Kereta api berhenti di stasiun utama Eidyn pada rembang petang. Leith menapakkan kakinya kembali ke tanah konkrit negeri Eidyn. Sedangkan bagi Nadine dan Gilmore, sudah lama mereka tidak merasakan hiruk pikuk metropolitan tanpa akhir, berbeda jauh suasananya dengan Trinketshore.
"Jadi, tujuan selanjutnya ke mana?" tanya Nadine kepada Leith.
"Kita akan langsung ke kantor parlemen. Papa seharusnya masih di sana satu setengah jam lagi."
Gilmore yang ragu menyanggahnya. "Langsung ke kantor parlemen? Bawa koper? Tidak bisakah kita cari hotel dulu atau semacamnya?"
"Tidak perlu," ujar Leith. "Papaku punya rumah dinas. Tapi kita tidak bisa menunggu papaku di sana terlalu larut. Kalau ke kantor sekarang, papaku mungkin masih bisa bertindak cepat."
Leith harus mengangkut kopernya dan mulai berjalan cepat. "Ayo! Bergegas! Jalan Eidyn bakal macet jam segini!" ucapnya.
Kota Eidyn benar-benar hidup, dan di saat yang sama juga sekarat--sama saja dengan Trinketshore, hanya saja dibalik. Gedung-gedung memuntahkan asap karbon dari cerobong asap. Knalpot kereta mesin membuat carkrawala kota terlukis noda-noda kelabu yang terkadang menyusup ke celah hidung. Inilah udara segar kota! Tapi anak-anak kampung seperti Nadine dan Gilmore tak tahan dengan polusi di sini. Kota sangat panas. Pohon yang jarang pun tampak palsu. Mereka berebutan sisa udara murni dengan puluhan ribu yang lain dan itu sungguh menyiksa raga. Lain kali, mereka harus membawa beberapa kantong udara desa dan alat bantu napas jika hendak bertamasya kembali di Metropolitan Eidyn.
Melalui perjalanan Eidyn yang padat dikelilingi bangunan menjulang membosankan dengan kereta penumpang, sampailah mereka ke apa yang disebut sebagai 𝘬𝘢𝘯𝘵𝘰𝘳 parlemen. Sebuah perkantoran yang terkesan artistik dan sangat tak biasa untuk perkantoran pemerintah. Area kantor parlement tersebut faktanya terbagi-bagi menjadi beberapa gedung, membentuk sebuah komplek.
Ini pertama kalinya Nadine dan Gilmore melihat komplek parlemen Eidyn. Kumpulan bangunan dengan arsitekstur yang absurd membuat mereka terus menatap dan memahami arti dibalik bentuk gedung yang meliuk-meliuk, sementara Leith terus berjalan menuju komplek tanpa sepengetahuan mereka.
"Hei!" pekik si lelaki Crimsone. "Kalian kenapa lagi sih diam di sana? Ayo cepat jalan!"
Kedua serangkai yang engah langsung menenteng kopernya dan menyusul Leith.
"Kau yakin kita di lokasi yang benar?" tanya Gilmore ragu.
"Aku tahu apa yang kalian pikirkan. Entah apa yang dipikirkan para petinggi Eidyn menghabiskan jutaan token raja untuk merenovasi gedung parlemen, dan mengubahnya menjadi kompleks sirkus," tutur Leith. "Toh, kata ahli, gedung-gedung itu tidak akan tahan dalam waktu empat puluh tahun. Jadi tolong ditahan saja."
Mereka bertiga menyerbu pintu masuk. Para petugas keamanan menghadang mereka, berkata "Apa yang kalian lakukan disini, anak muda? Hotel parlemen ada diseberang sana."
Leith dengan santainya membalas, "Kami bukan mau menginap, bapak-bapak." Leith langsung menyodorkan koper ke salah satu petugas. Gilmore pun dengan songongnya ikut menyerahkan kopernya ke petugas yang lain, dan disusul oleh Nadine melakukan hal serupa, sambil bergumam. "Maaf, tittip sebentar ya, pak. Kami tidak lama, kok." Mereka bertiga meninggalkan unit petugas keamanan yang kebingungan.
