Naraka melakukan tugas hariannya di panti. Hari ini, dia sengaja datang lebih pagi untuk dapat bertemu dengan Putri, gadis cantik yang mengusik hati Naraka. Naraka tidak peduli dengan keadaan mata Putri yang tidak bisa melihat. Jika mata Putri belum bisa terbuka, maka Naraka akan menjadi mata bagi Putri.
Sayangnya, Naraka tidak dapat menemukan keberadaan Putri di panti. Naraka mencoba menhampiri seorang gadis kecil yang tampak sedang bermain di sebuah taman. Seingatnya, gadis kecil itu pernah bersama dengan Putri.
"Hai!" sapa Naraka membuat Aleena menghentikan permainannya dan menghadap ke padanya.
"Hai! Kakak tampan teman baru Kak Lisya? Ada apa? Kenapa pagi sekali ke panti. Cari Kak Lisya ya?" tanya Aleena membuat Naraka tak enak hati untuk menjawabnya. Bukan tak enak hati, lebih tepatnya malu. Karena gadis sekecil itu saja bisa membaca isi hatinya. Sekentara itukah Naraka memperlihatkan rasa yang dia miliki untuk Putri?
"Kok ngelamun! Gak jawab lagi. Apa Leena salah berbicara?" tanya Aleena lagi, membuat Naraka sadar dari lamunannya.
"Eh, maaf. Iya kenalkan. Nama aku Naraka" kata Naraka sembari mengulurkan tangannya. Aleena membalas uluran tangan Naraka.
"Hai Kak Naraka, kenalkan aku Aleena." Sahut Aleena dengan senyum yang memamerkan rentetan gigi putihnya.
"Kamu kecil-kecil cabe rawit ya? Udah bisa nebak isi hati orang" puji Naraka.
"Kakak mudah ditebak aja. Bukan Cuma kakak saja yang mencoba dekati Kak Lisya ada banyak. Tapi karena Kak Putri buta dan tidak ingin di operasi matanya. Mereka semua memilih pergi. Karena kata mereka semua, percuma cantik kalau buta" curhat Aleena membuat Naraka mengerjapkan kedua matanya,"maaf Aleena terlalu banyak bicara. Kak Naraka bisa datang ke sekolah Kasih Bunda. Jaraknya gak jajuh dari sini. Cuma jarak tiga sampai empat gedung. Kak Lisya sedang mengajar music di sana" jelas Leena lagi, membaut Naraka mengangguk paham dan mengelus suaraii cantik gadis kecil itu,
"Terima kasih ya Aleena. Kak Naraka janji, Kak Naraka akan membuat Kak Lisya menajdi seorang putri seperti di negeri dongeng. Doa kan kami bahagia ya cantik" kata Naraka meyakinkan gadis kecil yang massih setia tersenyum manis ke arahnya. Aleena menganggukkan kepalanya patuh.
Naraka segera menlangkah ke arah tempat yang Aleena maksud. Tidak butuh waktu lama bagi Naraka untuk sampai di sana. Sekolahnya cukup sunyi. Mungkin karena sekolah ini hanya untuk anak-anak berkebutuhan khusus, sehingga suasananya berbeda dari sekolah-sekolah pada umumnya. Sebuah dentingan suara tuts piano membuat Naraka terusik dan tergerak untuk mencari sumber suara music itu,
Seperti dugaannya dia melihat, seorang malaikat tanpa sayap. Yang akhir-akhir ini merusak tidur indahnya. Siapa lagi kalau bukan sosok Lisya alias Putri. Denagn sabar, Naraka menunggu kelas music yang Lisya isi selesai. Bukannya Naraka menjadi sosok seorang penguntit. Dia hanya ingin mengenal Putri lebih jauh. Naraka telah jatuh cinta pada pandangan pertama ke pada gadis berjilbab jingga yang dia temui saat pertama kali berkunjung ke panti.
"Hai Putri!" sapa Naraka,
Lisya yang bisa merasakan kehadiran Naraka dari aroma tubuhnya, segera tersenyum menghadap kea rah Naraka. Terkadang Naraka takjub dengan kemmapuan Lisya yang tampak seperti orang normal pada umumnya.
"Kamu tau dari mana aku di sini?" tanya Lisya dengan senyum khasnya,
"Oh itu, Aleena yang menunjukkan tempat ini ke padaku. Katanya kalau pagi, kamu pergi mengajar di sini" jawab Naraka jujur. Membuat Lisya tersenyum dan segera berjalan ke arah sebuah taman. Lisya yang sudah hafal tempat ini dapat dengan mudah membawa Naraka ke tempat yang jauh dari jangkauan murid-muridnya. Karena sebentar lagi, saatnya murid-murid istirahat.
