webnovel

Surga Kecil

Alexandrite, seorang gadis remaja, dijual oleh bibinya ke tempat prostitusi. Demi membayar utang bibinya, Alexa harus menjual dirinya pada para lelaki hidung belang. Namun satu bulan berlalu, Alexa tiba-tiba ditebus dan dibeli oleh seorang pengusaha muda, lalu dipekerjakan sebagai pelayan di kediamannya. “Kenapa Tuan menjadikan saya pelayan di tempat ini?” “Apa kau berharap lebih baik ada orang lain yang menggantikan posisimu sekarang? Lalu kau tetap ada di sana, di tempat pelacuran itu?” Alexa tampak bisa melihat masa depannya yang samar di tempat ini. Tapi apakah dia akan bisa bertahan menghadapi perlakuan dingin dari tuannya? Berapa tahun yang dia butuhkan untuk melunasi semua utangnya? ---- Cover by Kyp005

Mischaevous · สมัยใหม่
Not enough ratings
493 Chs

Konyol

Tidak banyak hal yang diajarkan oleh kepala koki hari ini, karena waktu yang mepet dengan makan malam. Alexa hanya menghabiskan waktu satu jam di dapur dengan belajar cara membersihkan dan juga memotong ikan.

Setelah diajari cara melepas kepala udang dengan mudah, Alexa juga diajari cara memasak udang agar tidak mengerut hingga membentuk seperti huruf C. Dia hanya perlu mengiris bagian perut udang mengikuti garis kulitnya, karena di sana terdapat otot yang akan bereaksi dengan panas. Dengan begitu, udang tidak akan melingkar.

Selain cara agar udang tidak melingkar, Alexa juga diajari cara membakar udang, yaitu dengan membelahnya menjadi dua bagian. Dia harus mengiris dari kepala sampai ekor, membelahnya menjadi dua. Di bagian kepala, Alexa diajari jika bagian warna kuning merupakan otak dan bisa dimakan. Sementara itu, ada juga bagian perut udang di sebelah otak yang juga harus dibuang, karena perut tersambung langsung pada saluran kotoran.

Selesai dengan udang, Alexa dihadapkan pada seekor ikan berukuran sedang. Awalnya dia hanya menatap ikan itu dalam diam, menunggu instruksi selanjutnya dari kepala koki. Jujur saja, Alexa belum tahu caranya memotong ikan. Selama ini, dia selalu membeli ikan yang sudah di-fillet di supermarket, sehingga dia tak perlu susah-susah memotongnya.

"Sekarang kuajari kau cara mengiris daging ikan."

Alexa mengangguk, menunggu instruksi kedua.

"Pertama, kau tahu apa yang menandakan kalau ikan masih segar?"

"Ikan segar dilihat dari matanya yang masih jernih dan juga bau ikan, tidak amis," jawab gadis itu. Dia masih ingat ajaran ibunya dulu soal cara memilih ikan utuh.

Kepala koki mengangguk. Itu adalah sebuah pelajaran dasar, dan semua orang harus tahu. Apabila murid dadakannya tidak tahu cara memilih ikan segar, dia pasti akan pusing dan mulai mempertanyakan selera makanan milik bosnya.

"Bagus. Sekarang pisahkan kepalanya."

Namun, satu kalimat ini langsung menghentikan gerakan Alexa. Dia tidak tahu cara memisahkan kepala ikan yang benar. Haruskah dia mengiris bagian leher dan pisaunya dipukul-pukul hingga tulangnya ikut terpisah? Biar bagaimanapun, tulang ikan cukup keras dan tidak bisa diiris begitu saja.

Dengan gerakan enggan, Alexa mengambil pisau dan bersiap mengiris bagian kepala. Namun, sebelum mata pisau menyentuh daging ikan, Tuan Smith menghentikannya.

"Kau tidak tahu cara memisahkan kepala ikan?" Pria itu jelas bisa melihat jika posisi Alexa memegang dan meletakkan pisau sudah salah. Kemudian, murid dadakannya mengangguk pelan.

Tuan Smith menghela napas.

Hanya saja, tidak ada yang menyangka jika ada suara tawa tertahan di sana. Suaranya berasal dari satu-satunya koki wanita di sana selain Alexa. Dia tampak menertawai ketidak mampuan sang gadis dalam memisahkan kepala ikan.

Tentu saja, suara tawa tertahan tersebut menarik perhatian semua orang, tak terkecuali Alexa dan kepala koki. Merasa tertohok dan malu, Alexa pun meletakkan pisaunya.

"Apa yang salah dengan tidak bisa memisahkan kepala ikan? Wajar jika dia belum bisa melakukannya karena memang tidak ada yang mengajari. Dia juga bukan lulusan sekolah masak ternama. Apa yang kau tertawakan, Emy?"

Suara tajam kepala koki segera memenuhi ruangan dan menghentikan tawa tertahan di sana. Wanita yang dipanggil Emy pun langsung menunduk dan menutup mulutnya. Meski demikian, dia masih tertawa dalam hati, diam-diam mencemooh orang yang masakannya dianggap istimewa oleh sang pemilik hotel. Bagaimana bisa dianggap istimewa jika memisahkan kepala ikan saja tidak bisa? Konyol.

"Pergi periksa stok bahan di kulkas," perintah Tuan Smith pada Emy. Daripada membuat keadaan dapur semakin tidak nyaman, lebih baik dia mengirimkan wanita itu ke tempat lain. Tidak ada yang boleh mengganggu kegiatannya di dapur, karena dia punya tanggung jawab di sini.