Leith tanpa bertele-tele menuju ke resepsionis. "Aku ingin bertemu dengan tuan Donar Crimsonmane," tuntutnya.
Sang resepsionis memandang bocah berumur empat belas tahun itu, lalu mencoba menjawabnya dengan sopan, katanya "Maaf, tuan muda. Apakah tuan sudah punya janji temu dengan beliau?"
"Tolong beri tahu saja beliau Leith ada di sini, masalah darurat. Kalau beliau menolak, kami akan langsung pergi."
Ketiga pemuda itu kelihatannya tidak akan kemana-mana. Resepsionis pun menelpon sang baron dan memberikan pesan yang sama. Setelah gumaman yang cukup panjang, ia menutup telecomm-nya dan memanggil mereka bertiga. "Silahkan ikut saya."
Setelah berjalan dan naik beberapa lantai melalui lift, Mereka akhirnya sampai di muka pintu menuju kantor pribadi anggota parlemen Crimsonmane.
"Silahkan masuk!" Suara yang keluar dari balik pintu setelah beberapa ketukan. Mereka memberanikan diri untuk masuk dan mendapati Donar sedang duduk di meja kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen.
"Leith?" kata sang ayah. "Kenapa kamu bisa berada di sini? Bukankah kamu harusnya sudah di Trinketshore?"
"Oh, aku memang baru sampai di kota kecil itu, Papa, sebelum masalah genting memaksaku ke sini. Kita harus membahas suatu," jawabnya.
Donar sepertinya melihat keseriusan di mata Leith, menyuruh sang resepsionis meninggalkan ruangan. Ia lalu kembali membuka suara. "Kalau ini terkait masalah sihir hitam, kupikir para penyihir elit yang kukirim sudah menyelesaikan tugasnya dengan cukup baik."
"Bukan hal yang itu. Aku ingin membahas yang 'itu', Papa."
Dahi Donar langsut mengerut, matanya jelalatan melihat ke luar pintu. "Dan, alasanmu membawa Gilmore dan Nadine adalah …?"
"Mereka terlibat."
"Tutup pintunya, sekarang!"
Gilmore yang berada dekat pintu, dengan tanggap menutup pintu dan memastikan pintunya terkunci. Donar langsung beranjak dari kursinya. Kehadiran Nadine dan Gilmore membuat wajah sang anggota parlemen yang biasanya rileks menjadi tegang.
"Kupikir rahasia ini hanya ada di antara keluarga kita, Leith?"
"Yang papa tidak tahu adalah, ini sudah jadi rahasia umum di Trinketshore, bahkan sebelum kita menghadiri rapat keluarga."
Donar menepuk jidatnya. "Papa dengar, ada kabar burung yang menyatakan sumber kekuatan itu sudah ditemukan. Pemiliknya sudah ditangkap dan akan diadili pada pengadilan sihir tertutup."
"Pengadilan sihir tertutup, kah?" kata Leith. "Mereka terlalu takut kalau informasi aslinya tersebar, tapi tetap kebocoran juga."
"Jadi kabar burung itu benar," jawab Donar resah, "Mungkin aku harus melaporkan ini ke kakekmu–"
"Jangan dulu!" potong Leith, "Justru kami datang ke sini untuk mendiskusikan itu kepada Papa. Well, dan juga minta tolong papa untuk melakukan sesuatu. Di sini masih menjadi kabar burung, biarkan saja demikian. Tidak ada yang boleh tahu ini selain kita berempat saja."
Donar semakin bingung dengan gelagat puteranya. "Melakukan apa? dan apa maksudmu kita berempat? Maksudku, Papa masih tidak mengerti mengapa Nadine dan Gilmore bisa terlibat."
Nadine mencoba memberi penjelasan. "Jika boleh, Paman Donar." katanya. "Aku tidak tahu cara menjelaskannya, tapi kami adalah salah satu dari orang pertama yang menemukan arcane murni itu. Kami ingin membantu mencegah si … pemilik arcane murni itu untuk diadili."
