webnovel

Seekor Kucing

Luo mengusap tengkuknya, merasa canggung dengan keadaan saat ini. Hal serupa pun disrasakan oleh Rei, Rei membuang pandangannya tanpa arah. Ntah berapa lama mereka akan seperti ini. Yang Rei tau, dia amat sangat malu sekarang. Rei juga tidak bisa menyalahkan Naraka sepenuhnya, karena Naraka bermaksud baik untuk membukakan pintu bagi mereka berdua. Sayangnya, Naraka tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Membuat Rei dan Luo menjadi salah tingkah dan terjebak dalam keadaan yang membagongkan.

"Gatha" panggil Luo yang berhasil menguasai dirinya setelah beberapa menit menjadi manusia bodoh.

"Hmm, kenapa?" tanya Rei yang kini mulai berusaha bersikap baik-baik saja. Meskipun sejujurnya, hati Rei jumpalitan tak karuan.

"Em, aku mau ganti baju dulu. Kita akan keluar bersama, aku tidak ingin kamu pergi dan jauh-jauh dari jangkauan ku" pinta Luo membuat Rei keki,

"Kamu kira aku hewan peliharaan kamu? Kenapa nggak sekalian kamu ikat tali saja di leher aku?" tanya Rei sedikit sewot,

"Ide bagus. Akan aku pikirkan nanti" jawab Luo usil, membuat Rei membelalakkan kedua matanya.

"Serius! Kamu bercanda kan?" tanya Rei panik. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi ke padanya. Dia hanya kesal sesaat tadi. Kenapa Luo menanggapi hal itu dengan serius?

Rei meraba leher Agatha dan membayangkan apa yang akan terjadi dengan leher cantik miliknya. Tidak mungkin Luo akan setega itu pada dirinya bukan?

Luo yang menyadari hal itu tersenyum dan mengecup pipi Agatha,"aku tidak akan segila itu. Bagaimana bisa aku melukai wanita yang aku cintai, Gatha? Aku hanya bercanda. Bagaimana bisa kamu percaya dengan apa yang aku katakan" jelas Luo membuat Rei tersenyum masam.

"Oh, aku kira kamu serius" ungkapnya dengan nada legah yang tidak bisa Rei sembunyikan dari raut wajahnya,

"Tentu tidak, tapi aku akan melakukannya jika kamu mengkhianati aku dan pergi bersama pria lain" kata Luo dengan tatapan mata yang tidak bisa Rei jabarkan dengan kata-kata. Rei hanya bisa diam, melihat Luo yang kini telah beralih ke arah lemari pakaiannya dan bersiap menggunakan pakaiannya di ruang khusus yang berlapis kaca. Rei memilih menyibukkan diri dengan membuka jendela kamar Luo dan berjalan kea rah balkon kamar Luo. Tampak pemandangan khas perkotaan yang tersaji di depannya.

Menjadi orang kaya sangat menyenangkan, mereka bebas memilih hunian yang mereka suka. Sekalipun hunian mewah, asalkan ada uang pasti beres. Sangat berbeda dengan kehidupan Rei yang serba pas-pasan. Tapi setidaknya, Rei bersyukur bisa memilih hidupnya dan memiliki kebebasan dalam hidup. Tidak seperti Agatha, yang sekalipun dia kaya, dia memiliki banyak misteri kehidupan dan hidup bahagia bersyarat.

"Kamu mulai sadar, jika hidup kamu lebih menyenangkan?"

Rei terkesiap. Mendengar sebuah suara yang bisa mendengar isi hatinya, bahkan saat ini di balkon hanya ada Rei seorang. Rei mencari sumber suara itu, tidak siapapun di balkon, hanya dirinya dan …. Seekor kucing. Kucing ! Benar. Kucing yang Rei rawat saat hewan itu terluka di panti. Tidak mungkin kucing itu yang berbicara dengannya, tidak! Ini hanya ilusi. Rei tidak sengaja mendengar suara angina, anggap saja begitu.

"Hei! Sejak kecelakaan itu terjadi, kamu mulai mengabaikan aku? Apa aku sudah terlupakan. Untung saja, sahabat mu memberikan aku makanan nikmat setiap hari"

"Ka-kamu berbicara? Benar kan?" tanya Rei panik, "atau aku yang mulai gila?" tanya Rei pada dirinya sendiri,

"Tentu saja. Memangnya aku berbicara dengan siapa? Seharusnya kamu menyadari betapa berharganya hidup kamu saat ini. Apa kamu ingin kembali ke dalam tubuh kamu sebelumnya? atau kamu lebih nyaman sebagai Agatha?"

