webnovel

Sepatu Baru

"Sayang, hari ini aku buatkan nasi capcay kesukaan kamu ya." Aleta menyiapkan bekal untuk makan siang suaminya ke dalam kotak makan.

"Hmmm, terimakasih ya. Kamu juga bawa bekal kan?" Fadli bertanya sambil menatap penampilan istrinya yang sangat rapi pagi ini.

"Hari ini karena ada undangan makan siang bareng klien, jadi aku akan makan di luar. Maaf ya sayang, aku ngga bisa makan bareng kamu siang ini. Tapi nanti pulang kerja kita makan nasi uduk di warung langganan yuk." Aleta berkata ceria sambil memeluk mesra suaminya.

Fadli hanya terdiam dan menunduk. Aleta yang melihat suaminya bersikap seperti itu langsung menyadari bahwa sebentar lagi mereka berdua akan melalui perbincangan sepanjang tak kurang dari 15 menit hanya untuk memastikan suasana hati Fadli akan baik-baik saja.

"Sayang mau ikut makan siang bareng klien?" Aleta bertanya dengan lembut.

"Siapa aku? Office Boy ikut makan bareng manager dan klien? Mimpi."Fadli berkata sinis.

"Loh kok mimpi? Memang ga boleh kalo OB makan bareng manager? Kita kan setiap hari makan bareng." Aleta menjawab dengan sabar.

"Ya tapi kan itu di luar urusan kantor." Fadli menjawab enggan.

Aleta tersenyum lalu berkata,"There you go. Kamu tau kan ini makan siang untuk urusan pekerjaan. Kita ngga bisa makan siang bareng hari ini bukan karena aku mau ninggalin kamu sendiri. Setiap hari juga kita makan bareng di kantor kan?"

"Hmmm, benar juga sih." Perlahan senyum Fadli mulai merekah.

"Jadi, nanti nasi capcaynya dihabiskan ya." Aleta berkata dengan manja ketika suasana hati suaminya sudah kembali membaik.

"Kalo ngga habis?" Tanya Fadli sedikit menggoda.

"Kalo ngga habis? Nanti aku habiskan. Kamu yang aku habiskan, bukan capcaynya." Aleta menjawab sambil mengerling menggoda.

Fadli tertawa sambil memeluk Aleta.

Pagi ini akan berlalu dengan lancar dan baik-baik saja, pikir Aleta, sampai Aleta mengatakan sesuatu.

"Sayang, aku punya kejutan." Aleta membawa sebuah kotak ke hadapan suaminya.

"Apa ini?" Fadli menatap kotak tersebut dengan bingung.

"Hadiah untuk suamiku tersayang doooong. Ayo dibuka." Aleta menyerahkan kotak itu ke tangan Fadli.

"Kamu lupa tanggal ulang tahunku?" Tanya Fadli curiga.

"Aiiiiih, memangnya ngasih hadiah cuma boleh pas ulang tahun aja?" Aleta merajuk.

Fadli menatap kotak di tangannya, namun masih belum ingin membukanya.

"Ayolah sayaaaang, cepat dibuka. Nanti kita ketinggalan kereta." Aleta merayu suaminya untuk segera membuka kotak itu.

Perlahan Fadli membuka kotak itu, lalu melihat ada sepasang sepatu sneakers berwarna putih, warna kesukaan Fadli.

Fadli menutup kotak itu segera setelah melihat isinya, lalu menatap Aleta.

"Kamu beliin aku sepatu baru, untuk apa? Sepatuku yang sekarang masih layak pakai kok." Fadli berkata dengan nada dingin.

Aleta seperti biasa kaget mendengar reaksi Fadli. Namun itu hanya sedetik, karena Aleta pada dasarnya tahu bahwa Fadli akan bereaksi secara tak terduga. Jika orang lain yang mendapatkan hadiah, sewajarnya akan bahagia dan berterimakasih. Tapi ini adalah Fadli.

"Sayang, kamu tahu kan aku ini suka malas nyuci sepatu kamu. Kadang sebulan sekali juga belum tentu aku cuci, Aku ngga mau kamu bekerja pakai sepatu dekil. Jadi ini aku belikan supaya kamu punya sepatu ganti." Jawab Aleta.

"Tapi aku bisa cuci sepatuku sendiri. Lagipula aku juga bisa beli sepatu denga uangku sendiri. Ngga usah pakai uang kamu." Jawab Fadli masih bernada dingin.

"Oooh jadi kamu ngga mau aku beliin sepatu? Yaudaaah kalo gitu aku ngga mau pakai jam pemberian kamu. Blazer ini juga, aku lepas aja deh. Ikat rambut juga nih, aku balikin. Oh, terus heels aku yang berjejer di rak itu, juga aku balikin ke kamu." Aleta mulai melepaskan jam, blazer dan ikat rambut, lalu berjalan ke arah rak sepatu.

Fadli meraih tangan Aleta dan berkata. Suaranya melembut kali ini."Aleta, itu kan aku belikan untuk kamu karena kewajiban aku sebagai seorang suami yang harus memenuhi kebutuhan istri."

"Oh, jadi sekarang kamu bicara soal kewajiban suami kepada istri? Terus membuat istri merasa bahagia juga kewajiban seorang suami, bukan?" Kali ini nada suara Aleta yang berubah dingin.

