***
Ana baru saja menyelesaikan perkuliahan terakhirnya hari ini. Ia sedang mengemas barang-barangnya. Di sampingnya duduk kini adalah Cecil. Ia memainkan hp dengan sangat sibuk.
"Ana, kamu mengganti nomor ponselmu ya?" tanya Cecil dengan mata yang masih terfokus pada ponselnya.
"Iya."
Cecil menoleh padanya dengan mata mengerling. "Kenapa tidak memberitahuku?"
"Kenapa aku harus memberitahumu?"
"Biar aku bisa memberikan informasi tentang kelas."
"Aku sudah memberitahu ketua kelas untuk langsung menghubungiku."
"Tapi kamu kan temanku? Seharusnya kamu juga memberitahuku!"
"Sejak kapan kamu jadi temanku? Kamu hanya mengikutiku...." Ana melirik ponsel Cecil sambil tersenyum sinis. "Untuk memberikan informasi pada penggemarku tentang apa yang aku suka dan apa yang aku lakukan," lanjutnya. Ia mengalihkan pandangan pada tasnya lagi dan menutup resleting tas itu.
Cecil terdiam membisu mendengar ucapan skakmat dari Ana. Buru-buru ia mematikan ponselnya dan memberikan senyuman manis untuk gadis itu.
"Ana, maafkan aku. Aku melakukan ini karena mereka sangat penasaran tentangmu. Dan sejauh ini hanya aku yang berhasil dekat denganmu."
"Aku tidak keberatan kamu membagikan informasi apapun pada komunitas itu. Tapi aku sangat keberatan kalau kamu membagikan nomor hpku padanya."
Ana mengambil tasnya dan keluar dari ruangan. Cecil mengehela nafasnya. Ia mengikuti langkah Ana dari belakang. "Ana, aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Ana??"
Ana hanya diam. Namun ia langsung menghentikan langkah ketika seorang gadis berdiri tepat di depannya. Membuat Cecil yang berjalan menunduk, tanpa sadar menabrak tubuh Ana. Ia langsung mengalihkan pandangannya pada gadis yang ada di depan Ana.
"Ana, aku membuat salad hari ini. Aku harap kamu mau memakannya," ucap Julia. Tangannya mengulurkan sebuah salad yang sudah tertata rapi di kotak makan.
Cecil melihat adegan itu dengan tatapan tidak suka. Namun, ia memilih diam dan mengamati pergerakan yang dilakukan wanita itu.
"Ana? Ayo terima bekal makan siang ini," rengek Julia. "Kita kan sudah berteman?"
Cecil langsung menoleh pada Ana. Ekspresinya sungguh sulit ditebak sekarang. "Kamu berteman dengannya? Sejak kapan?" serang Cecil dengan tatapan tajam.
"Aku juga tidak tahu sejak kapan aku setuju untuk berteman dengannya."
"Ah, Syukurlah! Kamu itu idolanya mahasiswa baru di kampus ini. Reputasimu akan hancur jika kamu dekat dengannya."
Ana diam. Julia langsung memperlihatkan ekspresi tidak sukanya pada Cecil. Ia tidak terima dengan apa yang dikatakan gadis itu. Ia membuka kotak salad itu dan menuangkannya pada Cecil.
Gadis berkacamata itu seketika teriak histeris begitupula Ana yang kaget. Sedangkan Julia menyunggingkan senyum kemenangannya.
"Julia!" bentak Ana yang seketika membuat senyum Julia memudar.
"Kenapa Ana membentakku? Apa aku melakukan kesalahan?"
Ana menatap tajam Julia. "Cecil benar. Kamu tidak pantas untuk berada di dekatku."
Ana membawa Cecil pergi dari tempat itu. Ia juga memberikan jaketnya pada Cecil untuk menutupi bagian yang basah. Ia mengabaikan Julia yang terdiam.
"SUATU HARI AKAN KUBUKTIKAN KALAU AKU PANTAS ADA DI DEKAT ANA!" teriak Julia penuh semangat.
Ia menatap salad yang ia lempar tadi dengan senyum penuh kegetiran. Ia mengabaikan orang-orang yang mulai menggunjing tentangnya, dan membersihkan salad yang berserakan di lantai.
"Aku tidak akan menyerah," gumamnya.
***
Julia sungguh gadis yang gigih. Setelah diperlakukan seperti itu oleh Ana, dia tetap mengejar Ana. Tidak ada yang tahu motif ia mengejar dewi fakultas kedokteran itu apa. Dan selamanya tidak akan pernah tahu, kecuali takdir mengungkapnya.
Julia masuk ke dalam perpustakaan. Matanya langsung men-scan seluruh penjuru ruangan, dan seketika tersenyum sumringah ketika menemukan objek yang dicari. Ia segera berjalan ke arah sudut dan langsung duduk di samping gadis cantik itu.
"Ana!" sapa Julia penuh semangat.
