang menahan aku menyentuh wajah bunda. Peti mati tertutup, menutupi tubuh kaku bunda di dalam. Kematian bunda yang menyiratkan kesedihan orang-orang yang bunda tinggalkan, termasuk aku.

'Aku tidak mencintaimu, sampai kapan pun. Ini hanya formalitas Keluarga Bangsawan Magis dan aku menyetujui menikahimu. Tapi aku mencintai wanita lain, bukan kamu, Dayana.'

'Lepaskan aku kalau begitu. Biarkan aku bebas dan kamu bisa kembali ke cinta pertamamu, Jay."

Wajah ayah dan bunda yang tengah bertengkar.

"AAAGGGHH!" Aku berteriak histeris, mencengkram rambutku kuat-kuat. Aku bisa merasakan rambutku seakan tercabut dari akar. Kemarahan dan kebencian yang membeludak di dalam diriku. Suara-suara itu kembali terdengar di telingaku. Suara-suara mengejek dan mencemooh ku.

Seketika itu juga, aku sudah tidak berada di taman indah itu lagi. Bunda sudah tidak ada di sampingku, menghilang begitu saja. Aku sendirian lagi di dalam pusaran kegelapan. Suara-suara cemooh itu semakin membuatku marah.

'Keluarga Bangsawan Lim, Keluarga Bangsawan Magis paling tertua dan berpengaruh. Bagaimana Keluarga Bangsawan Lim yang memiliki jejak buruk, atas kematian Dayana, keturunan Keluarga Bangsawan Fllemon. Dua Keluarga Bangsawan yang memiliki hubungan erat, berakhir atas kematian putri tunggal mereka yang secara mendadak dan banyaknya kejanggalan. Keluarga Bangsawan Lim terseret atas kematian Dayana.'

'Apa kamu yakin, Keluarga Bangsawan Lim tidak ada hubungannya dengan kematian Dayana? Bagaimana bisa Keluarga Bangawan Fllemon tidak ingin lagi berhubungan dengan Keluarga Bangsawan Lim?'

'Sejarah buruk Keluarga Bangsawan Lim yang agung, harus berakhir dengan noda yang tidak akan bisa hilang. Kamu penasaran, siapa yang telah membunuh ibu kandungmu? Konspirasi yang melibatkan Keluarga Bangsawan Lim, Keluarga Bangsawan Fllemon dan Pemerintahan Magis.'

Ada apa ini? Suara-suara di kepalaku membuatku semakin muak dan seketika itu juga muncul sosok-sosok bayangan manusia yang mengelilingiku. Sosok-sosok manusia itu seakan mengejekku. Tertawa di atas penderitaanku, kemarahanku, rasa sakit hatiku yang tidak akan pernah bisa hilang.

'Anak manja, pembuat onar. Siapa sudi punya anak yang memiliki masalah sepertimu. Tidak ada sopan santunnya, selalu membangkang, bahkan selalu merendahkan orang.'

Tanganku terkepal erat, kemarahan yang bagaikan kobaran api membumbung tinggi.

'Clarissa, apa kamu tidak merasa marah? Lampiaskanlah kemarahanmu, bunuh mereka yang sudah membuatmu menderita seumur hidup.'

Aku berteriak histeris. Aku seperti orang yang tengah kesurupan, tidak terkendali. Menyerang bayangan-bayangan manusia yang terus mengejekku. Pikiran dan hatiku kalah, di kala kebencian yang mendominasi tubuhku.

Aku tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku hanya ingin mencari kebenaran atas kematian bunda saja. Rasa sakit di hati yang tidak akan bisa aku hilangkan. Lubang yang semakin membesar di hatiku, aku isi dengan kenakalan dan sifat ku yang tidak baik. Memungkin kah rasa sakit di hati berkurang, nyatanya tidak.

Bunda Dayana yang menjadi cahayaku. Tapi bunda pergi meninggalkan aku sendiri, hanya Kak Chenoa satu-satunya yang mengisi hatiku yang kosong. Kegilaan membuatku meluapkan kemarahan. Aku mencengkram leher salah satu bayangan manusia yang terus mencemooh ku.

"JANGAN GANGGU AKU LAGI!"

Aku berteriak marah, cengkraman tanganku di leher sosok bayangan manusia semakin erat. Ingin rasanya mematahkan leher seseorang yang terus mencemooh ku.

'CLARISSA!'

Suara itu lagi. Suara itu entah datang dari mana dan seakan menyadarkan aku dari ilusi yang telah menjeratku. Wajahku di pukul oleh seseorang, aku tersungkur ke lantai, memegang pipiku yang memerah.

Aku kembali tersadar. Aku tidak berada di sebuah taman, tidak tempat yang gelap, melainkan aku masih berada di dalam gua. Dan seseorang yang telah memukulku terbatuk-batuk dan bersandar di dinding gua.

"Noah."