webnovel

06

Wiy;

Baiklah. Aku akan menunggumu kembali. Pesanku jangan kabari aku saat kamu mau pulang. Aku ingin tahu bila kamu sudah mengetuk pintu rumahku saja. Kenapa? Karena aku tidak kuat dengan cobaan bila dan seandainya kamu kabari kamu pulang dan nyatanya ada kendala mendadak yang menghalangi, aku akan kecewa. Dan aku tidak ingin juga kamu merasa bersalah karena telah membuatku kecewa.

Aku pun tidak menyalahkan takdir yang telah menghadang. Oleh sebab itu pulanglah dan ketuklah pintu rumahku, aku akan jadi orang paling bahagia di dunia ini saat hal semacam itu terjadi. Kuharap kamu mengerti dengan maksudku.

Aku tidak kuat menerima janji dan harapan, meskipun aku bertahan tanpa kabar dan kepastian. Sebab harapan besar yang kamu tawarkan bila berujung kecewa jauh lebih sakit dibanding tidak diajak ibuku ke toko baju. Semoga segera mengetuk pintu rumahku duhai pangeranku.

Tha;

Baiklah, Wiy. Aku tidak akan membuat janji dan memberimu harapan. Akan kucoba seperti yang kamu inginkan. Meski pun nanti tidak ada persiapanmu menyambutku, tidak ada butir telur untuk membuat masakan telur dadar dan telur mata sapi.

Wiy;

Soal butir telur usah khawatir. Akan selalu ada. Tidak pernah sampai habis karena tiap kali aku belanja tidak lupa membeli telur. Sekarang aku hanya butuh kehadiranmu.

Tha;

Baguslah kalau begitu. Oh ya, Wiy, mulai sekarang jangan panggil namaku. Kamu tahu sendiri kan di kampungku adalah aib jika istri memanggil suaminya dengan nama. Tidak sopan.

Mulai sekarang biasakan lah pakai istilah baru. Boleh; abangku, cintaku, gantengku, pangeranku, kekasihku, dan apa pun itu asalkan jangan yang aneh-aneh. Kalau kamu biasakan memanggil namaku, nanti kamu sendiri yang malu kalau kita sudah menikah. Kamu bakal jadi bahan omongan ibu-ibu di kampungku. Terlebih ibuku adalah berada dalam garis keras kalau menantunya begitu.

Wiy;

Oh begitu? Hum, aku manggil apa ya enaknya? Sudah terbiasa memanggil namamu. Susah aku tidak menyebut namamu dalam setiap surelku. Lagipula aku kan dua tahun lebih tua darimu. Dan juga kita kan belum suami-istri, kurasa tidak mengapa lah ya panggil nama saja?

Kenapa aku sebut namamu? Sebab aku sendiri merasa lengkap bila memanggil namamu. Bukankah nama kita sebetulnya adalah satu kata yang sengaja dipisah? Memanggil namamu seperti memanggil namaku sendiri. Namun, kalau kamu tidak mau ya apa boleh buat. Baiklah kalau begitu, mulai sekarang aku ingin memanggilmu; Hubby? Bolehkah?

Tha;

Boleh, aku suka dengan panggilan itu. Tetapi setelah menikah nanti kita ubah lagi. Kita cari kata yang sesuai untuk kita, pakai bahasa indonesia saja. Kalau begitu aku panggil kamu; Habibati. Maukah?

Wiy;

Mau, aku mau. Hehehe.

***