Berlin, Jerman
Pen Corp
Tidak terasa sore menjelang, ketika Vian sendiri merasa lelah karena menghandle pekerjaan sendiri tanpa ada Endra di sisinya. Ya…, mau bagaimana lagi, karena ini juga demi oprasional di perusahaan sana, ketika ia sendiri belum berniat memiliki seorang sekretaris.
Kebetulan saat ini Vian sedang berada di depan pintu lobby Pen Corp, bersama Mr. Pen yang mengantar langsung menuju mobil, untuk kembali ke penginapan setelah seharian berdiskusi alot bersama partner bisnis lainnya.
Mr. Pen sangat ramah dan juga hangat, berbeda saat mereka sedang berada di ruang meeting, Vian sampai menyadari jika beliau menunjukan dua sisi berbeda yang membuatnya belajar banyak dari kerjasama ini.
"Be careful, Mr. Geonandes. See you tomorrow," ucap Mr. Pen ramah.
Vian mengangguk keci mendengar. "See you tomorrow, Mr. Pen," balasnya kemudian berjabat tangan singkat lalu memasuki mobil, dengan Mr. Roy yang membukakan pintu.
Blam!
Brumm!
Vian lekas menilik arloji yang melingkar di pergelangan tangan, dimana kini telah menunjukan angka lima sore dan itu artinya di kota kelahiran sudah pukul sebelas siang.
Ia yakin jika Aliysia saat ini sedang di kampus, karena ia memesankan penerbangan untuk istri kontraknya pukul lima sore, hingga si wanita akan sampai di bandara Berlin ke esokan harinya.
Bukannya apa, ia hanya berharap penerbangan si bocah baik-baik saja, karena sesungguhnya Vian sedang membiasakan diri untuk tidak mengirim pesan, kecuali benar-benar penting dan darurat.
Sekitar setengah jam kemudian, mobil yang dikendarai oleh Mr. Roy akhirnya sampai di depan pintu lobby hotel.
Vian turun dengan seorang petugas hotel membukakan pintu, serta menunduk hormat menyambut. Pelayanan kelas atas juga tanpa memandang siapa tamu, para pelayan semua memperlakukan tamu satu dan lainnya sama.
Vian sendiri hanya mengangguk, ketika seorang door man menyapa ramah dengan bahasa jerman fasih.
"Gutten abend, Herr, (Selamat sore, Tuan)"
"Hm, Danke, (Terima kasih)" gumam Vian seraya mengangguk, kemudian memasuki lobby dan berjalan dengan sedikit tergesa ke arah lift.
Ting!
Bersamaan dengan para tamu yang juga hendak naik ke atas, ia menunggu dalam diam ketika di sekitarnya berdiri pasangan yang saling bermanja seakan tidak peduli dengan sekitar.
Kekuatan cinta, dengkusnya dalam hati.
Meskipun di luar wajah Vian sama sekali tidak menampilkan ekspresi berarti, tapi ia tetaplah manusia yang mempunyai rasa iri.
Okay, jangan sampai Endra tahu tentang ini, bisa-bisa aku dioloknya, karena status beristriku tidak berguna di dalam kehidupan nyata, gerutunya masih dalam hati.
Jelas dong Vian iri, mereka yang berpasangan benar-benar mengumbar kemesraan tiada tara dengan saling memeluk dan berciuman.
Asik sekali, sudah seperti lift punya pribadi.
Ting!
Pasangan yang membuat iri akhirnya lebih dulu keluar dari dalam lift, begitu juga yang lainnya dan hanya menyisakan Vian sendiri. Ia sampai menghembuskan napas lelah, kembali dibuat galau dengan perasaan yang semakin ingin diingkari.
"Kenapa harus dia? Padahal banyak wanita di luar yang lebih darinya, yang pasti sudah dewasa yang mampu mengimbangiku," lirihnya bersamaan dengan lift yang kembali terbuka.
Ting!
Dengan segera Vian keluar dari dalam lift, menuju pintu yang ada di ujung koridor dan membukanya menggunakan kartu sebagai pengganti kunci.
Ceklek!
Klik!
Kembali Vian menggunakan kartu sebagai akses untuk menghidupkan lampu, sehingga kini ruangan luas berupa ruang tamu mini terlihat dengan jelas di hadapan.
Brugh!
