webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · ย้อนยุค
เรตติ้งไม่พอ
17 Chs

Bagian 11 | Terusik [Flashback] ||

Selamat membaca! 😊

________________________

Reza termenung seusai mendengar cerita sahabatnya. Dia menghembuskan nafas sekali. "Jadi, yang bikin lo kepikiran yang bagian mananya?" Tanyanya sembari menatap lekat pria di hadapannya.

Ali membalas tatapan sahabatnya itu. Lantas dia diam sejenak. "Gue kepikiran semuanya. Pikiran kue nggak di satu titik Ree."

"Kayaknya lo paling kepikiran di permintaan bundanya Adhwa ya?" Tebak Reza.

Pria itu mendapat anggukkan pelan dari Ali. "Kayaknya iya."

"Prediksi gue sih, cerita ini bakal lanjut. Bakal ada hal lain yang jauh lebih rumit dari ini." Gumam Reza menatap pemandangan kota. Tatapannya menerawang. Memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ali lantas menegakkan tubuhnya. "Yaudahlah. Lo keluar."

Sontak kepala Reza pangsung berputar menghadap pria itu. "Lo bener bener ye. Habis manis sepah dibuang." Ucapnya dongkol. "Habis gue denger secara baik ceritanya, gue diusir."

"Yang nyuruh gue cerita kan, elo." Balas Ali dengan datar.

"Gue nangis punya sahabat kayak lo." Keluhnya dengan ekspresi berpura pura nangis.

Alih alih merespon, Ali justru melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi. Dan itu menambah kejengkelan dari Reza.

"Udah nggak terima kasih. Sekarang gue diusir. Bener bener sengsara gue punya sahabat kayak lo." Gerutu Reza seraya beranjak dari kursi. Lagi lagi Ali tidak merespon dan tetap fokus dengan pekerjaannya.

"Gue sumpahin lo jatuh cinta sejatuh jatuhnya." Kata Reza sebelum akhirnya dia keluar dari ruangan.

Sementara Ali tidak terganggu sama sekali dengan perkataan sahabatnya itu. Lebih tepatnya mungkin berpura pura tidak terganggu.

***

Sementara di tempat lain seseorang tengah duduk bersandar dengan meluruskan kakiknya ke atas sofa. Juga dengan nugget goreng serta saos di atas piring yang dia bawa.

Kemudian seseorang datang dari arah koridor. Dengan celana kulot hitam serta blouse polos berwarna pink soft. Juga khimar tali berwarna pink soft.

"Dek." Panggil Safiya saat Adhwa tengah asik menonton tv.

Adhwa menoleh. "Bunda sama ibu mana?" Tanya Safiya.

"Lagi ke rumah Bu Wati." Jawab gadis itu. Lalu kambali menonton tv.

"Ngapain?" Tanya Safiya yang duduk di kursi sebrang kanannya.

"Anaknya Bu Wati kan udah pulang dari rumah sakit. Bunda sama bude mau lihat bayinya."

"Oh iya. Mbak baru inget. Ntar mbak ke sana ah, sama Mas Arya. Mau lihat dede bayinya." Gumam Safiya.

"Ntar Mas Arya jangan lama lama lihat dede bayinya, sawanan entar." Celetuk Adhwa.

Sontak Safiya tertawa kecil. "Kamu tuh nggak ada bosen bosennya ngeledek Mas Arya."

"Habis Mas Arya nyebelin banget. Tiap hari rese' terus." Gerutu gadis itu.

Safiya hanya tersenyum geli. "Kalau bapak mana?" Tanyanya kemudian.

"Ada di belakang. Lagi nyiramin tanaman." Safiya menatap ke halaman belakang. Yang dapat dilihat lewat pintu kaca tak jauh di belakang sofa Adhwa.

Sedetik kemudian terdengar suara seru mobil terpakir.

"Mas Arya itu?" Tanya Adhwa menoleh ke Safiya.

Safiya mengedikkan bahu. "Nggak tau. Mbak lihat bentar." Wanita itu beranjak dari kursi lalu pergi menghampiri sumber suara.

Tak lama kemudian munculnya sepasang suami istri dari arah koridor. Adhwa menolah dan melihat Arya tampak lesu.

"Mas Arya kok pulang?" Tanya Adhwa saat Arya duduk di kursi tempat makan.

