webnovel

1

Mataku berat seakan telah lama tak sadarkan diri. Silau sungguh silau. Ku lihat dinding warna putih memenuhi ruangan ini. Dua sosok jangkung melihatku dengan tatapan khawatir. Siapa mereka? Kenapa begitu asing bagiku mengingat segalanya. Pernahkah aku bertemu dengannya? Kepalaku sakit.

"Balqis, kamu... kamu sadar! Ibra panggil dokter" Lelaki jangkung itu panik lantas sosok yang di panggil Ibra menekan tombol darurat.

Tunggu! Balqis? Ibra? Siapa? Aku tak mengingatnya.

"Balqis, gimana perasaanmu? " Tanyanya memandangku. Balqis? Apa itu tertuju padaku? Tanyaku dalam hati.

"Namaku Syifa, er... tuan" Jawabku bingung.

"Balqis, ini ayah dan lelaki di samping kamu Ibrahim kakak kamu"

"A..yah? Syifa tidak punya ayah" Jawabku lagi.

"Siapa Syifa? Namamu Balqis sayang"

Kami bertiga terdiam. Aku tak kunjung mengerti apa maksud semua ini, kenapa? kenapa semua di luar nalarku. Sudah jelas namaku Syifa sedari dulu, dan mereka... Ayah? Kakak? Konyol sekali mereka. Aku yang diasuh sedari kecil di panti asuhan tiba-tiba memiliki keluarga dan mengganti namaku pula. Jangan konyol! Monologku dalam hati.

Tak lama dokter datang memeriksaku mengatakan bahwa aku lupa ingatan sementara. Tidak, aku tidak lupa ingatan. Jelas-jelas aku ingat bagaimana tragedi itu membawaku diujung tanduk. Dan apalagi ini.

"Tuhan, apa maksud semua ini, jangan lagi" Bisikku lirih.

Dua minggu telah berlalu dan aku masih mencerna segalanya yang tak masuk akal ini. Tapi aku sadar kala melihat sosokmu pada cermin, sosok yang berbeda pada tubuh Syifa. Apa ini sebabnya aku di panggil dengan nama Balqis, apakah jiwaku berpindah pada tubuh ini. Transmigrasi? Lantas ini apa? Bumi? Sepertinya aku kehabisan kata-kata untuk memikirkan segalanya. Yang jelas aku saat ini adalah Balqis, seorang anak dengan kakak laki-laki dan ayah yang menyayanginya. Ibu? Aku belum menanyakan soal itu.

Hari ini aku sudah membaik. Keluargaku menjemputku untuk pulang. Aku tak sabar melihat rumah baruku seperti apa. Dulu aku adalah anak tanpa rumah yang di biayai pemerintah dan menunggu donasi orang-orang baik, sampai lulus SMA hingga aku bisa mencari uang sendiri, tak mau membebani lebih banyak lagi pada ibu panti aku mulai mencari kontrakan untuk hidup. Sedih? Sepertinya itu hal yang biasa untuk anak-anak seperti kami.

Aku keluar dari gerobak mahal ini. Langkahku terhenti menatap rumah di depannya.

"Waw... Istana" Kagumku berbinar.

"Pfttt... Istana! Jangan ngada-ngada Gis" Ibrahim menyela dari belakang.

"Memang kayak istana kok, ini beneran rumah kita? " Tanyaku katro.

"Rumah hantu, yaiyalah rumah kita, semenjak hilang ingatan kamu jadi aneh tau Gis" Ibrahim mengendikan bahu.

"Yeee abang, Agis mana tau kalo bakal hilang ingatan" Ucapku sambil memasuki rumah istana ini.

" Oh iya bang, Agis kenapa bisa dirumah sakit? " Tanyaku yang belum tau kronologi nya.

"Ekhem...kamu kecelakaan Gis, makanya kalo nyebrang liat-liat, jangan langsung nyelonong" Jawab Ibrahim ragu.

"Oooo... Eh bang, kamar Agis yang mana? " Tanyaku penasaran lantas Ibrahim menunjukkan pintu di lantai dua.

Aku membukanya terkejut. Berpikir bahwa kamarnya bahkan lebih besar dari kontrakannya dulu. Haruskah aku bersyukur atau berpikir negatif entah hal apa yang akan terjadi kebenarannya.

"Istirahat yang bener, besok kamu udah mulai sekolah lagi" Ibrahim mengagetkanku.

"I.. Iya bang, makasih bang" Aku menutup pintunya.

Aku mengamati ruangan ini dengan penuh kagum. Nuansa abu-abu pada dinding dan langit-langit yang dihiasi miniatur bintang-bintang membuatku enggan menutup mata. Ini impianku sedari dulu. Apakah sosok Balqis sepertiku, sang astrophile, beruntung sekali hidupnya. Kesukaanku pada langit terhalang waktu kala itu. Bekerja dan bekerja, tak memiliki waktu untuk mengeksplorasi indahnya ciptaan Tuhan. Tapi kini, seakan aku memiliki dunia tersendiri. Mataku terpaku pada ujung balkon. Teleskop berukuran sedang yang terlihat mengkilap di sinari cahaya bulan.

"Indah sekali, pasti mahal" Dadaku berdebar kencang ketika tanganku dalam sejengkal bisa menyentuhnya. Takut jika benda tersebut rusak.

Dengan perlahan aku menyentuh, mulai mengamati benda benda di langit itu.

"Kenapa? Kenapa bulan disini terlihat lebih besar, dan bintangnya terlihat lebih berkilau? " Tanyaku pada diri sendiri.

"Sebenarnya dimana aku? Aku bahkan sangat asing dengan jalan pulangku tadi, ini seperti bumi lain" Helaku terdengar pasrah meninggalkan teleskop itu.

Jam menunjuk larut malam, dan aku masih memikirkan hal di luar nalar ini. Jika ini bukan mimpi, aku harap kehidupan yang baik ke depannya. Dan aku berharap tak ada lagi Syifa yang lemah. Benar! Sekarang namaku Balqis si lupa ingatan. Disini! Aku akan memulai hidup baruku. Tunggu sampai aku menemukan jalan hidupku sendiri.

***

Di waktu yang sama pada tempat yang berbeda. Terdapat lima sosok remaja yang tengah berkumpul ria.

"Gue dengar anak itu sudah siuman. Gimana Lid?"

"Jangan mengingatkan lagi Dam, gue udah janji sama diri sendiri buat gak dekat dengan dia lagi"

"Jangan nyiksa diri Lid, lo bodoh apa gimana? Jelas-jelas lo gak bisa gak peduli kalo sama dia" Sahut anak di pojok sofa sambil ngemil makanannya.

"Diem! " Ucap Khalid Frustasi.