Cahaya mentari pagi masuk melalui celah jendela. Kay terbangun ketika wajahnya diterpa cahaya. Ia membuka kedua matanya dan mengerjapkannya beberapa kali, menatap langit-langit kamar. Kay menghela nafas berat lalu menutupi mata dengan lengan kanannya. Empat hari sudah ia berada di tubuh Alexa. Setiap pagi ia berharap terbangun di tubuhnya sendiri dan menjalani kehidupannya seperti biasanya. Kay duduk di atas kasur yang empuk sambil mengapai ponsel yang ada di sampingnya. Waktu menunjukkan pukul 04.30 dan ia tidak bisa tidur kembali. Perlahan ia menurunkan kedua kakinya ke lantai dingin dan mencoba menggerakkan kaki kanannya yang tidak memakai alat penyangga. Itu sudah membaik dan Kay memutuskan untuk ke rumah sakit untuk berkonsultasi. Juga ia ingin bertemu dengan Daniel yang selalu berada di kamar inap di mana tubuhnya masih terbaring lemah. Kay berjalan dan memasuki kamar mandi untuk bersiap-siap.
Kay menuruni anak tangga dengan pelan dan berjalan menghampiri dapur yang masih sepi. Para asisten rumah tangga biasanya menyiapkan sarapan pada pukul 05.15. Kay menyiapkan segelas kopi untuk dirinya sendiri. Itu adalah ritual dan kebiasaannya tiap pagi sebelum melakukan aktivitas meskipun salah satu ritual sebelum tidurnya menghilang. Kay berada tubuh seorang gadis muda jadi ia tidak bisa meminum minuman alkohol sebelum tidur. Kay mengaduk kopinya dengan perlahan sambil menatap langit pagi yang masih gelap. Ia mendesah ketika kopi mengalir di tenggorokannya. Keheningan yang nyaman terganggu ketika ia mendengar langkah kaki. Saat ia menoleh pada pintu dapur, dilihatnya bu Rani dan Marni memasuki dapur. Mereka tampak terkejut namun Marni tersenyum ketika melihat Kay yang dibalas senyuman dan anggukan. Di sisi lain, bu Rina masih membeku dan menatap Kay seolah-olah dia akan menyerangnya atau melakukan sesuatu. Kay mengerutkan kening pada sikap aneh yang diberikan bu Rina padanya semenjak dia di sini.
"Nona, kamu bangun pagi sekali. Ingin saya buatkan segelas susu?" tanya Marni yang bersiap untuk memasak.
Kay menoleh pada Marni dan menggelengkan kepalanya
"Tidak perlu. Aku akan menunggu di meja makan, kurasa." Ucap Kay yang dibalas anggukan dan senyuman Marni.
Kay menghentikan langkahnya ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan bu Rina padanya.
"Sejak kapan nona minum kopi? Biasanya nona akan merasa mulas jika meminum kopi." Tanya bu Marni yang menatap tajam pada Kay.
Keduanya saling pandang. Entah bagaimana bu Marni sepertinya tahu dia bukan Alexa meskipun Kay tidak bisa membuktikannya. Kay tidak tahu harus merasa apa jika seseorang selain Daniel tahu bahwa dia bukan Kay. Suasana dapur terasa hening karena ketegangan hingga Marni menghampiri Kay dan menyentuh lengannya.
"Mungkin nona tidak bisa tidur jadi dia ingin minum kopi, benarkan? Sekarang sebaiknya nona menunggu sarapan di meja makan dan biarkan kami memasak." Ujar Marni sambil menggiring Kay keluar dari dapur.
Kay menoleh untuk terakhir kalinya pada bu Rina yang masih menatapnya sambil meremas jemarinya. Dia tampak gugup dan takut, tapi kenapa? Batin Kay.
Beberapa menit kemudian makanan disajikan tepat pada saat kedua orang tua Alexa memasuki ruang makan. Mereka berdua mencium pucuk kepala Kay dan duduk di kursi masing-masing. Kay hanya berfokus pada makanannya hingga ibu Haris bertanya
"Kamu tidak memakai penyangga kakimu, apa sudah merasa lebih baik?"
