webnovel

PART 1

TENANGLAH DI SYURGA NAK! 

Aku mematut diriku di kaca, sambil mengoleskan lipstik merah menyala di bibir seksiku. 'Sempurna'. Bathinku. Aku juga mengenakan atasan blus putih yang di padukan blazer hitam dan rok selutut yang berwarna senada. Sepatu hak tinggi juga melengkapi penampilanku hari ini. Ya, beberapa hari lalu aku di angkat menjadi manajer setelah aku berkarir selama hampir enam tahun di perusahaan tempatku bekerja. 

"Ratu, sudah Mas bilang lebih baik kamu berhenti saja bekerja. Gaji Mas sudah lebih dari cukup untuk menafkahi kamu dan Alika. Tugas kamu hanya perlu bersantai saja di rumah dan merawat Alika," Mas Farhan menasihatiku panjang lebar. Sudah berkali-kali dia menasihatimu tapi hanya kuanggap angin lalu saja. 

"Ck, tapi kan aku juga ingin berkarir Mas! Sayang kalau aku berhenti kerja. Orangtuaku capek-capek membiayai kuliah. Masa ijazahnya harus di simpan di lemari sampe berdebu!" balasku tak mau kalah. 

"Hmm kamu ini dari dulu susah deh di bilangin," jawab Mas Farhan lagi. 

"Ya ampun Mas, nggak usah kolot deh! Zaman semakin maju. Wanita juga harus mandiri dan memiliki hak yang sama untuk bekerja. Apa jangan-jangan kamu takut tersaingi karena aku juga bekerja," sahutku sambil mencebik kesal. 

"Ratu, dengerin ya! Kamu boleh bekerja kalau gajiku nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga! Kamu tahu sendiri kan, aku sudah bertanggung jawab memberikan segala kebutuhanmu, kebutuhan rumah tangga, dan juga gaji untuk asisten rumah tangga serta pengasuh Alika. Kamu nggak mau kehilangan momen tumbuh kembang Alika?"

Suamiku sudah berkali-kali menyuruhku untuk diam di rumah dan menjadi ibu rumah tangga saja. Tetapi aku selalu bersikap acuh tak acuh. Bagiku sekarang karir lebih penting. Toh aku juga sudah mempunyai seorang asisten rumah tangga, Mbok Nem dan Bi Surti, yang mengasuh Alika saat aku bekerja. Suamiku seorang direktur perusahaan ternama yang gajinya sudah mencapai puluhan juta. Mungkin dia takut aku tersaingi karena aku bekerja. Sayang kan kuliah S2 sampai di luar negeri tapi ijazahnya nggak di pakai! Aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya yang selalu menyuruhku resign. Gengsi dong! Aku juga malu dengan keluargaku dan teman-temanku karena mereka sama-sama wanita karir. Ketika berkumpul, aku dengan bangga menceritakan posisi dan jabatanku sekarang. Mereka berdecak kagum padaku. 

"Halah pagi-pagi Mas udah ceramah aja! Basi tahu! Tiap hari aku di nasihati agar berhenti bekerja! Udahlah Mas. Urusi saja pekerjaan kita masing-masing! Aku bosan kita selalu bertengkar terus."

Kulihat Mas Farhan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengelus dadanya. Rasakan kamu Mas! Aku bukan istri-istri yang ada di sinetron ikan terbang yang harus selalu mengalah dan tunduk pada suami. Sedikit-sedikit menangis. Huh aku bukan wanita yang seperti itu! Aku wanita yang keras dan bertahan pada pendirianku! 

Aku menghampiri Alika yang sudah di mandikan dan sekarang sedang di suapi Bi Surti. Kuperhatikan tubuh gadis kecilku yang sudah berusia setahun tiga bulan. Makin hari tambah kurus dan kulitnya menghitam. Padahal dulu saat dia lahir kulitnya bersih karena aku dan Mas Farhan juga memiliki kulit putih. 

"Yang lahap ya makannya sayang," ucapku sambil menciumi Alika dan mengelus kepalanya dengan lembut. Kok badannya hangat, sepertinya Alika demam. 

"Kok badannya Alika hangat Bi, kayaknya dia demam?" tanyaku pada Bi Surti. 

"Eh, i, iya Bu. Mungkin kecapekan main dengan anak-anak tetangga di sekitar sini," balas Bi Surti agak gugup. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan. Tapi aku tak menghiraukannya. 

"Ya sudah, nanti bawa Alika ke dokter ya Bi dan jangan lupa belikan susu formula buat Alika. Kan udah mau habis," sambungku. Kemudian mengeluarkan sepuluh lembar uang berwarna merah dan menyerahkannya pada Bi Surti. 

"Baik Bu," balas Bi Surti. Dia langsung melipat uang yang kuberikan dan memasukkannya ke dalam kantong dasternya. 

Aku bergegas mengambil tas kerjaku dan beberapa map dokumen penting. Hari ini aku di minta untuk memimpin rapat oleh atasanku. Kulirik jam tanganku, masih jam enam pagi. Aku harus segera tiba di kantor tepat waktu. Sementara Mas Farhan belum berangkat. Biasanya dia agak siangan berangkat. Tentu saja kami mengendarai mobil masing-masing karena kantor kami berbeda dan jarak kantor kami juga berjauhan. 

* * *

Syukurlah, rapat yang kupimpin hari ini berjalan dengan lancar. Kami memenangkan tender hari ini. Pak Robi, atasanku bangga padaku dan memberikanku selamat. 