"Tepar dia dek." Jawab Safiya yang tengah di dapur membuat sesuatu. Pasalnya Arya terdiam dengan menumpukan kepalanya di atas meja makan.

"Lah, kok bisa?" Tanya Adhwa lagi.

"Ya bisa toh, dek." Jawab Safiya dengan membawa secangkir teh panas menghampiri sang suami. "Tadi pagi sebenernya udah bilang, kepalanya pusing. Tapi tetep maksa masuk kerja. Bilangnya entar juga hilang sendiri." Sambungnya saat sudah duduk di kirsi samping Arya.

"Yeee, makanya kalau udah ngerasa pusing itu, istirahat aja bentar." Omel gadis itu.

"Iya Bu Dokter.." Sahut Arya. Pria itu sudah duduk bersandar dengan cangkir ditangannya. Menyesapnya pelan sedikit demi sedikit.

"Makan ya? Habis itu minum obat." Kata sang istri dengan lembut. Arya menangguk pelan sebagai jawaban.

Safiya pun segera beranjak dari kursi lalu menyiapkan makan untuk suaminya. Sedangkan pria itu menoleh ke Adhwa seraya menaruh cangkir tehnya ke meja.

"Dek." Panggil Arya.

"Hm." Gumam Adhwa.

"Kalau misalnya suatu saat akhirnya kamu harus melakukan apa yang nggak kamu mau gimana?"

Mendapat pertanyaan itu, kening Adhwa berkerut. "Ya nggak gimana gimana." Jawab sekenanya.

"Ya kamunya gimana? Mau ngelakuin itu atau enggak?"

"Tergantunglah. Kalau emang harus ya, aku lakuin."

"Kalau hatimu tetep nggak mau?" Tanya Arya ragu ragu.

Sontak Adhwa menoleh ke pria itu. "Kenapa tiba tiba nanya gitu?"

"Ya nggak pa pa. Cuma nanya." Jawab Arya dengan santai.

"Nih pasti ada udang dibalik gajah. Pasti ada tujuan lain dari pertanyaan mas." Kata Adhwa seraya menyipitkan mata.

Sontak Arya jadi gugup. "Eng—gak. Mas cuma pengen tanya gitu aja. Nggak ada maksud lain." Jawabnya bohong. Karena sebenarnya dia ingin tahu isi hati gadis itu saat ini.

Pandangan gadis itu kembali ke tv. "Perasaan dari kemarin pembahasannya yang berat berat terus." Gerutunya.

"Ya kalau nggak mau jawab juga nggak pa pa." Balas Arya saat Safiya menghampiri dengan membawa makanan untuknya.

"Untuk sekarang, lebih baik jangan tanya hal sensitif dulu ke Adhwa." Bisik Safiya sambil melirik gadis itu sekilas. "Dia jadi sering ngelamun akhir akhir ini. Aku jadi ngerasa bersalah ikut ikut an maksa dia."

"Iya sih, tapi kan dia juga nggak bisa terus terus an gitu." Balas suaminya sambil menghembuskan nafas pelan. "Dan kita tau sendiri gimana kondisi kesehatan bunda. Mas nggak mau pada akhirnya dia..." Kalimatnya terhenti karena tak sanggup untuk melanjutkannya.

Safiya yang mengerti maksud suaminya langsung menggenggam tangan pria itu. "Fiya ngerti kok mas. Tapi untuk sekarang biarin aja dulu."

Pria itu tersenyum lembut. "Makasih sayang." Ucap Arya sembari mengusap lembut kepala istrinya. "Makasih kamu udah sayang sama Adhwa." Sambungnya.

Safiya membalasnya dengan senyuman juga. "Adhwa juga keluargaku."

"Ibu sama bunda mana?" Tanya Arya seraya memakan makanannya.

"Ke rumah Bu Wati. Mbak Riri udah pulang dari rumah sakit." Jawab Safiya sambil memandangi wajah suaminya itu. "Nanti kita ke sana ya, kalau kamu udah enak an. Aku pengen lihat dede bayinya. Pasti lucu." Sambungnya dengan antusias.

Pria itu terkekeh melihat keantusiasan istrinya. Dan sekali lagi dia mengusap sayang kepala istrinya. "Iya, sayang. Nanti mampir ke toko dulu, buat dede bayinya." Wanita itu mengangguk.