"Iya, kupikir sepulang sekolah ini aku akan ke rumah sakit untuk pengecekan."
"Maaf sayang, papah tidak bisa mengantarmu, begitu juga kakakmu."
"Tidak masalah, pah. Aku akan pakai taksi nanti."
"Tidak, papah menugaskan sopir untuk mengantarmu."
Kay mengangkat bahu lalu menganggukkan kepalanya. Dia mulai terbiasa dengan sikap protektif ayah dan kakak Alexa jadi dia hanya mengikutinya. Setelah menghabiskan sarapan, pak Haris merangkul bahu Kay dan mengantarkannya ke pintu depan. Dua mobil hitam sudah terparkir rapi di depan rumah, menanti pemiliknya untuk menempati. Kay melihat dua laki-laki yang bertugas sebagai sopir sudah membukakan pintu mobil. Kay mengerutkan keningnya begitu dia mengenali kedua orang itu.
"Sayang, itu adalah sopir barumu yang akan mengantar jemputmu sekolah, namanya Erik." Jelas pak Haris.
Kay hanya mengangguk, matanya masih terpaku pada Erik yang membungkuk hormat padanya. Baiklah, kenapa dia ada di sini? Batin Kay. Pikirannya terputus ketika Erik mempersilakannya untuk masuk. Kay memasuki mobil sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan tatapan bingung pada Erik. Perjalanan ke sekolah Alexa tidak terasa bagi Kay yang sibuk menerka-nerka tentang tindakan pak Haris yang menyewa salah satu rekan kerja Kay untuk menjadi sopir. Tentu saja dia tahu, ada alasan dibalik menyewa pengawal pribadi yang berasal dari tempatnya bekerja tapi dia tidak tahu pasti apa masalah yang dialami Alexa dan keluarganya. Red Moon memang menyewakan pengawal pribadi tetapi hanya berjangka pendek dan terikat pada sebuah kotrak. Biasanya para pengusaha atau pejabat memiliki pengawal pribadi yang mereka ambil dari pekerja atau pegawainya, sedangkan pengawal pribadi yang berasal dari Red Moon hanya sebagai tambahan karena memiliki kemampuan di atas pengawal pribadi lain. Untuk menjadi salah satu anggota Red Moon, Erwin memberikan persyaratan yang sulit sehingga hanya memiliki 30 orang yang berhasil masuk, tidak termasuk dirinya dan Daniel. Pada dasarnya, Erwin memaksa Daniel dan Kay untuk bergabung, yang mereka terima pada akhirnya.
Kay turun dari mobil tanpa mengatakan apa-apa dan berjalan ke arah sekolah. Dia akan bertanya pada Adrian nanti tentang situasinya namun saat ini dia harus berlagak seperti anak sekolah pada umumnya yaitu belajar. Kay berjalan di lorong sekolah yang masih agak sepi, hanya segelintir siswa yang sudah datang karena waktu masih menunjukkan pukul 06.20. Kay mendengar langkah kaki di belakangnya dan ia menoleh sedikit untuk melihat seorang siswi dengan mengenakan cardigan rajut berwarna merah muda berjalan di belakangnya. Kay sedikit menepi untuk memberi jalan padanya namun gadis itu justru berhenti berjalan dan hanya menatap Kay dengan tatapan khawatir dan ketakutan.
Astaga, kenapa semua orang menatapku seperti itu? Apa aku terlihat seperti hantu atau semacamnya? Batin Kay agak jengkel.
Dia mendengus dan kembali berjalan meninggalkan gadis itu tetapi tak lama kemudian dia mendengar langkah kaki gadis itu lagi. Kay jadi bertanya-tanya, apa Alexa adalah anak yang mengerikan atau penganggu hingga dapat perlakuan seperti itu. Tiba-tiba dia mendengar suara Miller yang berada di belakangnya, sedang berbicara pada gadis yang dilihat Kay.
"Kenapa kau berjalan lama? Ayo ke kelas." Ujar Miller pada gadis itu.