"Ya." Jawab Fadli setelah beberapa saat menatap Aleta sambil berpikir ke arah mana pembicaraan ini.

"Oke. Jadi kalau aku merasa bahagia dengan sesekali memberikan kamu hadiah, kamu ngga mau terima? Berarti kamu ngge menjalankan kewajiban untuk bikin aku bahagia dong?" Aleta berkata sambil menatap lekat bola mata Fadli dan mengangkat sebelah sudut bibirnya.

Fadli terkekeh. "Bukan begitu maksudku, sayang. Maksudku, kamu jangan menghamburkan uangmu untuk membelikanku sesuatu, karena itu bukan kewajibanmu."

"Menghamburkan uang? Kalo aku pake uang setiap hari untuk beli barang-barang mahal yang ujung-ujungnya ngga terpakai, itu baru namanya menghamburkan uang. Tapi ini, sepatu itu kebutuhan. Aku belinya cuma 1, bukan setoko. Belinya juga baru kali ini, ngga setiap hari. Harganya juga ngga sampe ratusan juta. Cuma beberapa ratus ribu, itupun diskon." Aleta terus berkata tanpa henti. Kedua tangannya ditangkupkan ke depan menahan kesal dan keningnya berkerut di atas tatapan matanya yang tajam.

Fadli terpana mendengar istrinya berkata, lalu tertawa sambil memeluknya.

"Iyaaa, iyaaa. Maafkan aku, sayang. Kamu tau kan prinsip aku sebagai laki-laki...." Ucapan Fadli terhenti karena Aleta menyela.

"Yang punya harga diri dan ngga mau hidup dari belas kasihan istri. Gitu kan? Trus bagian mana dari perbuatanku yang menjatuhkan harga diri dan mengasihani kamu? Cuma beli sepatu sesekali buat hadiah, itu kamu anggap menjatuhkan harga diri? Mana ada larangan istri kasih hadiah ke suami? Sejak kapan ngasih hadiah ke suami berarti menjatuhkan harga diri?" Aleta masih belum mau berhenti.

Fadli memeluk Aleta lebih erat dan berkata,"Maaf, sayang. Maaf. Iya aku salah. Maaf."

Aleta terdiam. Tubuhnya yang tadi menegang karena emosi perlahan kembali rileks. Untuk beberapa saat Aleta dan Fadli berpelukan.

"Maafin ya. Yuk kita berangkat." Ucap Fadli sambil memasangkan jam tangan dan blazer untuk Aleta. Rambut Aleta juga dirapikan dan diikat kembali dengan ikat rambut pemberiannya. Aleta tersenyum. Another morning problem, solved.

Mereka berdua bersiap berangkat ke kantor bersama. Aleta memastikan kembali berkas pekerjaan untuk hari ini supaya tidak ada yang tertinggal. Fadli memeriksa jadwal dan lantai gedung yang harus dibersihkan.

Beberapa menit kemudian mereka bersiap berangkat. Berdua berjalan santai setiap hari menuju stasiun kereta terdekat untuk berangkat ke kantor. Walaupun mereka memiliki sebuah mobil, namun mereka lebih suka untuk menggunakannya hanya di waktu-waktu tertentu atau mendesak. Fadli sebagai seorang kepala keluarga tidak ingin menggunakan fasilitas milik istrinya secara cuma-cuma. Sebenarnya Fadli menganjurkan supaya istrinya menggunakan mobil saja sementara dia sendiri naik kereta. Namun Aleta tidak setuju. Berangkat bersama suaminya sambil bergandengan tangan dan mengobrol sepanjang jalan menuju kantor adalah sesuatu yang sangat disukainya.

"Suami dan istri harus selalu bersama." Begitu kata Aleta ketika suaminya bertanya kenapa tidak naik mobil saja.

"Nanti kamu capek." Fadli khawatir.

"Capek? Kan ada kamu. Aku bisa senderan di bahu kamu kalo capek." Aleta menyandarkan kepalanya ke bahu Fadli yang disambut dengan belaian sayang dari Fadli.

Maka rutinitas pagi ini pun sama. Aleta dan Fadli saling berpegang tangan sambil menikmati cuaca yang hangat. Sesekali mereka menyapa tetangga yang berpapasan. Tetangga mereka memandang mereka sepasang suami istri yang anomali. Seorang istri yang bekerja sebagai Manager Pemasaran dan seorang suami yang bekerja sebagai Office Boy di perusahaan yang sama, setiap pagi berjalan dengan romantis seperti sepasang kekasih yang baru saja jadian. Satu tahun usia pernikahan mereka, satu tahun itu pula para tetangga tidak pernah sekalipun mendengar atau melihat suami istri itu bertengkar atau berangkat bekerja secara terpisah.

Banyak dari tetangga yang bertanya, apa rahasia keharmonisan rumah tangga mereka.

Aleta dan Fadli menjawab,"Rahasianya? Tidak ada rahasia di antara kami berdua."

Tapu tentunya itu bukan satu-satunya rahasia keharmonisan rumah tangga. Seandainya saja tetangga tahu apa yang mereka lalui selama ini.