Dari jarak yang tak jauh Adhwa memandang kedua orang itu. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Hatinya menghangat sekaligus sesak dalam waktu yang sama. Dia memejamkan mata sejenak. Menghembuskan nafas pelan lalu kembali menatap tv.

Sekilas terlintas bayangan seseorang ketika melihat sepasang suami istri itu. Sedikit rasa iri terbesit dalam hatinya. "Ternyata menjalin hubungan bertahun tahun berakhir menyakitkan." Batinnya.

Adhwa bangun dari sofa dan beranjak pergi setelah menaruh toples keripiknya ke atas meja. Sementara Haidar baru saja masuk ke dalam rumah mencegahnya dan bertanya.

"Mau kemana nduk?" Pria itu duduk di tempat Adhwa sebelumnya.

Gadis itu berhenti dan berbalik kepadanya. "Mau keluar bentar pakde. Pakde mau titip apa?"

"Jalan kaki?"

Adhwa mengangguk. "Iya." Ucap dengan polos.

"Ya jangan. Capek kamu nanti. Mau kemana sih emangnya?"

"Ke indomart."

"Itu lumayan jauh loh, nduk."

"Ndak pa pa pakde. Sekalian olahraga." Ucap Adhwa diakhiri kekehan.

"Yaudah, terserah kamu. Tapi hati hati. Dilihat kanan kiri. Kamu tuh kebiasaan kalau jalan sembrono." Tutur Haidar.

Adhwa sekali lagi mengangguk. "Iya, pakde. Pakde jadi titip ndak?"

"Enggak."

"Yaudah, Adhwa pergi dulu. Assalamualaikum." Ucapnya kembali berbalik dan pergi.

"Waalaikumsalam." Jawab Haidar.

Namun gadis itu kembali terhenti saat Arya memanggil. Gadis itupun kembali berbalik. "Apa?"

"Titip jajan dong."

Belum sempat Adhwa bicara, Safiya menepuk duluan suaminya. "Kamu kan, lagi sakit. Malah jajan." Omel sang istri.

Arya menoleh. "Dikit, sayang. Sisanya buat simpenan."

"Sama aja mas."

"Ayolah, Yang. Dikit ya?" Bujuk pria itu dengan suara manja.

"Jangan mau Fi. Ntar yang susah juga kamu." Celetuk Haidar yang sedang santai menonton TV.

"Sayang, aku bisa jaga batasan kok. Satu aja, sayang. Kan nanti sisanya di simpen." Kata Arya dengan mode manjanya serta menumpukan kepalanya pada pundak wanita itu.

Jika sudah seperti ini, Safiya tidak mampu untuk menolak. "Yaudah iya." Kepala Arya langsung terangkat menatap istrinya.

"Dikit ya?" Kata Safiya dianggukki sang suami.

Pria itu juga mencium pipi kanan Safiya tiba tiba. "Makasih." Ucapnya dengan tersenyum lebar.

"Dih. Koyok cah cilik." Cibir sang ayah.

"Bilang aja bapak juga pengen kan, manja manja ke ibu." Sahut Arya. "Tenang aja pak, bentar lagi ibu pulang kok." Sambungnya dengan santai.

"Yaudah, mau jajan apa?" Tanya Adhwa.

Arya pun menoleh. "Ya, apa gitu. Taro, Potato Bee, atau nggak Chitato."

"Yaudah mana?" Tangan Adhwa terulur menengadah ke pria itu.

Kening pria itu berkerut. "Apa?"

"Duitlah."

"Pakek uangmu dulu lah, dek." Kata Arya sambil merogoh saku celananya.

"Males. Situ kan punya duit banyak."

Pria itu mendengus. "Nih." Arya memberikan selembar uang 100.000.

Adhwa menerimanya lalu mengantonginya ke saku celana. "Ini sekalian buat aku ya?" Ucapnya sebelum pergi.

"Bilang aja kamu nggak punya duit!" Kata Arya dengan kesal begitu Adhwa sudah tak terlihat.

"Emang nggak punya!" Sahut Adhwa dengan santai keluar rumah memakai sendalnya.

"Dih! Anaknya siapa sih! Heran aku!"