Gadis itu sepertinya menjawab dengan gerakan karena Kay tidak mendengar apa-apa. Kay hanya berjalan tanpa memedulikan kedua orang yang berada di belakangnya hingga tiba-tiba seseorang menabrak bahunya yang hampir saja membuatnya terjatuh. Dia menoleh ke orang yang menabraknya dan bisa ditebak bahwa itu adalah Miller yang memegang tangan gadis tadi. Kay menutup matanya sambil menenangkan dirinya. Ini adalah pagi yang paling menyebalkan sepanjang dia hidup.
"Silahkan." Ucap Kay dengan penekanan sambil memberi jalan pada keduanya.
Miller dan gadis itu berjalan melewatinya tanpa melihat ke belakang, kecuali gadis itu yang menoleh kembali ke arah Kay yang hanya menatap dengan wajah cemas sambil berjalan kembali.
"Mereka yang berkata bahwa semakin kelas seseorang tinggi semakin mereka tahu sopan santun, kurasa itu hanya omong kosong." Ucap Kay sambil menggelengkan kepala.
Bel sekolah terdengar menggema memenuhi sekolah. Kay dan Lily yang mengobrol sambil menyiapkan alat tulis ke atas meja berhenti berbicara ketika guru wanita masuk ke dalam kelas. Guru itu berdiri di depan kelas dan mengatakan pada siswa untuk membawa pensil dan buku sketsa. Siswa menuruti dan keluar dari ruang kelas untuk menuju ke ruang seni yang diarahkan oleh guru wanita itu. Ruang seni tampak luas dengan beberapa lukisan dan patung di kedua sisi ruangan. Ketika mereka masuk, sudah ada beberapa siswa yang sudah mengisi ruangan. Kay mendengar Lily mengatakan bahwa ini adalah kelas gabungan. Keduanya mengambil tempat di dekat jendela dan duduk paling belakang. Lily mendengus kesal dan memasang wajah cemberut yang diperhatikan oleh Kay. Kay menyenggol bahu Lily dengan bahunya dan menatapnya dengan ekspresi bertanya. Lily menoleh ke arah sisi kirinya dan Kay mengikuti arah ke mana Lily melihat. Rupanya Miller dan gadis yang dilihat Kay pagi tadi duduk di sisi kiri tak jauh dari mereka duduk. Kedua orang itu duduk bersama seorang siswa lelaki yang Kay lihat di lapangan basket, yang diasumsikan sebagai teman Miller. Kay hanya mengangkat bahu dan menatap ke arah guru yang sudah memberikan materi pelajaran.
Untuk beberapa menit, Kay menguap karena bosan. Begitu guru menginstruksikan untuk membuat gambar sketsa, dia melakukannya dengan segera meski Kay adalah seniman buruk. Kay mengerutkan keningnya, berkonsentrasi dengan apa yang digambarnya.
"Apa yang kau gambar?"
Kay melonjak terkejut saat seseorang berbisik di telinganya. Ketika ia melihat kekacauan yang dilakukannya, Kay mengumpat dan menghapusnya dengan perlahan. Ia mendongak untuk melihat Lily dan beberapa siswa yang duduk tak jauh darinya menatapnya.
"Apa?" tanya Kay.
"Kamu mengumpat, Lexa." Ujar siswa lelaki yang berdiri di belakang Lily dengan seringai di wajahnya.
"Oh, benarkah? Sorry." Ucap Kay tak acuh dan melanjutkan membersihkan kekacauan yang dibuatnya.
"Aish...ini benar-benar kacau. Aku harus mengulangnya." Ucap Kay pada dirinya sendiri.
"Wah, aku terkejut melihat sikap manja dan egoismu berubah menjadi orang yang kasar."
Kay menoleh pada orang berbicara dan mendapati bahwa Miller adalah yang berbicara. Kay hanya mendengus dan mengabaikannya. Namun kesabarannya semakin menipis ketika beberapa siswa mulai berbicara padanya.
"Benar, aku tidak tahu Alexa berubah menjadi seperti ini."
"Mungkin setelah kecelakaan kepalanya terbentur dengan keras."
"Oh, kau benar."
"Kau salah, itu bukan kecelakaan, itu bunuh diri."
"Hei Alexa, benarkah itu? Itu menyedihkan."
