webnovel

61

Wiy;

Tha, lima belas tahun sudah aku menunggumu, aku masih mencintaimu dan merindukanmu, Tha. Sekarang umurku sudah empat puluh tahun. Bilamana malaikat duluan mencabut ajalku, sudilah kamu datang berziarah ke pasuraku. Ajaklah anak istrimu, kenalkan pada mereka bahwa aku pernah jadi sahabatmu. Nanti saat anakmu si Dewi sudah dewasa, suruhlah ia sesekali membersihkan makamku.

Dalam penantianku ini, tak jemu-jemu kupanjatkan do'a agar aku tidak menunggu seseorang yang sia-sia, meskipun orang yang aku tunggu tak bosan-bosan mengingatkan bahwa penantianku ini adalah penuh kekecewaan dan makin mebuatku terluka.

Aku tidak peduli dengan semua itu. Aku takkan menyerah di tengah penantian. Bagiku menanti seseorang yang tak kunjung datang itu sudah tak melelahkan lagi, aku sudah terbiasa menunggu. Bukankah sejak awal aku mengenalmu aku telah ditaqdirkan untuk menunggumu, Tha? Mungkin mudah bagimu menyuruhku melupakanmu, tapi aku? Takkan semudah itu! Ingin sekali aku berteman dengan angin, kemudian akan kuajak ia bicara. Bila ia tidak mau mengobrol denganku, tidak mengapa. Biar ia mendengar curhatan rinduku saja.

Kemudian setelah aku mencurahkan apa yang sedang aku rasakan dan yang kurindukan, ia berembus ke tempat tinggalmu, Tha, di Yogyakarta. Di manakah itu, Tha? Aku tidak tahu. Aku gadis kampung yang tidak pernah keluar daerah, aku tumbuh besar di kampung Sepakat, di rumahku. Jangankan menjengukmu yang jauh di belahan Indonesia sana, yang di dalam daerah kita pun aku belum menjelajahi semuanya.

Aku tidak tahu alamatmu, Tha. Meskipun aku tahu, aku tidak akan pergi ke sana sebelum kamu mengizinkanku datang.

Sampaikan salamku pada Nelly dan anakmu Dewi. Jika nanti kalian pulang liburan menjenguk kaum kerabat di kampung Segenap, berkabarlah agar aku datang, supaya kita berjumpa. Aku tahu kalian datang setahun sekali tetapi aku tidak tahu bulan berapa dan hari apa? Dan andaikan pun kutahu dari orang lain, aku tahu dari anak kampungku sendiri bahwa kalian pulang liburan, aku tetap tidak bisa datang sebab beritanya bukan dari kalian aku mengetahuinya. Kamu tidak mengundangku untuk hadir.

Aku yakin sekali Nelly tidak melarangku datang, semua ini tentulah karenamu, Tha, karena kamulah kita tidak pernah bisa jumpa. Kenapa, Tha? Kenapa kamu sejahat itu? Bukankah kamu telah menganggapku sahabat? Bukankah sudah kamu musnahkan aku dari dalam hatimu? Tha, aku ingin melihatmu, sudah puluhan tahun aku tidak tahu bagaimana bentuk rupamu?

Bila masih berat menerima kedatanganku, anggap saja aku menjenguk Nelly sebagai sahabatku, menjenguk Dewi sebagai anak dari sahabat kuliahku. Masihkah berat bagimu menerimaku jadi tamu di rumahmu, Tha? Sekali lagi, bila ada waktumu berlibur, pulang ke kampung Segenap, berkabarlah, Tha. Aku ingin mengobati rinduku, meskipun hanya sampai di halaman rumahmu.

Sekarang aku pun merasa bersalah, aku terkesan merebut suami sahabatku sendiri. Tidak mengapa penduduk kampung Sepakat menganggapku begitu, nanti akan aku jelaskan bahwa aku telah lama ikhlas dan merelakanmu menikah dengan sahabatku. Akan kujelaskan pada mereka bahwa aku setia menunggumu sampai tua, sampai Nelly rela membagi cintamu padaku. Mungkin sekarang rasa cemburu Nelly masih besar, baiklah kalau begitu, aku menunggumu lebih lama lagi, lebih tua lagi, sampai rasa cemburu Nelly mulai menipis sebab saat itu penglihatannya sudah rabun, pendengarannya sudah berkurang, meskipun cintanya masih teguh. Dan seperti kataku di awal tadi, bila nanti aku mati duluan sudi kiranya kamu ziarah ke pasuraku.

Tidak berjumpa denganmu di hari tua, tahu kamu datang ke makamku saja aku sudah bahagia.

***