"Ha! Kamu sedang mempermainkan aku? Apa yang kamu katakan? Jelaskan! Jangan buat aku seperti orang bodoh" kata Rei setengah berteriak,

"Hmm, dia sudah datang. Aku pergi dulu"

Rei menganga. Kucing itu pergi begitu saja, tidak menggubris pertanyaan Rei.

"Hei! Jangan pergi begitu saja!" teriak Rei membuat Luo lari ke arah balkon dan segera menghampiri Rei.

"Gatha! Apa yang terjadi?"

"Kucing. Kucing itu tau kalau-" Rei tercekat, dia tidak bisa mengatakan kebenaran yang terjadi pada hidupnya. Luo bisa saja menggap dia itu gila. Tidak semua orang bisa menerima kenyataan yang terjadi seperti pada dirinya. Tidak semudah itu.

"Gatha. Sejak kapan kamu tertarik dengan kucing, memangnya kucing itu kenapa? Kamu ingin memelihara seekor kucing?" tanya Luo yang melihat raut kebingungan dan putus asa di wajaH Agatha.

"Ha! Melihara kucing?" tanya Rei semakin kebingungan dengan apa yang terjadi.

"Iya. Aku rasa kamu sangat menginginkannya" jawab Luo yang semakin salah paham dan membuat Rei sakit kepala,

"Ah! Itu lupakan saja. Bagaimana kalau kita kembali ke dalam kamar kamu saja" usul Rei membuat Luo menganggukkan kepalanya.

"Baik"

**

Naraka tampak menundukkan kepala-nya. Luo menatap tajam ke arahnya, tampak Agatha juga menatapnya dengan sinis. Membuat Naraka tampak tak enak hati dengan apa yang dia lakukan beberapa menit yang lalu,

"Haish! Seharusnya kalian mengucapkan terima kasih. Bukan melihat aku seperti itu! Aku kan tidak sengaja melakukan hal itu. Jadi, kalian memaklumi apa yang aku lakukan. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengacaukan apa yang akan kalian lakukan. Sungguh!" jelas Naraka, membuat Luo tersenyum,

"Thanks"

"Eh! Serius. Kamu bilang terima kasih?"

"Mau aku tarik lagi?"

"Jangan. Ini pertama kali dalam sejarah persahabatan kita, kamu mengatakan hal itu secara langsung. Seharusnya aku rekam" jawab Naraka membuat kehebohan.

"Sepertinya aku menyesalinya"

Rei hanya bisa tersenyum dan menatap interaksi dua sahabat itu dalam diam. Sejujurnya pikiran Rei masih tertuju pada seekor kucing yang menggangu pikirannya, bagiamana bisa seekor kucing bisa berbicara dengan bahasa manusia? Konyol.

**

Sementara itu, Aheng mengerjakan beberapa proyek yang terabaikan oleh Luo. Ketidakhadiran Luo di kantor selama tiga hari membuat beberapa pekerjaannya menumpuk. Aheng menghela nafas lelah, dia butuh udara segar. Aheng mengambil kunci mobilnya dan menuju ke taman kota. Aheng butuh satu cup ice cream favorite-nya.

"Ini baru nikmat" kata Aheng yang menikmati ice cream rasa matcha, ice cream favorite-nya.

Saat Aheng melihat Tere yang sibuk membawa beberapa paper bag berukuran besar dan tampak kesulitan dengan barang-barang bawaannya. Ingin sekali Aheng abaikan. Tapi, rasa penasaran yang Aheng miliki lebih kuat. Sehingga Aheng segera menghabiskan ice cream-nya dan menghampiri Tere. Wanita yang pernah dia temui di panti.

"Hai, sepertinya kamu kesulitan. Mau aku bantu?" tanya Aheng seramah mungkin,

"Tidak perlu, terima kasih" jawab Tere, menolak bantuan yang Aheng tawarkan untuknya, membuat Aheng sedikit terluka.

"Sok jual mahal!"

"Aku mendengarnya"

"Eh! Kamu dengar. Sorry. Aku hanya mencoba membantu, tapi kalau kamu keberatan ya sudah. Bye !" kata Aheng sembari meninggalkan Tere yang menatap tajam ke arahnya.