"Kita di sini ya?" tanya Lisya yang mencoba meraba kursi taman. Naraka membantu LIsya untuk duduk.
"Terima kasih" sahut Lisya,
Naraka tersenyum, "kamu sudah selesai ngajar?" tanya Naraka,"aku nggak ganggu kamu kan?"tanya Naraka lagi.
"Sudah. Kebetulan hari ini aku dapat satu jam pelajaran musik di kelas tiga. Kamu ada perlu apa mencari ku. Ada yang bisa aku bantu?"
"Em-, ini aku ingin kamu membantu aku untuk mencari beberapa lagu untuk merangsang perkembangan otak Rei. Menurut dokter yang kenal, musik bisa membuat otak kita merespon. Aku ingin sahabat mu lekas bangun dan sahabat ku juga tidak terus terbenam dalam perasaan bersalah dengan apa yang terjadi ke pada Rei" jelas Naraka.
"Boleh. Kamu bisa dengarkan play list milik ku. Kamu bisa bantu aku, tolong ambilkan ponsel aku di dalam tas jinjing yang aku bawa" kata Lisya ke pada Naraka. Naraka dengan senang hati membantu Lisy, dia segera mengambil benda pipih yang Lisya maksud.
Musik menjadi penghubung Naraka dan Lisya menjadi dekat. Setidaknya itu yang berada di dalam pikiran Naraka. Tidak halnya dengan Lisya yang berfikir jika ini hanya sebuah ketertarikan semata Naraka kepada dirinya, bisa dibilang hanya memuaskan rasa penasaran yang berada di dalam Naraka untuk Lisya atau Naraka hanya membutuhkan Lisya untuk akes mendekatkan Luo dan Rei.
*.*.*
Aheng segera bergegas ke ruangan Louis, ntah mengapa Louis tidak berada di dalam mood yang baik sejak tadi pagi. Bayangkan saja, Aheng diperlakukan sebagai Office Boy oleh sahabatnya sendiri. Sudah tiga kali Aheng membelikan kopi untuk Louis di tiga tempat kopi yang berbeda. Namun nihil, Louis belum puas dengan hasil kopi pilihannya.
"Lo sebenernya mau apa sih?" tanya Aheng kesal.
"Kopi" jawab Louis singkat, padat dan jelas. Membuat Aheng geram.
"Gue tau. Lo mau kopi. Tapi ini udah tiga café udah gue datengin. Gak ada yang cocok. Endingnya, lo minta gue minum kopinya. Lo kenapa sih? Rei memang masih belum sadar. Tapi kan gak harus lo yang minum kopi untuk buat dia membuka mata!" omel Aheng,
"Bukan masalah Rei" sahut Louis,
"Lalu?"
"Gatha"
"Kenapa dengan bocah itu" tunjuk Aheng pada sebuah foto yang terpampang di ponsel Luo. Tampaknya foto itu baru saja Luo ambil akhir-akhir ini. Luo yang merasa terusik. Membuat Luo menatap Aheng tajam.
"Bocah yang lo maksud itu, tunangan gue" jelas Luo.
Aheng melebarkan kedua lubang hidungnya secara bersamaan. Menahan rasa amarah yang membuncah di ubun-ubun kepalanya. Semenjak kecelakaan itu, Luo menjadi labil. Aheng sudah terbiasa menghadapi sikap absurd Luo. Bahkan Luo tidak segan melampiaskan amarahnya pada samsak-samsak yang berada di basecamp mereka. Sayangnya, menjadi target tingkah absurd Luo tidak ada dalam kamus Aheng.
"Terus kenapa kalo dia tunangan lo. Lo mau nikah sama dia, sesuai keinginan bokap lo? Iya gitu. Ape begimane? Yang jelas LUOISAAA" Omel Aheng. Tidak tahan dengan apa yang menimpanya di pagi hari. Seharusnya awal bulan adalah sesuatu yang indah bagi para pekerja kantoran. Tetapi Luo membuat Aheng beralih profesi dari seorang Direktur Eksekutif menjadi OB dadakan di pagi hari. Serta harus mendengarkan kegalauan Luo yang tidak jelas arah tuajuannya.
Luo menatap malas ke arah Aheng,
"Lo minum aja kopinya. Gue gak selera" perintah Luo.
Membuat Aheng menganga dan bertingkah absurd di depan Louis.
Tiba-tiba saja, Aheng melompat-lompat di depan Luo.
"Lo mau jadi monyet? Aneh banget. Balik lagi ke ruangan lo. Stress gue lihat muka lo!" perintah Luo lagi, membuat Aheng ingin mengumpat ke pada sahabatnya itu dan segera pergi ke luar dari ruangan Luo.