"Saya ucapkan selamat kepada Bu Ratu. Berkat kerja keras dan prestasi Bu Ratu, kita selalu memenangkan tender dan kerja sama bisnis. Sungguh ini di luar dugaan saya. Saya tidak salah pilih mengangkat Bu Ratu menjadi manajer," ucap Pak Robi dengan bangga.

Aku tersenyum puas dengan pujian yang di layangkan Pak Robi kepadaku. Tentu saja hal ini semakin membuatku besar kepala. 

"Terima kasih Pak Robi. Saya justru senang Bapak sudah mempercayakan saya menjadi manajer Bapak," jawabku sumringah. 

"Baiklah. Sebagai rasa terima kasih saya. Saya akan memberikan bonus kepada Bu Ratu."

"Ah Pak Robi, nggak usah repot-repot sampai begitu. Ini memang sudah tugas saya," balasku malu-malu. Ah ini hanya basa-basiku saja, siapa coba yang tidak mau di berikan bonus. Aku kan bisa membeli baju-baju mahal, tas branded, sepatu cantik, makanan enak, serta nongkrong manja bareng teman-teman sosialitaku. 

Pak Robi hanya tersenyum. Aku permisi kembali ke ruanganku untuk melakukan tugas yang lain. Aku sangat bersemangat bekerja. Apa saja hal yang ku tangani dalam pekerjaan, selalu sukses dan berjalan dengan lancar. 

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Jam kerja kantor hanya sampai jam empat saja. Mungkin karena aku terlalu mencintai pekerjaanku, sehingga aku terkadang selalu lupa waktu dalam bekerja. Aku segera merapikan berkas-berkasku dan mematikan laptopku. Aku mengecek aplikasi mobile banking di ponselku. Aku tersenyum sendiri karena Pak Robi sudah menepati janjinya mentransfer sejumlah uang bonus padaku. Aku tersenyum, setelah ini aku jalan-jalan dulu ah di Mall. Beberapa hari lalu, aku melihat di instagram ada baju yang kuincar. 

* * * 

Aku menyetir mobil dengan hati riang. Oh betapa indahnya hidupku! Pundi-pundi uang mengalir dengan lancar di rekeningku. Aku berhenti, karena lampu lalu lintas berwarna merah. Ada seorang wanita pengamen yang mengetuk-ngetuk jendela mobilku karena ingin meminta uang padaku. Dia menggendong seorang anak balita perempuan dengan selendang jarik. Aku membuka kaca mobil  dan memberikan uang dua ribu rupiah. Aku melirik kepada balita yang kepalanya ditutupi kain jarik oleh wanita itu, kok mirip Alika. Masa itu Alika sih, ah nggak mungkin Alika di bawa pengamen jalanan itu. Mungkin kebetulan hanya mirip saja! gumamku dalam hati. 

Lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Jadi aku tidak terlalu mengamati lagi balita yang di bawa pengamen itu. Aku segera menuju butik langgananku yang berada di dalam Mall terkenal di kotaku. Wah aku bingung memilih yang mana yang mau aku beli karena bajunya bagus-bagus semua! Akhirnya aku memilih beberapa pakaian dan juga sepatu. Ketika akan membayar ke kasir aku menyadari bahwa sedari tadi ponselku berdering terus. Aku lihat layar ponselku. Ada dua belas panggilan tak terjawab dari Mas Farhan dan juga beberapa pesan yang sudah menumpuk. Aku angkat atau tidak ya? Ah nanggung. Kan udah mau bayar dan pulang juga! Lagipula Mas Farhan kok nggak ngerti sih. Istrinya sedang asyik-asyik memanjakan diri malah di ganggu! Kupilih untuk mengabaikan panggilan telepon dari Mas Farhan, aku bergegas membayar ke kasir dan tak lupa membeli makanan di restoran yang juga berada di dalam Mall untuk oleh-oleh orang-orang di rumah. 

Aku mengendari mobilku dengan santai sambil memutar DVD. Aku bernyayi mengikuti alunan musik yang kuputar. 

Aku memarkirkan mobilku di garasi dan langsung masuk rumah. Sambil menenteng belanjaanku yang lumayan banyak. 

"Mbok Nem, bantuin aku dong! Berat nih belanjaanku!" perintahku pada pembantu kesayanganku itu. 

"Iya Bu." Dengan tergopoh-gopoh Mbok Nem menghampiriku dan membantu membawakan barang belanjaanku. 

"Mana Bapak dan Alika Mbok?" tanyaku karena kulihat rumah sepi. 

"A, anu Bu. Maaf. Pak Farhan membawa Non Alika ke rumah sakit. Non Alika panas sampai kejang-kejang Bu," jawab Mbok Nem tergagap. 

"Apa? Kukira tadi pagi hanya panas biasa aja!" sahutku marah. "Bukannya tadi Bi Surti sudah kusuruh membawa Alika ke dokter!"

"I, itu Mbok nggak tahu Bu." 

Aku menghela nafas panjang. Tak lama kemudian ponselku berbunyi lagi. Dari Mas Farhan! Dengan cepat kugeser tombol jawab di ponselku. 

[Halo Mas? Gimana keadaan Alika?] Tanyaku dengan cemas. 

[Dari tadi kamu kemana saja? Aku sudah berkali-kali menelepon kamu, tapi nggak ada kamu jawab! Jangan pernah mencari anakmu lagi!] bentak Mas Farhan. 

[Me, memangnya Alika kenapa Mas?]

[Anakmu meninggal! Ini semua salahmu!]

Mendadak kedua lututku lemas. Alika meninggal, nggak mungkin! Tadi pagi kan dia baik-baik saja? 

Next??