"Masalah?" beoku.
Tujuan utama yang kutahu, Mentari membawaku ke sini untuk mencari 'hal baru' entah apa itu.
"Aku mendengar kisah dari mereka." Samira mengubah posisi hingga menghadap ke arahku. "Para dewa akan turun jika terjadi hal buruk di muka bumi. Terlebih karena fakta bahwa kalian sama sekali tidak menyembunyikan identitas menjadi tanda nyata bagi kami."
"Aku tidak tahu itu." Sekarang aku merasa bodoh di depannya. "Mentari hanya bilang kalau ini hanya akan menjadi wisata bagiku."
"Yah, mungkin wisata dalam kamusnya memiliki makna berbeda." Ucapan Samira itu langsung membuat pikiranku bertambah.
Memang benar Mentari sering bertualang di bumi, tapi dia hanya menceritakan seakan itu hanya kunjungannya ke rumah teman-teman sesama dewa. Tidak ada yang aneh, bahkan mendengar bahwa dia datang saat ada masalah pun rasanya janggal.
Apa yang Mentari tutupi selama ini?Atau itu dewa lain yang Samira maksud?
Memikirkan ini membuatku cemas. Aku peluk Bintang dengan harapan ia dapat memberi jawaban. Tapi, tidak ada suara.
Mata Samira tertuju pada Bintang."Itu bonekamu?"
"Bintang bukan boneka," jawabku.
"Lantas apa?"
Aku tatap Bintang. Memang benar jika dipeluk terasa lembut. Aku tahu apa itu boneka karena Mentari pernah memberiku beberapa buah sebagai teman tidurku selagi dia pergi. Sampai sekarang masih tergeletak di kamar dan kadang kupeluk sementara Bintang melindungi punggungku. Tapi, aku tidak yakin Bintang termasuk boneka.
"Aku tidak tahu, mungkin ... Mainan? Teman?" Aku kembali memutar pelan Bintang. Menatapi setiap garis berwarna sebagai hiasan Bintang, membuatnya tampak lucu.
Bintang memang temanku, satu-satunya yang paling lama bermain malah. Sementara Mentari lebih dianggap sebagai sosok yang memberi ilmu dan hanya berkunjung sekadar memberi kabar dan hal baru yang mungkin bagus untuk dipelajari. Keduanya memiliki peran berbeda. Membuatku kadang berpikir bisa jadi Bintang hanya berfungsi untuk menemaniku selagi Mentari pergi.
"Begitu." Samira mengangguk pelan. "Dari Mentari?"
"Ya, dia memberiku ini waktu aku masih bayi."
"Apakah dewa tumbuh berkembang seperti kami?" tanya Samira. "Maksudku, dari bayi, lalu perlahan menjadi dewasa."
Aku memang titisan dewa karena memang Mentari mengakui itu. Meski demikian, aku pernah dikomentari oleh titisan dewa lain, Zilla dan Deimos, perihal perkembanganku.
Saat itu, aku masih berusia tujuh tahun dan Mentari membawaku di tangannya menuju istana tempat Kematian berada. Kematian adalah teman baik Mentari, begitu kata dia.
Setibanya kami di sana, Mentari menurunkanku dan aku menatap sekeliling. Dia memang dalam wujud asli waktu itu, untungnya istana ini masih cukup tinggi sehingga dia tidak akan kesulitan saat masuk. Tanda bahwa Kematian pasti memperhitungkan ukuran tempat ini demi teman sesama dewa.
"Raana pintar-pintar, ya," pesan Mentari. "Aku akan membicarakan sesuatu pada Kematian. Nanti kedua pewarisnya akan menemani."
Seusai membelai rambutku, Mentari berjalan menjauh. Di saat yang sama, aku melihat dua sosok lelaki dan perempuan yang sedikit lebih tinggi dariku. Keduanya mendekat sambil tersenyum, namun aku tahu senyuman itu tidak mencerminkan sifat ramah kepadaku.
"Titisan Mentari pendek juga," ejek Zilla. Dia memiliki rambut hitam serta mata kelabu. Seperti diriku, dia mungkin akan mewarisi sang Kematian, bersama saudaranya.
Padahal aku hanya rendah beberapa senti dari dia, tapi tetap saja diejek oleh gadis ini. Sampai sekarang, aku justru lebih tinggi dari mereka berdua. Mereka masih terlihat seperti dulu. Tanda mereka tidak tumbuh tinggi sepertiku. Menyedihkan sekali, ingin juga aku balas ucapan mereka di usia sekarang, tapi belum sempat.
"Iya, yah." Deimos mendekat. Dia juga menyerupai saudarinya namun sedikit lebih tinggi. "Kita dulu langsung tercipta dan bahkan lebih tinggi."
"Kayaknya Mentari menciptakan dia terlalu menyerupai manusia," ujar Zilla. "Sudahlah, nanti tinggi sendiri."
Mendengar ucapan Zilla, saat itulah aku menyadari bahwa para dewa dan titisannya tidak mengalami apa yang aku lalui. Mereka memulai hidup seperti wujudku saat ini tanpa perlu menjadi bayi terlebih dahulu.
"Mereka memang langsung menjadi dewa, tapi tidak ada yang pernah menceritakan masa lalu mereka," jawabku sambil menginggat Mentari.
"Mereka bukan dewa dari lahir?" tanya Samira.
"Hanya titisannya, tapi mereka tidak dari bayi, kecuali ... Aku." Aku sedikit ragu menyampaikan.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Samira.
"Aku tidak tahu." Aku menjawab jujur.
"Berarti para dewa sebenarnya ... Langsung muncul begitu saja?" Samira bertanya kembali. "Seperti misalkan, ada sebuah tempat suci, lalu muncul langsung penjaganya. Begitukah?"
