Sebagai seorang ratu yang dijaga oleh dua raja yang sangat berkuasa, hidup Eliza sangatlah mewah dan nyaman.
Apa pun yang dia inginkan, apa pun yang dia lakukan, bagi kedua rajanya, dia selalu melakukan hal yang benar.
Tapi hari ini wajah salah satu rajanya terlihat gelisah karena ulah Eliza.
"Aku akan menbuatkanmu sarapan, Arash." Eliza mengatakannya dengan penuh percaya diri, Arash senang dengan hal tersebut, tapi dia tak percaya, Eliza tidak pernah ada di dapur untuk memasak sebelumnya. Arash dan Aresh takut ketika Eliz memegang pisau akan melukai dirinya sendiri.
"Eliza, ada Nuza yang akan memasakkan kita sarapan. Kau duduklah di sebelahku. Aku ingin membicarakan banyak hal," rayu Arash pada Eliza.
Eliza memang mendekat pada Arash, tapi bukan untuk duduk. Dia memegang pipi Arash dan menciumnya.
"Aku lupa ciuman selamat pagi. Pagi, sayangku." Eliza tersenyum.
Hanya dengan senyuman itu dan ciuman lembut Eliza, otak Arash seakan membeku. Dia tak bisa berkata apa pun.
Dia melihat punggung Eliza yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuknya, Arash tak tenang jadi dia berdiri dan mendekati Eliza.
"Kau mau buat apa, Sayang?"
Eliza memperlihatkan pan-nya. "Telur mata sapi dan sosis goreng."
Arash tersenyum manis. Ya, dia tak akan bisa mengharapkan yang lebih dari ini. Begini saja telah membuatnya sangat senang.
"Biar aku saja yang memasak, kau duduklah, Eliza."
Arash memeluk tubuh Eliza dari belakang, bermanja dengan wajah yang menyandar di pundak Eliza. Tapi kali ini, Eliza cukup keras kepala. Dia tidak ingin menyerah.
"Kau lebih baik duduk saja, Arash. Jika kau tak mau melakukannya, aku akan sangat marah padamu." Eliza mendengkus, membuat wajah cantiknya tampak kesal pada Arash.
Arash mundur, dia tidak ingin istri tercintanya ini menjadi marah dengannya, pasti Aresh akan mengambil keuntungan dari itu.
"Kumohon, Hati-hatilah, Eliza." Arash memasang wajah memelas, matanya sekali waspada memperhatikan Eliza.
Lima menit kemudian, apa yang dibuat Eliza sudah jadi, dia menyajikannya di depan mata Arash.
Arash menahan senyumnya, sarapan itu sangat menarik bagi Arash. Sedikit warna hitam membuat tampilan mereka menjadi cantik.
"Aku makan sekarang, ya, Sayang?" Arash memohon pada Eliza, tapi Eliza malah menarik piring tadi. Dia telah memperhatikan dan menimbang, bahwa yang dia sajikan itu gagal.
"A-aku akan membuat ulang ...." Wajah Eliza kecewa, dia ingin membuat masakan pertamanya. Tapi Arash menahan tangannya, memandang mata Eliza untuk memberinya keyakinan.
"Aku akan memakannya, Sayang. Sekarang aku sangat lapar. Ini untukku, ya?" Arash merayu Eliza, tubuhnya menjadi melunak walaupun dia masih ragu dengan rasa yang akan muncul dari itu.
Dia menatap Arash sekali lagi, menanyakan apakah Arash yakin akan memakan makanan gosong ini, dan Arash dengan tersenyum mengangguk.
"Tentu saja, apa pun yang kau masak akan selalu enak, sayang."
"Huh," dengkus Eliza dengan malu.
Dia memperhatikan Arash, dan benar saja dia memakan dengan Lahap masakan Eliza tanpa mimik muka yang berubah buruk. Eliza berharap-harap cemas dengan apa yang akan dibilang oleh Arash.
"Masakanmu enak, Sayang," pujinya.
"Ah, kau bohong. Itu gosong lho," tunjuk Eliza. Arash mengangguk menyetujui.
"Tapi rasa mutung itu menciptakan rasa daging panggang yang nikmat. Terima kasih telah membuatkanku sarapan, Eliza." Arash mengusap tangan Eliza, matanya yang memandang yakin ke mata Eliza membuat Eliza melunak. Mungkin apa yang dia masak memang tak seburuk perkiraannya.
"Aresh pasti cemburu kalau tahu tentang ini." Arash tersenyum kembali.
"Apa yang membuatku cemburu?" Aresh yang muncul secara tiba-tiba langsung menanggapi perkataan Arash tadi, dia melepaskan jaket kulitnya, dan langsung mencium Eliza.
"Selamat datang, Babe." Senyum Eliza melebar. Aresh mengusap pipi Eliza dengan lembut dan hangat.