"Anaknya bundalah!" Sahut gadis itu dengan diakhiri tawa. Membuat Safiya dan juga Haidar ikut tertawa.

***

Sehabis dari indomart, Adhwa berhenti sebentar di taman komplek. Duduk manis di bangku ayunan sambil menikmati ice cream. Rasanya nyaman sekali dengan suasana saat ini. Duduk di bawah pohon dengan angin yang berhembus pelan. Membuatnya enggan untuk pulang.

Sekitarnya yang lumayan sepi membuat kenyamanan semakin terasa. Menikmati manisnya kombinasi vanilla dan coklat sambil menatap langit cerah yang berawan putih.

Jika sedang sendiri begini, membuat pikirannya berkelana jauh. Bahkan kejauhan. Pasti akan ada saja yang dia pikirkan. Dan masa lalu selalu saja menyelip dalam pikirannya.

Hembusan nafas pelan keluar dari bibirnya. "Hah. Ternyata pertemuan itu membuat efek besar dalam hidupnya. Keluarganya jadi berharap lebih dari pertemuan itu. Kecuali pakde. Pakde bersikap netral. Walaupun pakde juga berharap, tapi nggak berlebihan seperti yang lain." Batinnya.

Di tengah lamunannya, terdengar suara deru mobil dari belakangnya. Dia menoleh, dan keluarlah seseorang dari mobil.

"Galih?" Kening Adhwa berkerut.

Laki laki berkemeja polos berwarna biru langit serta celana panjang kain berwarna navy. Juga dengan sneakers putih. Yang warnanya hampir sama dengan warna kulitnya. Dan tak terlewatkan model rambutnya yang ala ala aktor Lee Min Ho jaman sekarang.

"Mau ke mana?" Tanya Adhwa begitu laki laki itu sudah berdiri di sisi kanannya.

"Ke rumah budelah."

"Terus ngapain berhenti di sini?" Gadis itu mendongak menatap laki laki itu.

"Ya aku tadi lihat kamu. Yaudah, berhenti bentar nyamperin kamu." Kata Galih dengan suara khasnya yang lembut. Tapi beda cerita lagi jika berbicara dengan orang tak di kenal. Serasa seperti di dalam kulkas. Dingin.

"Ke rumah bude mau apa?"

"Mau nganterin bingkisan. Mama sama papa habis PulKam ke rumah mama." Adhwa manggut manggut.

"Aku boleh duduk nggak nih?"

"Boleh. Silahkan." Kata Adhwa sambil bergeser ke kiri.

Laki laki itu duduk sambil menatap lurus ke arah depan. "Kamu sendiri ngapain ke sini?"

"Lagi pengen aja." Jawab seadanya. Dia juga ikut menatap lurus ke depan sambil memakan ice creamnya yang masih setengah.

"Nggak takut diculik?" Tanya Galih asal.

"Emang ada yang mau nyulik aku?"

"Ya adalah." Sahut Galih seraya mengayunkan pelan bangkunya dengan kaki.

"Emang untungnya nyulik aku apaan?"

"Ya nggak tau, namanya juga nyulik. Ya semau mereka mau diapain." Jawab laki laki itu sedikit kesal.

"Iya sih."

Mendadak Galih teringat sesuatu. "Oh ya. Soal, pria yang kamu ceritain, ketemu lagi nggak?" Tanyanya hati hati.

Mendengar pertayanyaan sahabatnya membuat Adhwa sedikit tidak nyaman. "Enggak." Jawabnya lirih.

Seolah tau ketidaknyamanan Adhwa. Galih segera mengubah pertanyaan. "Kabar bunda gimana?"

"Alhamdulillah baik. Kabar mama sama papa kamu?" Tanya Adhwa balik.

"Alhamdulillah baik juga."

"Eum, papa mama kamu ada acara apa? Kok PulKam?" Gadis itu menoleh ke kanan.

"Keponakannya mama nikah." Galih membalas tatapan Adhwa.

Gadis itu kembali menatap ke depan. "Kapan kapan kita kumpul bertiga lagi ya? Udah lama nggak kumpul."

"Boleh." Jawab laki laki itu masih menatap Adhwa.

"Kita kumpul di mie ayamnya Pak Yusuf aja." Usul gadis itu yang tak sadar bahwa Galih masih menatapnya.