Beberapa siswa mulai tertawa pelan. Lily menatap Kay dengan tatapan khawatir dan menghentikan beberapa siswa yang masih mengejeknya. Kay mengedarkan pandangannya untuk menemukan guru seni tetapi rupanya guru itu keluar dari kelas. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi sambil menyilangkan tangannya dan menatap beberapa siswa yang masih berbicara atau tertawa. Kay hanya menatap bosan pada mereka dan tidak berbicara apa-apa.
"Hentikan! Kenapa kalian memperlakukan Alexa seperti itu?" teriak Lily.
"Oh lihat, temannya mengamuk." Celetuk salah satu siswa, yang disambut gelak tawa yang lain.
Kay menatap Lily yang kini sudah berdiri dengan wajah marah dan kedua tangan yang mengepal. Dia tidak percaya mereka menertawakan dan membuat gurauan tentang apa yang dialami Alexa. Apa remaja sekarang kehabisan stok rasa simpati dan empati? Batin Kay sambil menggelengkan kepalanya.
Kay memegang pergelangan tangan Lily yang membuat orang terakhir menoleh padanya dengan wajah memerah dan mata berkaca-kaca. Dia menarik Lily untuk duduk dan menepuk punggungnya sambil berkata
"Tenanglah Lil, lihat bagaimana wajahmu memerah. Sekarang kau terlihat seperti Hell Boy." Canda Kay sambil terkekeh.
"Tapi mereka seharusnya tidak berbicara seperti itu padamu. Kalian tidak tahu apa-apa!" teriak Lily lagi dengan marah.
"Sudahlah, jangan membuang-buang tenagamu. Apa mereka menanggapimu?"
Kay memperhatikan Lily yang menatap siswa lainnya yang terkikik dan beberapa dari mereka bahkan membuat gerakan mengejek. Kay menepuk bahu Lily dan memijatnya untuk membuatnya rileks.
"Lihat? Kau hanya membuang-buang waktu dan tenaga pada orang-orang idiot." Ucap Kay santai sambil menyandarkan tubuhnya dengan menyilangkan tangan di depan dada dengan seringai terpampang di wajahnya.
Tiba-tiba kelas menjadi sepi setelah ucapan Kay. Beberapa siswa menatap Kay yang dibalas dengan tatapan dingin oleh Kay dengan seringai di wajahnya. Beberapa siswa mengalihkan pandangannya dari Kay dan melanjutkan aktivitas mereka tanpa membalas ucapan Kay. Begitu tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, Kay melanjutkan sketsa yang dibuatnya. Ia mendongak ketika merasakan tatapan padanya dan melihat Lily menatapnya dengan wajah terkejut. Lelaki yang berdiri di belakang Lily dan Miller serta gadis yang duduk di sebelahnya juga menatapnya heran. Kay menghela nafas lagi dan entah bagaimana ia merasa lelah padahal hari bahkan masih pagi.
"Jangan menatapku dan kembalilah belajar." Ucap Kay dengan tegas.
Mereka mengerjapkan mata dan mulai berfokus pada buku sketsa.
"Aish...benar-benar." Ucap Kay sambil memijat jembatan hidungnya.
"Seperti yang bisa dilihat, kakimu sudah membaik. Berhati-hati dan minum vitamin yang saya berikan. Jika ada keluhan, datanglah lagi ke sini." Ujar dokter lelaki dengan senyuman.
"Terima kasih, dokter. Kalau begitu saya permisi. Selamat sore." Ucap Kay sambil berdiri.
Kay meninggalkan ruangan setelah mendapatkan jawaban dari dokter. Setelah hari yang melelahkan di sekolah, ia datang ke rumah sakit seperti yang direncanakannya. Akhirnya ia tidak menggunakan penyangga kaki yang membebaninya lagi. Kay berjalan di lorong rumah sakit, melewati beberapa pengunjung atau pasien yang berlalu lalang. Tak berselang lama, ia melihat ruangan yang dituju. Kay membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang sepi. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sosok lelaki dengan tinggi 175 yang tidak pernah absen dari ruangan itu. Kay menutup pintu di belakangnya ketika ia tidak melihat Daniel di dalam ruangan. Ia berjalan menghampiri ranjang rumah sakit dan duduk di kursi sisi ranjang. Kay bersandar pada kursi dan menghela nafas sambil menatap wajah miliknya sendiri.
