webnovel

That XX

Ia membuka mata ketika merasakan sentuhan lembut di pipi kanannya—yang lalu turun ke bibir dan dagu. Sembari tersenyum, ia menarik tubuh orang itu agar lebih dekat padanya; orang itu menindih tubuhnya, dan memberikan kecupan lembut hampir di seluruh wajahnya.

Ia memeluk, mengusap punggung orang itu, membiarkan orang itu sesuka hati mengerjainya.

Kedua tangan orang itu masuk—menyelip dibawah lengannya lalu menggenggam pundak, meremas kencang saat bibir orang itu sukses menciumnya mesra.

-***-

[12 jam yang lalu]

"Hey!"

Air dingin yang segar langsung membasahi tubuhnya ketika menoleh saat mendengar seseorang berteriak padanya, disusul gelak tawa sekumpulan murid dari kelas lain yang hobi mengerjainya.

"Bodoh sekali kau!" ujar seseorang di antara mereka.

"Kami bahkan memanggil mu dengan kata 'hey', tapi kau menengok." lanjut seseorang yang memiliki perawakan tinggi di antara mereka.

"Bodohnya." puas melihatnya mematung dan menggigil, sekumpulan murid tadi melempar ember kosong ke arahnya sebelum berlalu dan meninggalkannya di koridor sekolah.

"Lemah!"

[9 jam yang lalu]

"Begini, ada masalah apa kamu disini?" ia terdiam, sementara wakil kepala sekolah menatapnya penuh dengan curiga.

"Kamu mencuri salah satu benda milik mereka?" ia menggelengkan kepala.

"Lalu?" ia menarik nafas.

"Kok diam? Mereka dari kelas lain dan kamu korban bully setiap hari. Kamu yakin, tidak memiliki masalah dengan mereka?" kali ini, ia mengangguk.

"Dengar, kamu murid saya yang memiliki prestasi, kalau kamu diam, dan tidak berbicara sejujurnya, sekolah tidak bisa menghentikan mereka-membantu kamu agar belajar tenang.

"Saya kasihan sama kamu, kamu masuk sekolah ini melalui jalur prestasi, nilai kamu semuanya mendekati sempurna, tidak pernah kabur dari pelajaran, bahkan semua guru menyukaimu. Jadi, saya mohon kamu cerita sesungguhnya-semuanya pada saya." lagi, ia menarik nafas.

"Saya, tidak merasa ada masalah dengan mereka, pak."

"Ingin tidak ingin, saya harus memanggil ibumu ke sekolah—lagi." ia menatap wakil kepala sekolah lesu sebelum ia menghela nafas panjang dan mengangguk menyetujui.

[6 jam yang lalu]

Ia mematung lesu, memandang kosong ke arah lemari pakaian seraya membayangkan kejadian saat jam istirahat. Banyak pertanyaan serta pernyataan asumsi sendiri memenuhi kepalanya.

Ia mengganti seragam sekolahnya-yang setengah kering dengan kaus polos dan celana pendek berbahan katun.

"Ah, mas bisa saja." terdengar suara tawa dari pintu masuk rumahnya. Suara yang ia kenal.

"Rumahku agak berantakan, soalnya sepi." suara itu mendekat ke arahnya yang berdiri di dalam kamar. "Mas makan malam disini ya."

Terdengar sebuah tawa yang renyah dari ruang tengah; tawa seorang pria paruh baya.

"Mas, tunggu sebentar ya, aku ganti baju." tubuhnya berdiri kaku memandang ibunya yang masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk.

"Kamu? Ngapain disini!" sang ibu menatapnya dengan tatapan benci dan berbicara dengan nada tinggi—dan sang ibu tidak khawatir karena kamarnya memiliki dinding yang tebal. "Ibu rasa udah menyuruh kamu jangan pulang!"

"A... Aku baru pulang sekolah." jawabnya terbata-bata. Sang ibu terdiam, emosi dalam hatinya mendadak keluar tanpa alasan. Sang ibu mendekatinya dengan lagak seolah ia adalah musuh.