Tanpa mengucapkan apapun, Emy pun berlalu begitu saja. Sempat pula dia melirik ke arah Alexa dan menyeringai mencemooh.

"Tak apa, tak usah pedulikan dia. Kepribadiannya memang buruk." Alexa melihat sang kepala koki mengernyitkan alis tidak senang. Pria tersebut pun melanjutkan, "Kemari, akan kuajari caranya."

Gadis itu pun bergeser agar Tuan Smith bisa mengambil alih tempatnya. Kini, tugas Alexa adalah mengamati.

Sebelum memotong ikannya, Tuan Smith mengelap tubuh ikan dengan kain bersih. "Mengelap ikan dengan kain seperti ini akan mencegah ikannya bergerak tak stabil di atas papan potong. Kalau dilap, dia tidak akan bergerak saat dipotong." Penjelasan pun diberikan, sementara tangan Tuan Smith sama sekali tidak berhenti mengelap tubuh ikan beberapa kali.

"Untuk memotong kepala ikan, pertama, kau harus mengiris di bawah sirip yang ada di samping kepalanya. Lakukan di sisi satunya juga, sampai hanya tersisa tulang belakang yang menyambungkan dengan tubuh ikan. Sisanya, kau hanya perlu membuat gerakan seperti memotek dengan tangan. Tinggal digerakkan ke atas dan ke bawah hingga terdengar bunyi 'tak' pelan."

Sepasang mata Alexa tetap terpancang pada ikan di tangan Tuan Smith. Dia memang benar-benar mendengar suara tulang yang dipatahkan, kemudian kepala ikan pun sudah terpisah dari badannya. Terlihat amat bersih dan juga mudah.

"Gampang, kan?"

Alexa mengangguk cepat. Awalnya, dia kira memotong kepala ikan harus sambil dipukul-pukul, namun ternyata tidak. Ada cara lain yang lebih bersih, lebih mudah, dan tidak berisik. Belajar di dapur restoran ini rupanya benar-benar menambah wawasannya.

"Lalu kalau ingin buat fillet, lebih baik kau memotong semua sirip di sisi-sisinya dengan gunting, supaya tangan tidak akan terluka waktu memotong nanti," lanjut Tuan Smith.

"Benar juga. Siripnya bisa melukai kalau tidak hati-hati." Gadis itu sependapat, karena dulu tangannya pernah tertusuk sirip saat mencoba membuat fillet, namun gagal. Sejak saat itu, Alexa jadi lebih memilih membeli ikan fillet daripada membeli ikan utuh.

"Setelah dipotong siripnya, tinggal diiris dari samping. Awalnya tidak usah diiris terlalu dalam, cukup di bagian luarnya saja hingga membuat celah kecil antara daging dan tulang tengah. Setelah selesai membuat celah, tangan satunya menekan tubuh ikan hingga celahnya terbuka, menunjukkan jalan supaya bisa diiris. Seperti ini." Tuan Smith terus memperagakan cara memotong ikan sambil terus bicara. Sementara Alexa mengamati dengan saksama, seolah tidak ingin melewatkan sekecil informasi pun.

"Sisanya tinggal diisis ke samping. Mata pisau harus diarahkan ke bawah, ke arah tulang-tulangnya. Jangan arahkan mata pisau ke atas, karena nanti akan menyisakan banyak daging yang menempel di tulang. Kalau sudah separuh terpisah, tinggal pisahkan jaringan-jaringan tipis yang masih menempel di tulang ikan."

Saat mengerjakan satu sisi, Tuan Smith melakukannya dengan perlahan, memastikan Alexa melihat dan memahami. Kemudian, di sisi sisanya, Tuan Smith melakukannya dengan cukup cepat. Tidak sampai satu menit, kini ikan sudah menjadi fillet, terpisah sempurna dengan tulang belakangnya.

"Sayangnya kita tidak ada waktu lagi, dan kami harus bersiap untuk makan malam."

Pria berkumis tipis itu melihat ke arah jam dinding di dapur. Sudah nyaris jam lima. Jika tidak cepat, mereka akan kewalahan menangani pesanan makan malam dari pelanggan.

"Baiklah, kuberi tugas. Kau harus belajar membuat fillet ikan sendiri, dan harus menguasainya sampai aku memanggilmu kembali kemari."

Alih-alih keberatan diberi tugas, Alexa malah semangat. Dia merasa kalau kepala koki bisa memercayainya. Tentu saja, Alexa juga ingin cepat menguasai teknik itu, atau tuannya akan bosan kebanyakan makan menu ikan.

"Baiklah. Terima kasih banyak, Tuan Smith." Senyum lebar masih belum menghilang dari wajah sang gadis.

"Cepat cuci tanganmu dan kembali. Kau tidak ingin membuat Tuan Fitzroy menunggu, hm? Biar kubereskan yang di sini."

Smith tadi sempat mendengar jika pemilik tempat ini memerintahkan Alexa agar tidak lupa menyiapkan makan malam. Apabila gadis itu sampai terlambat karena terlalu lama berada di sini, dia tak bisa jamin jika Alexa tak akan dimarahi. Biar bagaimanapun, setelah bekerja sekian tahun di bawah pengawasan Skylar, Tuan Smith tahu betapa dingin dan menyeramkan pemuda itu jika dibuat kesal.