Kay tidak menyadari berapa lama ia menatap kosong pada tubuhnya yang terbaring lemah ketika ia mendengar pintu terbuka. Ia menoleh ke arah Daniel yang memasuki ruangan dengan wajah mengantuk. Kay akan mengatakan sesuatu ketika Daniel mulai berbicara
"Apa yang kau lakukan di sini?" ucap Daniel dingin sambil menatap wajah Kay.
"Hei idiot, apa kita harus mengulang lagi apa yang terjadi padaku?" ucap Kay kesal.
Wajah Daniel yang bingung berubah setelah ia menyadari ucapan Kay dan menggaruk tengkuk lehernya sambil cengar-cengir. Daniel memasuki ruangan dan berjalan menuju sofa yang berada di sisi kanan ranjang. Kay menghampirinya dan menghempaskan tubuhnya ke atas sofa sambil menengadahkan wajahnya.
"Kadang aku lupa, Kay. Jadi kenapa kau ada di sini?" tanya Daniel yang kini memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Kay.
"Aku memeriksa kakiku, maksudku kaki Alexa. Urgh.... aku mulai muak dengan keadaan ini." Ucap Kay sambil mengacak-acak rambutnya.
"Hei, tenanglah. Kita akan mencari jalan. Tapi aku belum menemukan dukun yang tepat untuk membantu kita."
"Ini menyebalkan, kau tahu? Aku bahkan mendapatkan perlakuan kekanak-kanakan dari teman-teman Alexa. Meski aku sadar itu ditujukan untuk Alexa."
"Kenapa?"
Kay menghela nafas dan menoleh ke arah Daniel sebelum menjawab
"Mereka mengejek tentang kejadian yang dialami Alexa dan mengatakan bahwa dia memalukan karena melakukan upaya bunuh diri."
"Bukankah itu benar?"
"Tentu saja tidak. Aku tahu bagaimana orang yang berniat bunuh diri dan Alexa bukanlah satu. Sebelum tubuhnya menghantam mobilku, aku melihat dia begitu terkejut dan ketakutan."
"Benarkah? Menurutmu apa yang terjadi?"
"Entahlah. Jika aku lihat dari gerak tubuhnya sebelum aku menabraknya, ada dua kemungkinan. Satu, dia tersandung atau terjatuh. Dua, dia di dorong."
"Maksudmu itu percobaan pembunuhan? Wah..."
Kay menganggukkan kepalanya. Kemudian ia mengingat tujuan utamanya ke sini.
"Hei, apa kau tahu? Erik bertugas untuk mengawal Alexa."
"Benarkah? Ah aku ingat, pak Erwin sebelumnya menawariku perkerjaan setelah kontrak dengan jaksa Sebastian sudah habis tetapi aku menolak. Jadi rupanya itu pekerjaan yang berasal dari keluarga gadis ini."
"Apakah kau pernah mendengar tentang Lukman Haris?"
Daniel menatap Kay dengan heran.
"Kau tidak tahu tentangnya? Dia adalah pengusaha sukses yang memiliki perusahaan teknologi terbesar. Dia juga pengusaha kelapa sawit."
"Benarkah? Kalau begitu aku masuk ke tubuh anak pengusaha kaya raya?"
"Kau terkadang bodoh, Kay."
Daniel berteriak kesakitan setelah mendapatkan pukulan di kepalanya oleh Kay dan mengelus kepalanya dengan wajah cemberut. Akhir-akhir ini yang dipikirkan Kay adalah bagaimana caranya kembali pada tubuhnya sendiri dan lupa mencari tahu latar belakang keluarga Alexa.
"Kau tahu, mungkin mereka mendapatkan ancaman atau semacamnya sehingga pak Haris menyewa Erik. Tidak menutup kemungkinan dia memiliki banyak musuh dari pesaing bisnisnya."
"Hmm...Yah, aku mengerti. Seseorang akan menjadi buta dan melakukan apa pun untuk jabatan dan uang. Termasuk membunuh pesaing kita." Ucap Kay menatap kosong pada dinding.