"Dengar, ini..." selembar 'Frans' keluar dari dompet sang ibu dan bersarang di telapak tangannya. "Pake, main yang jauh. Tenang, ibu tidak akan mencari jika kau tak pulang."

Ia terdiam, matanya berkaca-kaca memandang ibunya yang kini—tak perduli—mengganti pakaian di hadapannya. Ia belum bergerak, masih menatap sang ibu yang melepas semua pakaian dalam dan langsung mengenakan pakaian tidur tembus pandang. Ia ingin mengucapkan jika ibunya harus datang ke sekolah untuk menemui kepala sekolah, namun ia mengurungkan keinginannya dan menghela nafas panjang.

"Keluar lewat pintu belakang, jangan sampai teman ibu tau, kalau kamu anak ibu." ujar sang ibu sebelum berlalu meninggalkannya.

[3 jam yang lalu]

Ia tertawa pelan ketika menyaksikan tingkah lucu kucing di depan tempatnya duduk. Sesaat, ia membayangkan hidupnya seperti kucing yang tidak perlu resah saat orang tuanya berkata kasar, atau khawatir saat sekawanan kucing lain mengerjai hingga mengajak bertengkar. Ia merasa—jika hidupnya seperti seekor kucing, ia tak perlu kelaparan seperti sekarang; menggenggam lembaran rupiah yang ia terima dari ibunya dan kebingungan di pinggir jalan.

Ia hanya perlu menunjukan wajah memelas dan pandangan kosong pada setiap orang agar mendapatkan makanan. Jika ingin beristirahat, ia hanya merapat ke dinding yang hangat dan meringkuk di alaskan kardus atau alas lainnya. Saat hujan, ia hanya perlu menunggu hujan reda di bawah kolong meja atau kolonh mobil yang parkir di pinggir jalan. Jika ingin melepas penat, ia hanya perlu bermain dengan waktu; mencari hiburan sendiri seperti anak kucing yang ia lihat.

Ia tertawa membayangkan semua itu, di tengah hatinya yang gelisah.

[2 jam yang lalu]

Matanya bergerak ke kanan dan kiri dengan cepat, mengikuti pelayan rumah makan yang membawa nampan penuh makanan lezat. Ia menelan ludahnya sendiri, memandangi semua itu dari luar dan membayangkan rasa makanan itu di angannya.

Suara kencang dari dalam perut membangunkannya yang melamun. Jemarinya merogoh kantung dan mengambil satu-satunya lembaran rupiah yang ia miliki.

[1 jam yang lalu]

"Aku lapar..." ujarnya lirih dengan tangan mengusap perutnya.

Matanya bergerak ke kanan dan kiri mencari sebuah warung nasi yang masih buka, namun ia hanya melihat komplek rumah toko—distro baju dan warung rokok. Ia melangkah pelan sembari meyakinkan diri jika ia akan menemukan warung nasi.

Otaknya bekerja keras, berusaha mengingat lokasi yang sekarang sedang ia lewati.

[30 menit yang lalu]

Ia menghentikan langkahnya, duduk termenung karena lelah mencari apa yang ia inginkan—warung nasi.

Ia harus memakan sesuatu agar tidak lemas untuk petualangan selanjutnya ke daerah lain.

"Ya, saya dekat distro yang itu, tolong cepat!"

"Haruskah aku..." ia bergumam dalam hati sambil menatap seseorang yang mengenakan pakaian kerja lengkap dengan koper dalam genggaman orang itu—yang baru saja mengumpat sebelum menutup panggilan.

Seseorang yang tampan dengan aroma parfum yang semerbak.

"Ah, aku..." batinnya. "Tapi, aku lapar..."

Banyak kemungkinan yang ada dalam pikirannya, banyak hal pula yang terbenam di benaknya. Bagaimana jika terlanjur lemah dan tak dapat melanjutkan petualangannya lalu dimana ia harus tidur jika ia mampu berjalan hingga tengah malam. Semua hal itu menghantuinya dan menyerang bersamaan dengan rasa lapar.

"Permisi..." ia memberanikan diri menegur orang itu, ia mendekat dan menatapnya penuh dengan harapan.