"'Pemilik arcane' murni itu bukan hanya memegang kekuatannya, papa. Dia bahkan bisa mengakses kekuatannya menjadi sihir. Walaupun kuakui dia masih sangat bodoh."
Donar masih mencoba memahami maksud perkataan mereka bertiga yang masih terksesan sembunyi-sembunyi. "Baik, cukup. Tidak bisakah kalian memberitahuku secara langsung, siapa yang memiliki arcane murni itu?"
Leith yang berniat memberitahu ayahnya secara frontal pun mulai mempertimbangkan kembali niatannya itu. Ia mencoba menyusun kalimat mengenai siapa pemilik sempena Ilahi itu tanpa membuat ayahnya syok.
"Aku akan memberitahukannya, tapi kumohon, walaupun aku tahu Papa bisa menahan emosi, cobalah untuk tidak kaget."
Tentu saja Leith gagal. Bahkan sebelum Leith memberitahukannya, mata Donar sudah melirik Nadine dan Gilmore di belakang Leith. Bisa tebak siapa yang tidak hadir di sana?
"Kalian! Jangan bilang …!"
***
Sepertinya Alicia mencoba untuk tetap mengabaikan Mars—sang kenalan barunya yang terus menggodanya sepanjang hari—walaupun rona masih memenuhi wajahnya.
Hingga malam datang menjemput, petugas penjara mematikan lampu seluruh kompleks penjara. Alicia berbaring dengan kacamata masih terpasang, mukanya menghadap langit-langit tanpa pendaran bintang. Ia masih merasa sedikit kehilangan sejak Orb yang biasa menemaninya di sebelah kasur tidak ada bersamanya. Penjara benar-benar gelap gulita tanpa kehadiran teman bolanya. Ia hanya berharap kapanpun sidang tersebut terjadi, dia masih bisa memiliki Orb kesayangannya itu.
Mars yang masih keras kepala kembali mengoceh dengan harapan menarik perhatian sang gadis. "Bolehkah daku bertanya sebelum kita kembali menghirup bunga tidur masing-masing?"
Sang gadis mengabaikan rayuan sang lelaki.
"Jika kau masih memiliki sempena Ilahi, apa yang ingin gerangan perbuat dengan kekuatan tersebut?" tanyanya lagi.
Sang gadis masih belum memberikan balasan.
"Kamu masih ngambek ya? Aku minta maaf jika tadi membuatmu tidak nyaman. Aku hanya sedikit kesepian. Um …, Tidak juga, aku sering merasa kesepian. Mungkin karena terlalu sering sendiri, aku tidak tahu cara berbicara secara pantas. Sialnya lagi, aku malah ditempatkan di kompleks penjara yang sepi pula." Mars tertawa kecil. "Oh takdir, ada-ada saja."
Alicia masih ragu untuk membalas. Tapi penekanan rasa sepi sang lelaki tak dibuat-buat. Mars merasa bahwa Alicia hanya ingin beristirahat untuk menyonsong pengadilannya dalam waktu dekat, akhirnya menyerah.
"Yah, bodohnya aku. Kau harus beristirahat untuk persiapan pengadilan nanti. Maaf aku mengganggu tidurmu. Semoga kau bisa mendapatkan sumber kekuatan itu kembali." Mars berkelung di kasurnya dan mencoba untuk tidur.
Beberapa menit berlalu.
"Aku ingin menyelamatkan dunia," jawab Alicia. Mars sontak tidak jadi meringkuk dan langsung menghadapkan kepalanya ke arah sel Alicia.
Alicia berkata lagi, "Sejak kecil, Aku sering merasa mamaku dan Magisterium Tanah Sihir bersusah payah menyelamatkan penjuru benua dari konflik sihir. Cakupan sihir semakin luas. Dunia sekarang ini penuh peperangan dan tak aman lagi. Sihir seharusnya bisa digunakan untuk menunjang kehidupan, tapi sekarang, sihir sudah selayaknya senjata perang saja."
Mars yang menaruh perhatian pada cerita Alicia, termenung.
"Kau masih di sana, M-mars?" tanya si gadis.
"Aku ada di sini. Lanjutkan saja," jawabnya lembut.
