webnovel

1. Nyata, Bukan Sempurna

Matahari belum menampakkan dirinya, langit juga masih berwarna biru kehitaman. Puluhan bintang di atas sana, kian detik kian berkurang jumlahnya. Ini masih pukul 05.15 pagi, seorang wanita paruh baya duduk di pinggir ranjang memperhatikan gadis remaja bersurai hitam sedang memejamkan matanya.

Bibir wanita di sisi ranjang itu melengkung ke atas, menimbulkan garis-garis kerutan samar disudut matanya. Tangan kanan wanita itu perlahan terangkat mengelus kepala gadis di depannya. Enam, tujuh, delapan belaian lembut di atas kepala yang dirasakan sedikit mengusik tidurnya, namun gadis berhidung mancung itu masih enggan untuk membuka matanya. Gadis yang terbaring malah membalik tubuhnya, merapatkan selimut dan membenarkan posisinya untuk kembali tidur.

"Sudah pagi nak, waktunya bersiap untuk berangkat sekolah." Wanita paruh baya itu masih setia mengelus lembut surai panjang putrinya.

Gadis yang masih bergelung dengan mimpinya itu hanya memberi jawaban dengan racauan kecil nyaris tak terdengar. Wanita empat puluhan  tahun itu lantas tersenyum, senyum menenangkan yang membuat setiap anak di dunia ini menginginkan senyum hangat itu menyabut hari-harinya.

"Hari ini ada try out untuk ujian kelulusan. Pergi terlambat ke sekolah pasti menimbulkan beberapa masalah kan?" Kini, tangan kanan  wanita itu tak lagi mengelus rambut anaknya, berganti menarik turun selimut yang membungkus rapat tubuh putrinya.

"Eungghh....  Aku sudah bangun, Ma." Kata-kata gadis itu tak selaras dengan apa yang ia lakukan. Kedua matanya masih tertutup, lalu tangannya kembali menarik selimut sampai menutupi wajahnya.

"Mana ada orang bangun dengan mata  tertutup rapat begitu." Pecah sudah tawa sang Mama menyaksikan putri kecilnya yang bertingkah menggemaskan pagi ini. Gadis yang terbungkus selimut itu sampai tak kuasa untuk menahan tawanya, ia berbalik menghadap Mamanya ikut tertawa dengan mata yang tidak tertutup, tapi juga enggan terbuka sepenuhnya.

Tawa menyenangkan itu hanya bertahan selama 1 menit 6 detik saja karena sang Mama lantas bersuara.

"Akhirnya sudah bangun kan? Ayo bersihkan dirimu, lekas turun untuk sarapan." Sebelum bangkit dari duduknya, ia menyempatkan diri menunduk beberapa detik untuk mencium kening putrinya. Sekali lagi ia mengelus kepala anak perempuannya, kemudian beranjak meninggalkan ruangan  5 x 6 meter itu.

Kamar ini dicat berdasarkan warna kesukaan remaja itu, iya senang dengan warna-warna lembut seperti peach, wardah, dan beberapa lainnya. Ia memadukan warna peach sebagai dasarnya dengan yang cat cokelat susu sebagai pasangannya.

Aturan pengecatannya sederhana, seluruh dinding diberi warna peach, lalu setiap jarak 70 centimeter pada dinding, diberi warna coklat susu vertikal dari sisi paling atas dekat asbes hingga dinding paling bawah berbatasan dengan lantai.

Tak ada satupun poster atau foto yang ditempel pada dinding, seluruh permukaannya steril dari benda-benda lainnya. Gadis pemilik kamar ini tidak menyukai terlalu banyak aksesoris menyita ruang di kamarnya.

Tempat tidur, nakas, meja belajar, meja rias serta lemari pakaian adalah barang yang memang ada di setiap kamar anak perempuan pada umumnya. Gadis ini memiliki kesemua barang tersebut, ia sudah merasa cukup dan tidak membutuhkan barang atau hiasan lain yang akan merusak kesederhanaan ruang pribadinya.

