webnovel

Lamunan Masa Lalu

"Oh, itu album foto Revan dan Rania, adiknya waktu kecil. Kamu mau lihat?" tanya Bu Regina.

"Wah, boleh, Tante." Fira nampak antusias.

Bu Regina mengambil album foto dari meja kaca yang ada di hadapan mereka. Kemudian, membukanya dan memperlihatkan beberapa foto di dalamnya.

"Nah, ini waktu Revan bayi. Baru habis mandi langsung difoto sama papanya." Bu Regina menjelaskan kejadian di balik foto tersebut.

Di sana ada foto seorang bayi laki-laki yang menggemaskan dan bertubuh gempal. Ia sedang tengkurap di atas meja. Mata hitamnya melotot melihat ke depan, seakan mengerti ketika difoto.

"Lucu banget, ya, Revan waktu bayi. Gendut." Fira berkomentar melihat foto di hadapannya.

"Sudahlah, ngapain juga buka-buka album foto lama. Malu tahu, Ma." Revan sepertinya sedikit kesal pada mamanya, juga malu pada pujaan hatinya.

Foto-foto dalam album itu juga banyak yang memperlihatkan fotonya dengan ekspresi wajah polos dan memalukan. Makanya Revan malu jika Fira melihat dirinya yang dulu.

"Ngapain mesti malu? Anak Mama, kan, dari dulu paling tampan," tanya Bu Regina yang tak merasa bersalah telah memperlihatkan foto-foto masa kecil anaknya.

Mereka berbincang-bincang ringan, seputar masalah wanita. Bahkan membicarakan soal cara memanjakan suami. Fira begitu senang mendengar cerita-cerita yang mengalir dari lisan Bu Regina.

Obrolan itu terasa hangat di hati Revan. Nampaknya, ibu dan calon istrinya akan sangat akur. Tidak akan terjadi drama-drama memilukan seperti mertua dan menantu pada umumnya.

Setelah pertemuan itu beberapa kali Fira datang ke rumah Bu Regina dengan membawa buah tangan.

"Pakai repot-repot segala, ini brownies kesukaan Tante," ucap Bu Regina setiap Fira membawa buah tangan.

Apapun yang dibawa Fira selalu sesuai dengan seleranya. Bahkan Bu Regina sebenarnya ingin cepat-cepat menikahkan mereka.

Jadilah, suatu hari Bu Regina dan suaminya mengajak keluarga Fira makan malam. Saat pertama bertemu dengan keluarga Fira, ia begitu kaget karena ternyata gadis cantik itu berasal dari keluarga Adiyaksa.

Melihat perilaku Fira yang baik dan sopan Bu Regina akhirnya tak mempermasalahkannya. Sampai tiba-tiba Bu Alin mengajaknya bertemu karena ada sesuatu yang mesti dibicarakan.

Dari sana terungkap fakta yang mencengangkan bagi Bu Regina. Sekaligus menjadi petaka bagi Revan bila mengetahuinya.

****

Bu Regina tersadar dari lamunan masa lalu, saat awal dikenalkan dengan Fira.

"Revan belum sadar, sebaiknya kamu pulang saja. Toh, percuma tak akan bisa dijenguk juga," ucap Bu Regina dingin pada Fira.

Padahal berarti Fira adalah anak tiri dari mantan suaminya dulu, Pak Radit.

"Tak apa-apa, Tante. Biar saya temani Tante menjaga Revan. Bisa jadi teman ngobrol juga," ucap Fira yang masih setia berdiri.

Berharap ada respon baik dari Bu Regina. Tapi, nyatanya memang tak mudah meluluhkan hati yang telah tersakiti. Bagai gelas kaca yang dipecahkan kemudian akan disatukan kembali. Tentu sulit, jikapun bisa bentuknya takkan sama lagi.

Begitulah yang dirasakan Bu Regina saat ini. Ia memalingkan wajah tak ingin menatap Fira lebih lama. Bahkan kalau boleh, ingin sekali berkata kepada gadis itu agar tak lagi menemui anaknya.

'Sepertinya Fira juga belum tahu kalau dia dan Revan adalah adik-kakak. Buktinya sikapnya masih sama dan tak menjauh sedikitpun,' gumam Bu Regina dalam hati.

"Boleh saya ikut duduk?" tanya Fira sopan.