"Aku selalu berangan-angan dengan mamaku, bahwa suatu hari, aku bisa memberikan kebahagian dan sukacita dengan sihir. Tidak ada lagi penderitaan dan air mata. perang dan konflik berlalu sepenuhnya. Kalau ungkapan dari Eretopeion, 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘣𝘢𝘩 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘌𝘭𝘺𝘴𝘪𝘶𝘮. Andai saja mereka bisa memanfaatkan sihir demikian. Tapi jika mereka tidak bisa, maka aku yang akan melakukannya!"
Desahan keluar dari Alicia yang memasang jeda. "Tentu saja, mimpi itu hanya angan-angan seorang bocah yang harus kandas pada waktunya. Aku harus ditampar oleh kenyataan: Aku tidak bisa sihir, aku diasingkan oleh keluargaku sendiri, dan mamaku …."
Suaranya mulai goyah.
"Mamaku menghilang. Aku bahkan tidak tahu mamaku menghilang kemana dan karena apa. Apakah dia hilang saat bertugas, atau beliau sengaja melenyapkan diri karena tidak tahan terhadap … situasi keluargaku … atau tak tahan terhadap aku."
Dibalik suara lembutnya yang tegar, terdapat serpihan pilu yang menusuk sukma Mars.
"Sudah berapa ibumu menghilang?" tanya Mars.
"Dua tahun. Entahlah, mungkin lebih."
Mars seperti merasa terganggu dengan pernyataan Alicia tersebut. "Aku turut berduka, Alicia. Kau tidak harus melanjutkannya kalau kau mau."
"Tidak, aku …." Alicia mengucek matanya sedikit. "Aku baik-baik saja. Yah, begitulah intinya, hidupku hampa selama ini. Namun, sejak aku bertemu dengan Orb, aku merasa … utuh kembali. Mimpi yang kukubur dalam-dalam kembali muncul di benakku. Aku ditarik kembali ke mimpi itu, dan kemudian aku berpikir, kenapa tidak? Aku punya kekuatan Ilahi bersamaku. Mungkin Kesunyian Ilahi memang menitipkan Orb kepadaku untuk menyelamatkan dunia dari rasa sakit, jauh dari dekapan Khaos. Hal yang seharusnya bisa dilakukan oleh orang Roma, tapi mereka mengabaikan hal itu. Aku ingin mempelajari Orb lebih intim untuk mewujudkannya"
"Merubah tanah bumi menjadi padang Elysium, ya?" tutur Mars. "Tujuanmu … sangat mulia, Alicia."
"Kalau cita-citaku kelewat naif dan tidak masuk akal, bilang saja. Tidak perlu pura-pura menyanjungku."
Mars tersenyum di tempat tidurnya. "Naif? Menurutku tidak, Alicia," ujarnya. "Jikalaupun iya, sama sekali tidak masalah. Kau harus menyimpan dan terus mengejar mimpi itu."
Alicia penasaran akan jawaban Mars. "Sungguh?"
"Menurutku, ambisi termurni seorang manusia adalah ambisi seorang anak kecil," jawab Mars. "Anak kecil itu tidak polos, Alicia. Mereka hanya mempunyai intensi yang murni. Benih-benih ilahi yang belum dirusak oleh kekacauan dunia. Beberapa yang berhasil mempertahankannya selalu membawa harapan yang kuat sebagai pondasi kehidupan di bumi. Aku berani berkata demikian, karena sedikit sekali yang berhasil melakukannya hingga mati. Jika anak kecil memimpikan dunia yang bahagia, percayalah itu akan terjadi. Kuharap kau bisa mewujudkan mimpi tersebut."
"Mars, itu …." Alicia sama sekali tidak menduga jawaban lelaki di seberang sel. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi, aku berterima kasih, Mars."
"Dan …," tambahnya. "Walau kamu berada di masa yang sulit, jangan pernah berpikiran buruk, apalagi tentang ibumu."