Rasa lelah melanda, seketika helaan napas keluar begitu saja ketika bokong mendarat dengan sempurna di sofa. Wajah Vian menengadah, berharap ketika ada Aliysia di sini, ia bisa kembali biasa saja dan menganggap semua biasa pula, sama seperti saat pertama keduanya dulu bertemu.
Ya ... Aku berharap, aku akan biasa saja ketika kami besok kembali tinggal bersama, batinnya berharap.
Memutuskan untuk membersihkan diri, Vian kembali berdiri dan berjalan menuju kamar. Oh iya ... ia juga sengaja memesan kamar dengan dua ruang tidur, agar saat Aliysia datang keduanya tidak perlu berbagi tempat tidur. Seperti di apartemen, mereka akan tidur masing-masing sesuai dengan kontrak yang berlaku.
Ngomong-ngomong soal kontrak, sampai saat ini sebenarnya hanya satu yang Vian rasakan mengganjalkan dari sekian banyak persayaratan. Namun anehnya, kenapa baru sekarang juga ia merasakannya?
Ini bahkan baru dua bulan usia pernikahan kontrak, tapi ia sudah mulai melanggar salah satunya.
Tidak ada cinta di dalam kerjasama ini.
Sial sekali, kenapa dulu ia mengiyakan saja ketika bocah itu menulisnya?
"Huh! Sudahlah. Lagian benar, aku tidak boleh jatuh cinta padanya, selain karena aku tidak ingin menganggu konsentrasinya, aku juga sama sekali belum mengetahui seluk beluknya," gumamnya kesal sendiri.
Bukannya apa, Aliysia cenderung menutupi apapun mengenai jati diri. Si bocah hanya berkata, jika sang papa ingin Aliysia menjadi dekorator ruangan, sedangkan Aliysia sendiri ingin menjadi seorang penyanyi sopran profesional seperti mendiang mama.
Lalu selebihnya, Vian tidak tahu.
Ia sampai heran, di zaman seperti ini masih ada orang tua yang mengekang anak dan tidak mendukung cita-cita.
Di bawah guyuran air sower, Vian terdiam meresapi aliran air yang mengalir membasahi tubuh. Sudah lama tidak berlama-lama mandi seperti ini, biasanya ia akan bergegas menyudahi acara bersih-bersih, ketika sadar jika masih harus memperhatikan seseorang, tepatnya menyiapkan sesuatu untuk dimakan.
"Besok aku menjemputnya di bandara. Tapi aku tidak khawatir, setidaknya dia hanya perlu turun ke bawah atau memesankan makanan, jika tiba-tiba kelaparan," gumamnya tanpa sadar terkekeh kecil.
Sial, hanya karena memikirkannya saja aku kembali terkekeh.
"Benar-benar bahaya," lirih Vian semakin kesal.
Tiga puluh menit kemudian ia meyudahi acara bersih-bersih dan keluar dengan rambut setengah basah. Berjalan santai menghampiri nakas, seraya mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil dan mengusaknya sedikit keras.
Lampu LED gawai berkedip-kedip, menandakan jika ada notifikasi yang masuk. Sehingga Vian segera memeriksanya, membuka sandi dan melihat dengan bibir tiba-tiba tersenyum kecil ketika sebuah pesan dari seseorang menyempil di antara pesan-pesan lain.
[Aku sedang dalam perjalanan ke bandara. Vian Jahat, kenapa tidak memberitahu keadaanmu ketika kamu sendiri sudah berjanji? Lihat saja, aku sampai di sana kamu terima akibatnya]
Pfft ....
Tawanya hampir saja meledak ketika menerima pesan ancaman dari Aliysia. Sungguh, ia tidak percaya dengan ini semua, merasa menjadi pria yang paling munafik dan labil karena detik lalu menyangkal, lalu saat ini justru tertawa senang menerima pesan dari seseorang yang dihindari.
Seharian ia berusaha untuk tidak mengirim pesan ataupun peduli padanya. Namun, ketika satu pesan datang, kenapa pertahanan ambyar begitu saja?
Kalau sudah begini, bagaimana Vian akan membiarkan perasaan kepada Aliysia hilang begitu saja dan membiarkan seakan-akan tidak peduli?
Jika pada kenyataanya, ia bahkan tidak bisa menjaga bibir sendiri untuk tidak tersenyum ketika menerima pesan ngambek yang terasa aneh baginya.
"Sial, aku memang menyukainya," gumamnya kesal.
Bersambung