"Boleh."

Kali ini Adhwa terdiam. Dia sadar ada yang aneh dengan jawaban Galih. Terlebih saat dia tahu jika laki laki itu tak mengalihkan tatapan darinya.

"Ngapain natap terus? Ntar jatuh cinta loh." Kata Adhwa asal. Niatnya agar laki laki itu mengalihkan tatapan. Tapi justru dia dikagetkan dengan jawaban sahabatnya itu.

"Emang udah jatuh cinta." Jawab Galih dengan enteng.

"Ha?" Gadis itu sontak menoleh dengan bibir terbuka. Tentunya juga ekspresi terkejut.

Melihat respon Adhwa, laki laki itu tergelak seketika. "Wajah kamu lucu banget."

"Nggak lucu." Adhwa berubah ketus begitu Galih tergelak. Dia juga membuang muka dengan wajah kesal.

"Sesuatu yang lucu memang terkadang terlihat serius. Dan yang serius terkadang terlihat lucu." Ucap laki laki itu berubah serius dengan tersenyum kecut. Dia menatap kembali ke depan.

"Otak ku nggak nyampe Lih. Bisa nggak, jangan ngomongin yang berat berat?" Sahut Adhwa masih dengan keketusannya.

Galih seakan tak peduli, dia melanjutkan kalimatnya. "Karena terkadang semesta memang tidak mengizinkan sesuatu itu terjadi."

"Terserah deh." Balas Adhwa sekenanya.

"Yang pada akhirnya, kita hanya bisa pasrah. Mau tidak mau kita harus terima." Ucap Galih.

"Hei, anda. Kalau mau bikin novel atau quotes itu di buku." Ejek Adhwa.

Laki laki itu menoleh padanya. "Kamu ngerti yang ku maksud Wa, tapi kamunya yang menolak untuk mengerti."

Mendengar hal itu membuat Adhwa terdiam sejenak. "Bukan menolak. Tapi sedang mengistirahatkan pikiran." Tuturnya.

"Sama aja."

"Terserah." Kata Adhwa enggan untuk berdebat lebih jauh.

"Wa." Panggil Galih.

"Hm." Gadis itu memakan ice cream hingga tandas.

"Kalau kamu disuruh nikah sama orang yang nggak kamu cinta gimana?"

Gadis itu menaruh cup ice cream ke sampingnya. "Nggak mau dan nggak tau." Kening Galih mengerut menatap gadis itu.

"Nggak mau kalau sampai itu terjadi. Dan nggak tau apakah pada akhirnya aku harus terima atau enggak." Sambungnya dengan tatapan menerawang ke langit.

"Kamu—"

"Udah, ah. Bahas apaan sih. Capek bahas yang berat berat." Potong Adhwa dengan ketus. Dia kesal karena laki laki itu membuatnya berpikir keras. Padahal tujuannya ke sini untuk menenangkan pikiran. Bukan untuk menambah pikiran.

Adhwa beranjak dari bangku lalu membuang cup ice cream tadi ke tempat sampah. Kemudian kembali ke bangku mengambil belanjaannya tadi. "Ayok pulang. Ntar dicariin Mas Arya. Ini belanjaan titipan tuh orang." Ucapnya seraya berjalan ke mobil Galih.

Sementara laki laki itu tersenyum tipis kemudian menyusul Adhwa yang sudah duduk manis di dalam mobil. Lantaran mobilnya tadi kebetulan tidak dikunci.

***

Hari sudah menunjukkan pukul 16.00, Ali juga sudah selesai dengan pekerjaannya. Hari ini dia menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, lantaran kondisi pikirannya sedang tidak baik baik saja. Dia juga heran, kenapa pertemuan biasa itu sangat berpengaruh untuknya. Padahal juga dia tidak mengobrol intens dengan perempuan itu.

"Assalamualaikum." Salamnya begitu membuka pintu rumah.

"Waalaikumsalam." Jawab dari dalam.

Ternyata para penghuni rumah sedang berkumpul di ruang tamu. Ada Bara, Farida dan juga Bi Ira. Sementara Arini sedang berkutat di dapur.

Langkah kaki Ali berjalan ke ruang tamu menghampiri sepasang suami istri itu.