Ana menoleh pada Julia. Cukup terkejut, namun langsung memfokuskan lagi pandangannya pada buku yang ia baca.
"Ana, aku mencari kamu kemana-mana lho. Untung saja seorang temanku mengatakan kalau kamu di sini."
Tak sedikitpun Ana memalingkan wajahnya untuk Julia. Matanya terus terfokus pada buku yang ia baca.
"Ana, kamu sudah makan? Ayo kita makan bersama. Ayo kita berteman dan saling mengenal."
Cecil berjalan mendekat ke arah mereka. Wajahnya terlihat tidak suka dengan kehadiran Julia. Namun, saat tiba di dekat mereka, Cecil memasang wajah imutnya.
"Ana, ayo ke lab sekarang. Sudah waktunya praktikum," ucap Cecil sambil melirik sekilas pada Julia.
Ana, tanpa banyak bicara, langsung pergi meninggalkan Julia dan Cecil. Seketika Cecil langsung mengejarnya. Julia melihat punggung mereka yang semakin menjauh dengan senyuman yang masih secerah sinar matahari.
***
Julia sudah berdiri dengan sikap sempurnanya ketika Ana membuka pintu lab praktikum. Ia memberikan senyuman terbaiknya dengan satu botol air mineral di tangan. Ia menyodorkan minuman itu ketika Ana berjalan mendekat ke arahnya.
"Ana, aku dengar praktikum ini adalah yang tersulit. Aku sudah membawakan air mineral untuk mengembalikan tenagamu," ucapnya dengan senyuman bagai bunga anggrek.
"Julia, apa kamu tidak malu mengejar Ana seperti ini? Dia cewek lho dan dia juga tertarik pada cowok pastinya," ledek seseorang di belakang Ana. Ternyata itu Cecil.
"Tidak. Aku yakin suatu hari Ana akan tertarik padaku," jawab Julia penuh percaya diri.
Cecil mengambil air mineral itu. Ia membuka penutupnya dan menyodorkan pada Ana.
"Kamu mau meminumnya?" tanya Cecil.
Ana mengambil botol dari dalam tasnya. "Tapi aku sudah membawa botol sendiri," ucapnya. Kemudian ia meneguk air mineral itu dengan sangat anggun. Bahkan membuat beberapa wanita di sana tertegun dan beberapa laki langsung menelan salivanya.
Ana terlihat sangat seksi ketika minum dari botol. Kemudian ia pergi meninggalkan semua yang masih menatap ke arah mereka.
Cecil tersenyum penuh kemenangan. "See? Dia bahkan tidak tertarik dengan air minum yang kamu bawakan. Jadi, jangan ganggu Ana lagi ya," ucapnya. "Bye!"
***
"Ana!" teriak Julia sambil melambaikan tangan. Ia berdiri di samping lapangan dan tepat tertangkap bola mata Ana.
Ia berlari kecil menuju wanita itu, mengikuti setiap langkah Ana dari samping.
"Ana, kamu sudah berlari berapa putaran?"
"Tujuh."
"Wah, kamu sangat kuat berlari ya. Aku tidak bisa sepertimu. Maksimal 3 putaran. Itupun rasanya sudah mau pingsan," keluh Julia. Namun ia masih mengikuti langkah Ana.
Gadis berambut hitam kemerahan itu hanya diam. Bahkan ia mengambil iPods macaron airpod-nya dan memasang di telinga. Ia benar-benar mengabaikan Julia yang terus berbicara tanpa menyadari jika telinga Ana telah tertutup oleh musik band rock asal Korea Selatan.
Julia yang terus berbicara sambil berlari, lama kelamaan mulai merasakan sesak di dadanya. Langkahnya pun mulai tidak seimbang. Hingga tanpa sadar, ia menjatuhkan tubuhnya ke Ana yang berlari di depannya.
Ana terlonjak kaget dan segera menoleh ke belakang. Dilihatnya Julia yang sudah berwajah pucat. Ia langsung melepas ipod-nya. Ia juga memanggil orang di sekitar untuk membantunya membawa Julia ke tepi lapangan.
Ia merawat Julia dengan sangat cekatan. Mulai dari membuka dua kancing teratas pada baju Julia, juga melonggarkan celana training yang digunakan wanita itu. Selanjutnya ia memberikan aromatic di sekitar hidung Julia. Ia juga menaruh kepala Julia di pangkuannya. Wajahnya terlihat sangat cemas.
Beberapa menit berlalu, akhirnya mata Julia terbuka. Ana bernafas lega. Namun, segera ia mengubah ekspresinya itu menjadi datar.
"Julia, bangunlah! Kamu sudah melukai kakiku!"
Julia yang masih pusing seketika langsung bangun dan duduk menghadap ke Ana dengan dahi yang mengernyit.
"Beberapa waktu lalu kamu menuduhku sebagai stalker. Sebenarnya siapa yang stalker itu? Kamu apa aku? Kamu mengikutiku terus selama satu Minggu ini! Aku tidak suka."
***