"Jadi, kalian melakukan apa hingga aku cemburu?"
Arash tak langsung menjawabnya, dia memiliki wajah yang cukup usil untuk ini. Menginginkan Aresh menjadi lebih panas dibanding sebelumnya.
"Arash, kau sengaja melakukan itu untuk membuatku marah?"
"Tentu saja," jawab Arash santai.
Setelah menjawab begitu, dia melihat kedua alis kembarannya bertautan, membuat senyumnya menjadi lebih lebar.
Eliza langsung memeluk leher Aresh, dia tak ingin dua saudara ini melakukan perang dingin lagi. Dia bingung berpihak pada siapa, apalagi dia mencintai mereka dengan kadar yang sama. Mempunyai dua suami yang akur adalah keinginannya.
"Aku memasakkan Arash sarapan, dan itu gosong …," jelas Eliza dengan bibir yang berkerut, suaranya manja dan menggemaskan.
"Ah!" Aresh langsung mengangkat tubuh Eliza, dia merasa cemburu sekarang. Jika dia pulang lebih cepat, maka dia juga akan mendapatkan sarapan dari Eliza.
"Aresh, kau semalaman tidak tidur?" Eliza menyentuh kantung mata Aresh. Dia merasa kasihan dengan jam tidur Aresh yang berantakan, apalagi Aresh selalu melakukan pekerjaan yang berbahaya.
Kantung mata itu sering kali membuat Eliza khawatir akan kesehatan Aresh.
"Kau harus istirahat, Babe. Tidur lah di kamar hari ini." Eliza mengusap wajah Aresh, agar Aresh tenang.
Aresh memiliki gerakan yang cepat, terlatih sejak dulu tanpa sadar. Dia mencium telapak tangan Eliza, kemudian memandang matanya dengan dalam.
"Kalau kau membuatkanku sarapan, aku akan mengikuti permintaanmu."
"Dasar, curang. Kau memanfaatkan kelembutan hati Eliza untuk keuntunganmu," kata Arash dengan kesal.
Eliza menggeleng, kedua suaminya malah terlihat seperti dua anak kecil. Perdebatan di antara mereka sering terjadi, dan Eliza langsung melarikan diri untuk memasakkan sarapan untuk Aresh, agar Aresh mau tidur seperti yang dia inginkan.
**
Langkah kaki mereka seirama. Arash menyamakan kecepatan langkahnya dengan langkah kaki Eliza.
"Eliza, apa kau tak lelah sekarang?"
Eliza menggeleng. Sebenarnya rasa lelah itu selalu ada, tapi Eliza menikmati pekerjaannya jika dia tak melakukan hal tersembunyi, Eliza malah stres.
"Tak apa, Arash. Aku hanya ada wawancara singkat saja. Kau tenanglah, Sayang."
Mereka memasuki Lift, sangat kosong, hanya ada mereka berdua yang mengisinya.
Eliza telah meminta pada manajernya agar dia ditemani oleh Arash saja hari ini. Apalagi hanya pekerjaan kecil seperti ini, ditemani oleh Arash malah membuatnya lebih bersemangat.
Arash mengulurkan tangannya, dia ingin Eliza berpegangan dengan dirinya saat berjalan nanti. Eliza yang memahami maksud Arash langsung memegang tangan suaminya itu, dengan senyuman yang merekah, keduanya berjalan menuju lokasi wawancara.
Orang-orang menyapa keduanya, dan mengagumi keduanya. Mereka mempunyai aura yang positif yang acap kali membuat orang lain merasa iri.
Bukankah katanya yang jelek bersama yang cantik atau tampan? Tapi keduanya sangatlah rupawan. Tak ada yang menentang hubungan mereka, tapi rasa iri itu tidak bisa di bendung.
"Anda ditemani oleh suami Anda kalian ini?"
Eliza tersenyum sempurna, dia terlihat malu-malu saat pewawancara itu menyinggung masalah itu. Haruskah mengatakannya di televisi nasional?
Eliza mengangguk. "Ya. Dia sekarang sedang menunggu saya."
Pewawancara itu langsung menggerakkan kepalanya untuk mencari Arash, saat ketemu, ekspresinya terlihat terkejut dengan senang. Kamera menyorot Arash, yang membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum manis.
"Anda pasti merasa senang dengan sikap manis suami Anda, ya, Eliza?"
"Tentu saja. Dia adalah suami yang sangat pengertian dan perhatian."
Arash merasa senang mendengar pengajuan itu, menang menemani Eliza terasa sangat menyenangkan.
"Apakah suami Anda itu sangat pencemburu?"
Eliza melihat Arash, yang terlihat tenang dan hangat. Senyuman mereka lagi di wajahnya.
"Dia sangat pencemburu."
Senyum tipis muncul dari wajah hangat itu.