"Kenapa dik?"

"Begini, er... Apa kau sedang menunggu jemputan?"

Orang itu mengangguk dan membalas tatapannya dengan senyuman kecil yang menggantung.

"Ya, aku sedang menunggu jemputan ke arah apartemen, ada yang bisa ku bantu dik?" mendapat respon yang baik, kemurungan di wajahnya berubah.

"Apa kau ingin bermain dengan ku? Aku..." sedikit ragu, ia berkata kaku pada orang itu. "Kesepian."

"Main? Kau mengajakku bermain di hotel?"

"Uhm... Aku bukan penggemar hotel, aku hanya butuh tempat bernaung untuk tidur malam ini."

"Well, berapa?"

"Tergantung padamu, aku sudah jelaskan apa yang kubutuhkan."

[15 menit yang lalu]

Matanya tak dapat tertutup saat kakinya melangkah masuk ke dalam apartemen milik orang itu. Desain modern dan peralatan listrik yang canggih membuatnya berdiam diri di pintu masuk-terkagum dan terpesona.

"Kamu sudah makan dik?" orang itu mengusap kepalanya-mengusap lembut hingga ke pundak, meraba rambutnya yang tebal dan terkesan panjang.

"Belum..." jawabnya lesu.

"Begini, hangatkan ini ke dalam sini." ujar orang itu dengan telunjuk yang menunjuk kotak nasi instan dan microwave. "Lalu, taruh saja disana." orang itu menunjuk sofa dengan meja yang menghadap ke televisi.

"Jangan tunggu aku, kalau sudah selesai. Aku ganti baju dulu." ia mengangguk mendengar penjelasan orang itu.

Perlahan, ia mulai mengikuti instruksi orang itu. Memasukan kotak makanan instan yang cukup dipanaskan dalam microwave.

Terpesona akan detik detik saat alat di hadapannya bekerja, ia terkikih membayangkan rasa makanan yang akan di makan olehnya. Banyak rasa yang ia prediksi, dan memiliki ekspektasi di luar pemikiran remaja lain.

"Ah, panas!" ia tersontak karena jemarinya menyentuh loyang makanan dalam alat itu, tak menyangka akan panas yang dihasilkan microwave.

"Sudah?" ia menoleh dan mengangguk pelan, disusul senyuman pada wajahnya.

"Aku kira, makanan lebih cepat di bandingkan aku yang berganti baju." orang itu menggaruk kepalanya sendiri, dan tertawa sebelum mendekatinya yang bingung bagaimana mengeluarkan dua kotak makanan yang baru matang.

"Kenapa?"

"A... Aku bingung..."

"Pakai sarung tangan itu aja."

[3 menit yang lalu]

"Terima kasih makanannya." ia tersenyum pada orang itu yang duduk disampingnya, dan menatap dengan tatapan bahagia.

"Ya, sama sama dik." jawab orang itu sembari mengusap kepalanya.

Matanya reflek menutup saat tangan orang itu mengusap kepalanya penuh kelembutan.

-***-

Aku membuka mata saat merasakan sentuhan lembut di pipi kanan-yang lalu turun ke bibir dan dagu. Ku lihat ia tersenyum, dan mendekatkan tubuhnya agar lebih dekat padaku.

Orang itu menindih tubuhku, dan mengecup wajahku lembut. Ia memeluk, mengusap kepala ku, dan menggelitik telingaku dengan jemarinya. Ku biarkan ia sesuka hati mengerjaiku.

Kini, posisi tubuhku di tekan olehnya. Kedua tanganku mengusap punggung, dan kepalanya. Kedua tangan orang itu masuk-menyelip dibawah lengan lalu menggenggam pundak ku, meremas kencang ketika bibirnya sukses menciumku lebih mesra.

Aku berusaha menikmati tiap ciuman yang ia layangkan-kecupan di pipi, hidung, dan kembali di mulut. Terkadang, ia memasukan lidah, menyentuh langit-langit mulut ku dan menghisap lidah ku kencang.

Aku mengerang, membuatnya semakin liar mencumbui.