"Si Rafka mana?" Tanya Bara begitu Ali mencium tangannya dengan takzim.

"Masih di kantor. Ada beberapa hal yang harus diurus." Jawab Ali sembari berganti mencium tangan Farida. Wanita paruh baya itu sedang duduk di sofa dengan meluruskan kakinya yang sedang dipijat oleh Bi Ira.

Kemudian Ali mendekati Bi Ira lalu mencium tangan wanita itu yang usianya 5 tahun lebih tua dari Arini.

Jika ada yang bertanya kenapa Ali juga mencium tangan Bi Ira, karena wanita itu juga berperan dalam hidupnya. Keluarga Bi Ira memang sudah bekerja dengan kakek neneknya sejak lama. Ibunya Bi Ira dulu juga bekerja sebagai ART di rumah ini. Dan sekarang Bi Ira mengantikan posisi ibunya.

Langkahnya kembali berjalan ke arah dapur lalu mencium tangan mamanya. Setelah itu dia duduk di salah satu kursi. Menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil mengotak atik ponsel yang dia ambil dari saku.

"Oh ya, Al. Mama nanti habis isya' mau ke rumah Bude Ambar. Anterin ya?" Ucap Arini seraya membawa minuman ke ruang tamu. Tepatnya untuk Kakek, nenek dan juga dirinya. Sedangkan Bi Ira menolak untuk dibuatkan.

"Ngapain?" Tanya Ali membeo serta menoleh ke mamanya.

"Ya nggak pa pa. Mama pengen aja ke sana. Mama juga udah kabarin Tante Adibah kok." Arini duduk di sofa seberang Farida.

"Bentar, mama dapet kontak Tante Adibah dari mana?" Keningnya berkerut. Pasalnya saat mereka bertemu, belum ada yang saling bertukar kontak.

"Dari Bi Ira."

Ali dibuat bingung dengan jawaban mamanya. "Kok bisa?"

"Ya bisa. Kalau emang udah takdir, bisa."

"Ma, aku serius." Pria geregetan dengan jawaban sang mama.

"Mama juga serius sayang. Kalau diceritain butuh waktu panjang. Lain kali aja." Ucapnya sembari meraih greentea hangat buatannya tadi lalu menyesapnya sedikit demi sedikit. "Mendingan kamu ke kamar sana. Mandi, ganti baju terus makan."

"Yaudah, entar dianterin Mas Bambang aja ya? Ali lagi pusing. Butuh istirahat." Ucapnya seraya beranjak dari tempatnya.

"Nanti minum obat. Jadi pusingnya hilang. Mama maunya dianterin kamu." Kukuh Arini membuat pria itu menghela nafas berat.

Baru saja menghela nafas masalah datang lagi dengan kehadiran seseorang. "Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam." Jawab mereka bebarengan.

Tampaklah seorang pria berhoddie putih serta celana jeans juga slip on putih. Tak lupa jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan kirinya. Juga tatanan rambut yang mendukung penampilannya. Membuatnya menjadi pria yang digandrungi para wanita. Dan kenyataannya memang seperti itu.

"Hai semua! Apa kabar?" Pria itu sudah di anak tangga teratas menyapa semua yang ada di sana. Tentunya dengan wajahnya yang sumringah.

"Perasaan gue nggak enak nih." Gumam Ali sembari mengamati pria itu dari atas sampai bawah.

"Wah, udah sampe Ree?" Tanya Arini menoleh ke pria itu yang tak lain adalah Reza.

"Nggak bener ini." Gumam Ali lagi dengan geleng geleng kepala. Dia sudah menduga ada yang tidak beres dengan kedatangan sahabatnya. Pasalnya Reza hampir tidak pernah ke rumahnya di sore hari. Paling sering di malam hari atau hari minggu full.

Lebih lebih lagi pernyataan mamanya barusan. Seakan mamanya sudah menunggu kedatangan Reza. Pasti ada hubungannya dengan keinginan mamanya ke rumah Tante Adibah. Apalagi jika bukan ajakan mamanya pada Reza untuk ikut.

Kendati begitu, Ali tetap menerima. Dia hanya bisa pasrah sekaligus berdoa agar semua dapat terkendali dengan semestinya.

Maaf ya, kalau ceritanya membosankan. Terima kasih telah membaca!

Cochacreators' thoughts