Mendengar perkataan Mars, menyesalah Alicia. Semua yang ia lontarkan dipengaruhi oleh fakta bahwa sang gadis sedang berada dalam tekanan. Hampir diculik, kemudian dikurung di sebuah tempat bermil-mil jauhnya dari rumahnya sediri. Sang gadis hanya mengangguk saja tanpa diketahui oleh Mars. Ia pun mencoba mengalihkan pembicaraan. "Omong-omong, apa mimpimu saat kecil?"
Mars terdiam sebentar. "Well, senang kau bertanya. Bisa dibilang cita-citaku sama sepertimu. Ingat perkataanku akan anak kecil sebagai benih Ilahi? Ibuku selalu mengingatkanku kalau kita sejatinya memiliki kodrat ilahi. Kau pernah mendengar kisah si Pemegang Petir, bukan? atau penyihir seperti Pendayung Matahari, Ammon! Mereka adalah contoh yang mengembangkan sifat ilahi mereka. Satu dari sedikit penyihir yang telah mencapai kesempurnaan! Kita pun bisa melakukannya, tapi kita menyia-nyiakan anugerah tersebut untuk hal yang tidak bermakna dan menyenangkan sesaat. Dia bilang kalau aku ini punya takdir yang besar! Aku dinubuatkan untuk memaksimalkan potensi manusia dengan kekuatanku. Mengembalikan segenap insan ke kodrat ilahinya. Dengan demikian, manusia tidak perlu lagi terjebak dalam nafsu tak berkesudahan. Dunia akan masuk masa damai dan kemakmuran selamanya, bahkan kita bisa membagikannya ke peradaban dunia lain yang tak terbatas jumlahnya! Kedengarannya keren, bukan? Aku selalu menganggapnya keren waktu itu."
"Sepertinya tugas yang berat," sahut sang gadis. "Saking beratnya, kau sampai menyerah, lalu meluapkan kesusahanmu ke penyihir lain dan berakhir di kerangkeng," Alicia tertawa lepas.
"Iya! Tentu saja tugas yang susah! Nasibmu pun sama juga kan?" Mars menyambung singgungan Alicia yang dilanjutkan dengan tertawa bersama.
"Hai, Mars. Berhubung mimpi kita sama, bagaimana menurutmu kalau kita bersama-sama mewujudkan perdamaian dunia?"
"Menyelamatkan dunia bersama …," Mars merenung. "Sebuah ide yang menarik. Tunggu! Hei, itu sangat bagus! Mars dan Alicia, sejoli yang menyelamatkan dunia bersama!"
Alicia terperanjat dari kasur. "Apa, tunggu! Hei, bukan itu maksudku!"
"Mars dan Alicia, Marslicia! Uhhhh, Sepasang insan dalam ikatan cinta yang mengarungi dunia sarat kedurjanaan, guna meghantarkannya kembali pada perdamaian abadi! Heroik, romantis, apik!"
Alicia merasa jijik mendengar sebutan Marlicia, meneriakinya kembali, "Tuh kan! Mulai lagi! Katanya tidak mau menggombal lagi, dasar orang aneh!
"Hah? Kapan aku bilang begitu?" jawab Mars, "Lagian, siapa hayo yang ngide duluan?" Mars kembali tertawa lepas.
"Sebelum kamu kelewat cabul, aku hanya mau kasih tau aku masih enam belas tahun!"
"Terus? Umur dewasa di Camelot kan enam belas tahun."
"Bergaul dengan perempuan di umur sekian tidak diterima di sebagian tempat di dunia!"
"Saat di Roma, berperilakulah seperti orang Roma."
"Bodoh amat! Aku balik tidur saja!" Alicia berkelung menghadap tembok, Mars masih meluangkan waktu untuk tertawa.
Walaupun mukanya yang tersipu dalam gelap, Alicia masih bisa melayangkan sedikit senyuman. Ia menikmati konversasi ini, memberinya harapan akan pengadilan yang menantinya, dan jalan hidupnya nanti.
***
Pagi-pagi sekali, seorang sipir mengetuk sel Alicia dan membuka pintu penjara. Baik Alicia dan Mars terbangun akibat dentungnya yang nyaring.
"Alicia Crimsonmane! Bangun dan bersihkan dirimu. Satu jam lagi, kau akan menghadap ke pengadilan!" []