Tangannya bergerak ke punggung, mengangkat tubuhku, dan mendudukkan tubuhku pada pangkuannya—masih dengan posisi berciuman.

-***-

Aku benar benar melayang dibuatnya. Kecupan ringan di sekujur tubuh ku ditambah dengan jarinya yang bermain di bawah sana, menghilangkan penat yang bersarang.

Sakit, namun saat aku memejamkan mata, semuanya baik-baik saja.

"You're so legit, I like it." bisiknya sebelum menindih tubuhku, dan menggoyangkan pinggul pada selangkanganku. Bibirnya terus menerus menyerangku, membasahi wajah, daun telinga, dan dagu hingga kembali berciuman.

Tangan ku melingkar di lehernya, mengusap rambut-kadang menarik kepalanya ketika ia menggigit bibir ku.

Aku dapat merasakan kemaluannya yang menegang, menekan kemaluan ku dan berusaha masuk kedalam tubuh ku.

-***-

Entah bagaimana caranya, ia mampu menembus pertahanan ku, dan membuatku lemah tanpa perlawanan.

Tubuh kami sudah basah karena keringat, aroma di sekeliling ku berubah menjadi liar.

Aku bukan tidak menyukai perlakuannya terhadap ku, namun setiap sentuhannya membuat ku ketagihan. Titik rangsang yang tak pernah ku ketahui mampu di jamah olehnya. Ia mampu merangsang ku hingga aku mengerang nikmat.

Pinggulnya, maju mundur berirama, menyentuh titik rangsang dalam tubuh ku hingga aku bergetar.

Sekejap, semua masalah yang ku lalui hari ini terlintas dalam kepala. Rasa kecewa, sedih, dan emosi yang tak dapat ku ekspresikan keluar melalui erangan-erangan yang membuatnya memujiku.

"Desahan mu begitu hebat, aku menyukainya."

Ada rasa bersalah ketika aku memandangnya penuh nafsu menyetubuhi ku, aku memanfaatkan orang itu hanya untuk mendapatkan makan dan tempat untuk bernaung malam ini. Ada rasa menyesal ketika aku dapat merasakan ciuman yang diberikannya adalah ciuman didasari nafsu. Namun, aku tak punya pilihan.

"Sebentar lagi, aku sampai." bisiknya lembut.

Sebentar lagi, selesai. Sebentar lagi aku dapat beristirahat dengan tenang. Sebentar lagi, aku dapat tidur di atas kasur yang empuk.

Aku hanya cukup memejamkan mata, menikmati ini semua, dan mengerang agar selesai lebih cepat.

"Argh! Aku sampai!" tempo tubuhnya semakin cepat, dia mendesah hebat dan mengerang.

Tubuh ku dapat merasakan kemaluannya berkedut kencang sebelum mengeluarkan cairan dalam tubuh ku.

Hangat. Begitu hangat. Aku menyukai kehangatan tubuhnya.

-***-

[30 menit kemudian]

Orang itu keluar dari kamar mandi, mengenakan handuk yang melilit di pinggang.

"Dik, kalau mau mandi sekarang. Selagi air masih hangat." ujar orang itu pelan. Tak ada jawaban darinya.

Orang itu mematung melihat remaja laki-laki yang bermain dengannya terlelap dengan damai—tanpa sehelai pakaian. Orang itu tersenyum, meski dalam hatinya teriris.

Orang itu merasa bersalah mengiyakan ajakannya untuk bermain, meski tanpa bayaran dan keduanya merasakan nikmat.

Diraihnya selimut tebal, lalu menutup tubuh remaja itu hingga ke kaki, dan orang itu mengambil piyama juga bantal untuk tidur di tempat lain agar tidak mengganggunya.

Mematikan setiap lampu, dan bersiap untuk tidur. Orang itu berharap, ketika membuka mata pagi nanti, semuanya akan berakhir.

Sama seperti yang remaja laki-laki itu harapkan. Ketika ia membuka mata nanti, tubuhnya menjadi segar, dan siap untuk menghadapi hari yang mungkin bisa lebih kejam dari hari ini.