Beberapa menit setelah kepergian Mamanya, remaja berusia 18 tahun itu turun dari tempat tidurnya menuju kamar mandi di sisi sebelah kiri ruangan ini. Ia menggenggam kenop pintu kayu di depannya, menekannya kebawa guna membuka lebar benda persegi panjang besar ini.

Gadis berambut panjang itu membutuhkan waktu 20 menit untuk keluar dari kamar mandi, lalu ditambah 20 menit lagi menyiapkan dirinya. Tujuh menit pertama, ia habiskan untuk berpakaian, ia mengenakan seragam putih abu-abu yang kebanyakan remaja lain pakai. Kemudian, iya gunakan delapan menit berikutnya untuk mengeringkan rambut hitam panjangnya.

Sisa lima menit dari waktu awalnya, ia manfaatkan untuk mengoleskan cream di seluruh permukaan wajahnya, fungsinya menghalangi sinar UV A dan UV B menembus kulit putih dan bersih miliknya. Sebagai polesan akhir, ia mengoleskan lip gloss di seluruh permukaan bibir tipis miliknya.

Mematut dirinya lewat cermin di atas meja rias, meneliti apa yang tertinggal pada riasannya pagi ini, enoleh ke kanan dan kiri, tersenyum lebar lalu kembali ke wajah datar, hingga iseng mengedipkan mata pada pantulan dirinya sendiri di depan sana.

Akhirnya, setelah beberapa pertimbangan, ia memutuskan untuk mengikat satu rambut panjangnya. Mengerjakan soal dengan rambut terurai akan mengganggu konsentrasinya, itulah sebabnya ia memutuskan untuk mengait seluruh helai rambutnya menjadi satu dengan ikat berhiaskan kepala hello kitty.

Tak ada poni yang menutupi dahi remaja ini, namun sejumlah anak rambut menjuntai di sekitaran wajahnya, ia terlihat seperti karakter utama di sebuah komik. Setelah puas dengan hasil akhir tampilan dirinya sendiri, ia beranjak dari kursi depan meja rias itu.

Gadis beraroma permen karet ini melangkahkan kakinya ke sudut kanan ruangan, sejajar dengan tempat tidurnya. Terdapat sebuah meja belajar tak terlalu lebar dengan banyak buku tertata diatasnya. Buku-buku itu kebanyakan buku materi pelajaran yang dipinjam dari perpustakaan sekolah dan sebagian lainnya ia beli bersama dengan Mamanya. Buku-buku paket itu disusun rapi mulai dari yang paling tipis 50 halaman, sampai yang berisi ratusan halaman tebalnya bisa mencapai 5 cm. Lalu sebagian kecil dari buku-buku itu merupakan novel dan komik yang ia beli dengan uangnya sendiri untuk mengisi waktu luang jika merasa jenuh belajar.

Tepat di depan meja itu ada sebuah kursi yang selalu digunakannya untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolahnya, di atas kursi tersebut teronggok sebuah ransel berwarna coklat tua dengan garis melintang coklat muda di beberapa bagiannya. Gadis pencinta makanan manis itu segera mengambil tas yang padat terisi buku-buku mata pelajarannya hari ini dengan sedikit kesulitan. Bagaimana tidak, bobot ransel yang ada di pundaknya itu saja nyaris tujuh kilogram, belum lagi tiga buku tebal yang ada di tangan, tambah mempersulit gerakannya.

Ini hal biasa yang dilakukan remaja itu setiap harinya, akan ada buku-buku tambahan dari penerbit berbeda yang ia bawa ke sekolah untuk menjadi referensi pelajarannya hari itu. Sejak masuk kelas 1 SMA hingga kini hampir di akhir masa sekolahnya, ia terus berusaha agar tidak satupun ujiannya mendapat nilai buruk, padahal Mamanya pernah berpesan.

"Belajarlah dengan batas kemampuan yang rata-rata manusia miliki. Mama tidak pernah memaksa kamu harus terus menjadi juara, kamu boleh mengeluh bahwa kamu lelah belajar, kamu ingin bermain sepanjang hari juga tidak akan ada yang larang. Dengar, kamu itu terlahir untuk menjadi nyata, bukan untuk menjadi sempurna."