Selalu ada yang baru ketika Gus Furqan pulang. Perubahan lagu dzibak pada jadwal esok hari, misalnya. Pemuda beraut setenang air danau itu memimpin jalanya pembacaan. Penuh khidmat, pun tak pernah pecah fokus dari kitabnya. Beda lagi dengan para santri putri yang menyimak. Mereka gaduh sendiri dan bergosip kala gerombolan putra hanya mengikuti tiap prosesi.
"Dia berada di sini" guman Asmi diam-diam. Dia tenggelam diantara santri lain yang lebih tinggi. Hanya memandang sosok itu dari celah para santri dan berusaha tetap tenang meski sesak.
Rina yang peka dengan kondisi Asmi berbisik di telinganya, "Kamu tidak suka keramaian seperti ini, ya?" tanyanya cemas.
"Sedikit." Jawab Asmi jujur.
"Aku juga." Kata Rina. Lalu melirik ke santri-santri lain yang di cekikikan. Mereka gaduh sendiri. Padahal di tangan ada dzibak yang terbuka. "Kau tau tidak yang mereka bicarakan?"tanyanya. Dengan bisikan lebih pelan.
"Tentang Gus Furqan ,kan?" tebak Asmi.
"Yup! Tentang betepa menabjukannya Gus Furqan itu," kata Rina membenarkan. "Okelah, aku akui beliau memang menginpirasi. Cerdas, tampan, dan alim. Jadi siapa sih yang tidak suka? Tapi. Bisa tebak tidak? Setelah tau rahasia tentang beliau, aku tidak mau lgi gabung dengan mereka."
"Eh?" bingung Asmi. "Maksudmu?"
"Aku tidak mau berharap lebih, As" kata Rina. "Lagian, siapa sih kita? Kalau dibandingkan dngan Gus Furqan maksudku. Mau cinta mati bagaimana juga tidak pantas buat beliau. Iya kan?"
Asmi terdiam mendengar itu.
"Apalagi beliau sudah di jodohkan dengan seorang Neng loh. Dari Pekalongan." Kata Rina lagi.
DEG
Satu detakan jantung Asmi terasa absen.
"Eh? Benarkah?" kaget Asmi tanpa sadar jemarinya saling meremas satu sama lain di atas lantai.
Rina menepuk bahu Asmi, ia merasa sahabatnya polos sekali. "Iya, As," katanya mengenaskan "Aku malah tak menyangka kalau kau nelum tahu tentag ini."
Asmi pun menyunggingkan senyum, meski terpaksa.
"A-Ah.. begitu rupanya."
Sayangnya, kali ini Rina tidak peka dan malah melanjutkan ocehanya. "Aku maklum sih, kau ini kan cukup kutu buku?" Lanjut Rina sambil tertawa usil. " sudah sewajarnya,kan? Apalagi beliau sudah menyelesaikan studynya di pondok tahun ini. Jadi, itu artinya tahun depan sudah harus ke Kairo."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Mendengar itu, Asmi langsung susah payah meneguk ludahnya, "B-Benar begitu, ya?"
"Iya, lah! Itu kan sudah rencana sejak lama. Jadi kita doakan saja oke?Kalau Gus kita sukses dengan studi dan perjodohanya, itu berarti akan ada kemajuan juga kan di TPQ kita?" kata Rina penuh semangat.
"I-Iya," kata Asmi pelan, lalu diam. Dia memandang sosok itu sekali lagi . cukup sebentar. Namun sampai membuatnya tak ketika mahalul qiam nyaris selesai.
"Astaghfirullah." gumamnya khilaf.