Kedai Es Krim
Aliysia kali ini bertanya sambil menatap dengan ekspresi seperti beberapa saat lalu, tepatnya ekspresi yang sama seperti saat Vian memberitahu jika ia akan berangkat pagi.
Entahlah, seakan tidak ingin ditinggal, sungguh aneh untuk ukuran dua orang yang hanya memiliki hubungan kontrak.
"Hmm, kamu juga harus kembali ke tempat pentas, bukankah seperti itu?" sahut Vian, menuai anggukan kepala pelan dari Aliysia yang juga mewanti.
"Kamu hati-hati."
"Tentu."
"Vian ...."
"Hmm?" Vian hanya bergumam dengan sebelah alis terangkat, ketika Aliysia tidak meneruskan panggilan dan menatap dengan tidak yakin. "Ada apa?" lanjutnya bertanya penasaran.
"Emh.... Tidak ada, kalau begitu sebaiknya kita cepat pergi dari sini," elak Aliysia seraya berdiri dari duduk dengan gerakan tergesa, membuat Vian kembali curiga seakan mulai sadar setiap gesture yang ditunjukkan si istri kontrak terhadapnya.
"Jangan ada yang tersisa lagi, Liysa. Beritahu dan jelaskan, apapun yang ingin kamu katakan, katakan saja kepadaku," ujar Vian menuntut, menatap serius bola mata Aliysia yang sebenarnya pun hampir saja membalik tubuh, sampai-sampai kini kembali berdiri menghadapnya dan kemudian duduk serta menatap masih dengan perasaan ragu terlihat.
"Aku ..."
"Hmmm?" lagi-lagi Vian bergumam, menunggu dengan sabar apa yang ingin dikatakan oleh Aliysia.
"Aku ingin mengantar kamu ke bandara," jelas Aliysia menatap malu dan itu sukses membuat Vian mengedipkan kelopak mata cepat, antara tidak percaya juga geli yang dirasa.
Demi apa, hanya karena ingin mengantar saja sampai membuatnya curiga, Vian sampai menggeleng dan menyimpan rasa geli untuknya sendiri.
"Ya Tuhan, aku kira ada apa Liysa. Kenapa mesti malu begitu, padahal hanya ingin mengantarku ke bandara. Membuat orang salah paham saja," tukas Vian, terkekeh kecil seraya menatap si bocah yang segera menampilkan wajah menggemaskan dengan bibir mengerucut layaknya bebek.
Dulu ia menganggap jika wanita yang mengerucutkan bibir itu sama sekali tidak lucu, apalagi imut, tidak sama sekali tidak.
Namun entah kenapa saat ini berbeda, Aliysia justru terlihat imut dan menggemaskan, membuatnya harus ekstra menahan diri agar menjawil pipi si bocah saat ini juga.
"Aku takut kamu tidak suka kalau aku ikut atau mengantarmu pergi," sahut Aliysia ketus seperti biasa, membuat Vian semakin terkekeh dengan tebakan ngawur ala bocah yang sukanya menyimpulkan apapun sendiri.
Dua minggu juga karena Aliysia jelas menyimpulkan hal sembarangan, menuduhnya marah karena si bocah memarahi Nindita, si mantan rese yang membuatnya malu malam itu.
"Yang bilang siapa? Tidak dan biasa saja. Maka itu, dari sekarang apapun harus segera diutarakan dan jangan dipendam sendiri, apalagi sampai mengambil kesimpulan tidak bertanggung jawab. Jadi, agar tidak ada salah paham lagi di antara kita, bisakah kamu jujur. Okay, Liysa?" tandas Vian dengan nada tegas, menatap sungguh-sungguh dan menuai anggukan kepala dari Aliysia yang diam-diam pipinya tersipu.
"Iya."
"Bagus! Kalau begitu, kamu hubungi pelatihmu dan beritahu jika kamu ada perlu. Aku tidak ingin dikira menculik anak orang, karena tidak ada pemberitahuan seperti ini," perintah Vian menjelaskan.
Ia merasa semua sudah beres, itu artinya ketika meninggalkan Aliysia tidak ada hal yang mengganjal hati.
Lalu Aliysia, ia tampak mengiyakan apa yang dikatakan Vian. "Tapi kamu memang sudah menculikku," bisiknya.
"Apa? Kamu bilang sesuatu. Liysa?" tanya Vian penasaran, ketika ia mendengar suara bisikan samar, membuatnya tidak sungguh-sungguh mengetahui apa bisikan tersebut.
"Em yau (Tidak ada). Maksudnya, aku akan memberitahu coach saat sudah sampai di sana. Aku juga perlu mengganti baju," jawab Aliysia mengelak, menjelaskan dengan perkataan yang memang masuk akal.
Jelas, ia saat ini masih memakai gaun perfom buatan Sasha.