"Kira-kira begitu." Kali ini aku jawab dengan asal.
"Menarik," komentar Samira. "Berarti Mentari langsung muncul ketika matahari diciptakan?"
Aku menatapnya, bingung.
"Dia Dewa Matahari, bukan?" Samira memastikan.
"Penjaganya," koreksiku.
"Ah, ya. Begitu maksudnya." Samira menarik napas, tampak berusaha merangkai pertanyaan tadi. "Berarti Mentari langsung ada ketika matahari diciptakan?"
"Aku belum menanyakannya," jawabku jujur.
"Sebaiknya kamu hafalkan semua pertanyaan itu," saran Samira. "Supaya ada wawancara ekslusif dengan ayahmu."
Aku masih ragu untuk menyebut Mentari sebagai ayahku. Jika memang benar, harusnya sudah kupanggil demikian sejak awal, tapi sekarang aku telanjur menyebutnya dengan nama. Sudahlah, mungkin ini yang dia inginkan.
Hujan perlahan reda. Samira menatap ke jendela dan tersenyum. "Sudah teduh. Aku sebaiknya pulang."
"Di mana kamu tinggal?" tanyaku.
Samira yang tadinya berdiri hendak menjauh pun berhenti untuk menjawab. "Aku tinggal di hutan dekat sini. Di sini hanya ada satu jalan menuju hutan, jadi kamu tidak akan kesulitan mencari."
"Ah, baik." Aku mencoba menginggat itu.
"Selamat jalan!" Samira mengangkat tangan dan menggoyangkannya. Aku kini tahu isyarat itu sebagai melambai.
Aku melakukan hal yang sama. "Selamat jalan!"
Samira pun keluar dari tempat ini dan meninggalkan senyuman kepadaku.
Aku mengenggam erat Bintang. Aku merasakan kejanggalan dalam hati ketika msnginggat Samira dan Bintang.
Samira memberiku sesuatu yang tidak pernah Bintang berikan dalam waktu singkat. Sebuah perasaan aneh yang membuatku kian penasaran akan kehidupan di bumi sesungguhnya. Mungkin ini yang Mentari maksud. Apa yang terlihat menakutkan tidak selamanya buruk. Malam ini juga aku menemukannya.
Belum pernah aku bicara banyak dengan seseorang lalu sedikit bersedih akan kepergiannya. Bintang sering aku ajak bicara, tapi tidak pernah merespons apalagi memberi pertanyaan layaknya Samira. Sementara Mentari adalah kebalikan dari gadis itu, dia yang memberitahu tanpa ditanya tapi ucapannya juga selalu aku dengarkan dengan baik.
Saat itulah sebuah tangan mengenggam bahuku. "Raana, ayo pulang."
Aku menoleh, sebenarnya tanpa ini pun aku sudah tahu siapa itu. "Baik."
Dia tersenyum. "Bagaimana? Seru, 'kan?"
Aku kemudian duduk menghadap dia, meski posisi masih dekat sekali dengan jendela. "Samira memberiku apa yang tidak Bintang berikan."
"Wah, apa itu?" Mentari tetap bertingkah seakan penasaran, meski aku tahu betul jika dia dapat menebak dengan akurat. Barangkali untuk mengajariku cara bicara.
"Samira sering menanggapi ucapanku, meski kadang tidak selamanya terdengar sesuai kehendakku," ujarku jujur. "Beda dengan Bintang yang selalu diam seakan mengiakan semuanya."
"Jadi, lebih seru berteman dengan Samira atau Bintang?" Mentari mengangkat kedua tangan seakan memperagakan bahwa satu tangan melambangkan kedua temanku.
Aku amati tangan Mentari, aku letakkan Bintang di pangkuan. Lalu kupegang kedua tangan Mentari. "Keduanya seru di saat yang berbeda."
"Begitu." Mentari diam sejenak, tampak berpikir.
Aku tunggu dia diam selagi mengamati Bintang sambil membayangkan Samira.
Mentari kemudian mengenggam kedua tanganku. "Itulah bedanya teman dengan mainan. Teman mungkin tidak akan setuju dengan segalanya, tapi mereka bisa memberimu pelajaran."
Aku mengangguk tanda mengerti.
"Tapi, tidak selamanya teman menjadi andalan," ujar Mentari secara tiba-tiba. "Kamu mungkin harus melakukan sesuatu seorang diri suatu saat nanti."
"Apa maksudmu?" Keningku berkerut, tidak mampiu mencerna maksudnya.
Mentari tertawa kecil. "Ah, aku terlalu cepat memberi petuah."
Aku diam saja.
"Tidak apa." Mentari membelai rambutku. "Suatu saat, kamu akan mengerti."
Aku lagi-lagi mengiakan, daripada berdebat.
Mentari menyuruhku turun dan mengikutinya keluar. Kali ini, tempat makan itu justru semakin ramai saat semakin larut. Kukira semua makhluk akan berhenti beraktivitas saat bulan semakin tinggi.
Kami berjalan di bawah naungan purnama. Sinarnya begitu terang hingga membuat Bintang malu hingga tidak bersinar lagi. Mentari tahu itu, tapi dia tidak menanggapi tanda jika kejadian barusan bukan suatu hal yang buruk.
Aku merasa bersalah telah membandingkan Bintang malam ini, tapi memang benar itu kenyataannya. Dia mungkin tidak bicara, tapi bisa jadi mengerti segalanya. Sudahlah, biarkan Bintang merenung.
Mentari berhenti pada sebuah dataran tinggi, dia menunjuk pada suatu desa yang berada di bawahnya. Pancaran cahaya dari obor-obor pun tampak dari kejauhan.
"Di sinilah kita menginap malam ini."