Kursi panjang itu tersisa tempat kosong di sebelah Bu Regina, yang tadi ketika duduk menghadap suaminya ia membelakangi kedatangan Fira.

Bu Regina mengangguk pelan, tak pantas juga ia bersikap berbeda pada Fira yang tak tahu apa-apa.

"Tante, bagaimana keadaan Revan sekarang?" tanya Fira lembut.

"Seperti yang kamu lihat, belum sadarkan diri," jawab Bu Regina dingin. Tak ada senyuman hangat seperti biasanya.

Fira menarik napas panjang. Ia memaklumi sikap Bu Regina yang mungkin dikarenakan kelelahan berada di rumah sakit dan menjaga Revan. Makanya ia berinisiatif untuk membantu menggantikan Bu Regina untuk menjaga kekasihnya.

"Fira, kamu, kan, kerja di kantor. Pasti lelah, sebaiknya pulang saja dan istirahat," ucap Pak Andi lembut, ia mengerti saat melihat sikap istrinya yang tak menyukai kehadiran Fira.

Fira mengerti maksud Pak Andi yang mengusirnya secara halus. Hatinya begitu sakit seakan disayat sembilu. Ia ingin protes dan menangis tapi tak bisa. Sebenarnya apa yang terjadi, mengapa sikap Bu Regina berubah.

Mata Fira memerah, tapi berusaha tak mengeluarkan air mata di hadapan orang tua Revan.

"Ba—baik, Om, Tante, kalau begitu saya pulang dulu." Ucap Fira terbata.

Fira bangkit dari duduknya yang baru saja sejenak. Ia mengangguk sopan tanda pamit pada Bu Regina dan Pak Andi.

Ia berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit untuk keluar. Sesekali menengadah untuk menahan air mata yang hendak keluar. Aneh sekali baginya, baru kali ini ia merasa begitu lemah menghadapi masalah.

Ia takut sekali kehilangan Revan. Merasa sangat mencintainya dan tak bisa kehilangannya.

Fira memasuki mobilnya dan duduk di belakang kemudi. Ini salah satu alasan ia tak ingin memiliki supir pribadi. Karena banyak hal yang menurutnya hal privasi yang tak boleh diketahui orang lain, seperti saat menangis atau bahagia.

"Ada apa ini? Kenapa orang tuaku dan orang tua Revan seakan tak menginginkan kami bersatu? Apa salahku, apa kurangnya Revan?" Semua pertanyaan itu terus berkelebat di kepala Fira.

Membuatnya tak melajukan mobil dulu. Karena pasti tak akan bisa fokus menyetir. Tetes demi tetes air matanya menjadi sebuah aliran di pipi mulusnya.

Setelah setengah jam berlalu dan merasa dirinya lebih tenang. Barulah Fira berani melajukan mobilnya. Tujuannya adalah pulang dan mengunci diri di kamar. Ia sedang ingin sendiri, tanpa gangguan apapun apalagi nyinyiran Tante Sita yang masih betah di rumahnya.

Fira melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup kencang. Ia ingin segera sampai di rumahnya. Sesampainya di depan rumah, Fira langsung berjalan cepat menuju kamarnya.

Keluarganya yang sedang asik berada di ruang tengah, menatap Fira dengan tatapan penuh tanya. Tapi, melihat sikap Fira yang seperti menahan sesak di dadanya, mereka tak berani bertanya. Membiarkan Fira untuk punya ruang sendiri.

Fira memasuki kamar dan langsung menguncinya dari dalam. Ia menghempaskan dirinya ke kasur king size yang terasa sangat besar untuk dirinya yang sedang merasa sendiri dalam kesedihan dan kesunyian hati.

***

"Terima kasih, Pa. Sudah membuat Fira pergi," ucap Bu Regina pada suaminya.

"Papa mengerti Mama belum siap bertemu dengan Fira. Semuanya butuh waktu dan proses," ujar Pak Andi dengan bijak.

Bu Regina mengangguk mengiyakan. Tak mungkin ia selamanya bersikap seperti itu pada Fira yang merupakan adik kandung Revan se-ayah.

"Jadi, bagaimana, Pa? Kapan kita bawa Revan ke Singapura?" tanya Bu Regina, ia ingin segera meninggalkan Fira dan keluarganya.