Vian pun mengangguk kemudian berdiri dari duduk, serta mengulurkan tangan ke arah Aliysia yang hanya diam melihat, sepertinya bingung dan ia sadar itu. "Mari kita pergi," ajaknya masih dengan tangan terulur dan Aliysia akhirnya segera menggapai uluran itu.
Vian sendiri tentu ikut menggengam erat telapak tangan mungil sang istri, menariknya lembut untuk jalan meninggalkan kedai menuju gedung kembali. "Yakin mau antar aku sampai ke bandara?" tanyanya memastikan.
"Iya, kenapa? Mau membatalkan izin yang sudah membolehkan?" sahut Aliysia, melirik dan memicing ketika mendengar tawa kecil dari si paman.
"Kamu bisanya menuduh dan menyimpulkan sendiri saja, padahal sudah dijelaskan untuk tidak seperti itu."
Aliysia bukannya meminta maaf justru terkekeh polos, membuat yang mendengar harus rela merotasi bola mata, bosan.
"Ck! Kamu memang bocah ya," ledek Vian.
"Biarkan, aku bocah yang cantik dan mempesona, mau apa kamu. Huh!"
"Mau aku gantung, kenapa? Huh!"
"Isk! Vian jahat sekali."
Pekikan menjadi hal yang terdengar ramai, ketika keduanya sama-sama melempar pertanyaan meski hanya seputar kampus dam kegiatan pentas dari Vian untuk Aliysia.
***
Bandar Udara Internasional Kota M
Saat ini Vian sedang duduk di lounge bandara, menunggu pesawat yang akan membawanya menuju Jerman beberapa puluh menit lagi.
Suasana lounge yang ramai tidak lantas membuatnya terganggu, ketika ia tetap tenang duduk bersama Aliysia yang mengantarnya sampai bandara dan kini pun bersisihan menunggu take off.
Masih segar dalam ingatan Vian, ketika Aliysia yang menampilkan wajah kaget dan apapun itu ketika ia mampu membaca suasana hati. Wajah yang kaget itu tampak polos di pandangannya, seperti yang sudah dijelaskan pula jika Aliysia adalah sebuah buku baginya.
Selama perjalanan bisnis ini ia tidak boleh melamun, apalagi sampai memperumit masalah kerjaan yang masih harus diusahakannya berhasil hingga kerjasama dijalin kembali.
"Liysa," panggil Vian saat merasa keterdiaman keduanya terlalu lama, yang ada nanti waktu menunggu penerbangan tidak berjalan lancar.
"Apa?"
"Kamu tidak apa tinggal di apartemen sendiri?"
Pertanyaan dari Vian membuat Aliysia menganguk, mengiyakan apa yang dikatakan oleh si paman tentang keadaannya selama ditinggal sendiri.
"Tentu, aku sudah biasa tinggal sendiri kok, tenang saja dan jangan khawatir denganku," jelas Aliysia dengan cengiran kecil, ketika Vian memperhatikan dalam diam dan menatap lekat.
"Aku tidak khawatir denganmu."
"Ck! Vian, kamu blak-blakan sekali. Lalu memangnya kenapa?" tanya Aliysia cepat, mengalihkan pembicaraan dan menatap curiga kepada Vian yang kini menyeringai kepadanya, seringai yang menyebalkan.
"Lalu sebenarnya, aku hanya khawatir apartemenku berantakan karena kamu," ledek Vian, meski ia harus rela dicubit pinggangnya oleh si bocah yang kini pun mendelik tajam. "Tahu sendiri kamu 'kan "Sembarangan! Lihat saja, kalau sampai berantakan-
'Panggilan kepada penumpang dengan nomor GA-1020, di persilakan untuk memasuki gate boarding.'
Pengingat dari pengeras suara bandara membuat keduanya tersentak, ketika Vian sedang asik meledek dan Aliysia sendiri membalas dengan ledekan pula, bercengkrama layaknya pasangan pada umunya.
Kini, tampak Aliysia yang mengangguk, ketika si paman mengatakan untuknya hati-hati saat pulang atau dimana pun ia berada.
"Sampai jumpa, Vian."
"Hn."
Vian pun berdiri dan berjalan menuju pintu pesawat dimana nantinya melewati garbarata, memberikan tiket dan passport kemudian kembali berjalan ketika petugas tersebut mengembalikan passport miliknya.
"Welcome to Gagak airlines!"
Duduk nyaman di kelas bisnis kelas satu, Vian tampak menyandarkan punggung mencoba rileks dan menghembuskan napas perlahan. "Aliysia, jangan begini. Aku harap ketika kamu menyusulku ke Jerman perasaan itu sudah hilang, bila perlu seakan tidak ada dan tidak pernah kuketahui," lirihnya seraya melihat ke arah luar sana, di mana langit siang cerah melalui jendela pesawat dengan hembusan napas kecil.
Bersambung.