Alyx telah tiba di wilayah metropolitan terbesar di London. Sekarang masih musim panas. Hawa terasa hangat. Bagi orang lain, mereka akan menghabiskan musim ini dengan bermain, tapi Alyx memilih untuk segera kembali ke apartemen yang telah ditempatinya sejak hampir dua tahun yang lalu.
"Alyx, kau kembali." Senyum hangat dari Indah segera menyambutnya. Intan, orang Indonesia yang menikah dengan seorang pria Inggris dan telah tinggal lebih lama di tempat ini sebelum Alyx. Dia mengurungkan niatnya untuk masuk. "Bagaimana Indonesia?"
"Not bad," gumam Alyx, menggerakkan bahu.
"Ah, kau pasti sangat lelah sekarang. Aku tidak akan mengganggu. Tapi…" kalimat Intan terhenti, dia memperlihatkan giginya, menunjukkan ketidaknyamanan.
Alyx baru saja akan melangkah masuk. "Ada apa?"
Mata Intan terbuka, "beberapa hari yang lalu, dua orang pria datang, mencarimu."
"Mencariku?" kening Alyx terangkat.
"Aku bertanya ada apa, tapi mereka tidak menjawab. Sepertinya mereka bukan orang yang baik. Kau sedang tidak punya masalah dengan orang seperti itu kan?" Intan ingin memastikan.
"Tidak. Kurasa aku tidak pernah meminjam uang dari mereka," Alyx tertawa kecil. "Terima kasih informasinya." Dia masuk lebih dulu.
Alyx meletakkan tas jinjingnya yang berisi peralatan kamera dan tidak lupa menyimpan ransel di tempat yang aman. "Siapa mereka?" Alyx bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kemudian menyimpulkan dia tidak tahu siapa orang-orang yang mendatangi apartemennya. Dan memutuskan tidak akan lagi memikirkan mereka. Kalau penting, tentu mereka akan kembali menemuinya.
Setelah membereskan barang-barang, membuat Alyx lapar. Dia memutuskan untuk keluar berbelanja.
"Miss Alexandra, ada banyak surat yang datang semenjak kau pergi," kata Jane seseorang yang biasa menemani Tom—receptionist apartemen—untuk berjaga menerima telepon.
"Benarkah? Mana Tom? Baru kali ini aku tidak melihatnya di sini." Alyx melihat beberapa surat dan meletakkannya kembali.
"Sudah seminggu dia tidak di sini. Dia hanya mengatakan ada masalah kecil yang harus segera diselesaikannya."
Alyx bergumam sebentar, "Ehm, baiklah, aku akan mengambilnya nanti. Aku harus ke supermarket dulu."
Jane mengangguk.
Alyx hanya perlu berjalan untuk mencapai supermarket tempatnya berbelanja perlengkapan sehari-hari.
"Apa saja yah yang harus kubeli?" tanyanya tepat pada dirinya sendiri sementara tetap berjalan dengan langkah panjang. "Tidak… tidak…" dia segera menghapus pikirannya mengenai membeli makanan instant.
Keranjang dibawanya ke kasir. Membayar. Dan meninggalkan supermarket. Alyx berhenti tiga meter dari parkiran setelah keluar. Dia berbalik memastikan. Sepertinya seseorang mengikuti atau hanya perasaannya saja. Tapi, di kota besar seperti ini, tidak ada yang perlu diragukan lagi. Oh, mungkin saja benar ada orang lain yang mengincar nyawanya.
Alyx tersenyum. Mengingat dirinya bukanlah orang penting, mungkin tidak seharusnya dia mengkhawatirkan hal seperti itu. Alyx mempercepat langkahnya setelah untuk ketiga kalinya mendengar perutnya berbunyi.
Tiga kantong dibawanya kembali ke apartemen.
"Jane, mana suratnya?"
Jane menyerahkan surat dalam beraneka ragam bentuk dan warna. "Baru saja seorang pria mengantar ini," Jane menunjuk amplop yang diletakkannya di bagian paling atas.
"Trims, Jane."
Setelah mengkunci pintu flatnya, Alyx meletakkan surat di atas meja, dan menuju dapur menyusun barang belanjaannya di dalam lemari pendingin. Sedang isi dari kantong yang lain dimasukkan ke dalam lemari. Tadinya dia tidak bermaksud membeli makanan instans, seperti mie, tapi dia berpikir akan membutuhkan makanan-makanan itu segera, seperti saat sekarang ini.
Alyx memasukkan mie ke dalam air yang telah mendidih. Kemudian, duduk di atas meja di samping kompor listrik, sambik mengaduk telur yang baru saja dimasukkannya. Baginya mie memang sudah menjadi makanan yang selalu diperhitungkan. Setelah dilihatnya matang, Alyx mengambil mangkuk, dan menyantapnya di depan TV.
Beberapa kali menyeruput mie panjang, Alyx telah selesai. Dia menyingkirkan mangkuknya, menaikkan kakinya di atas meja. Di tengah aktifitas menonton TV, dia melihat surat-surat yang diletakkan di samping majalah.
Alyx membaca surat dengan beberapa pengirim di amplop, tidak ada yang membuatnya tertarik, kecuali amplop tanpa nama pengirim. Hanya ada nama Alexandra. Amplop berwarna putih, terlalu sederhana jika yang mengirim itu adalah penggemarnya, biasanya penggemar-penggemar hasil jepretannya mengirim dengan amplop yang istimewa. Jadi bisa dipastikan, orang yang mengirim ini bukanlah penggemar Alyx.
Tulisan yang sama membuat Alyx yakin, pengirim surat ini adalah orang yang sama. Dan karena ada enam buah, sepertinya orang itu mengiriminya surat di hari dia akan berangkat ke Indonesia.
Alyx segera membuka amplop. "Ha, apa-apaan ini?" Hanya ada sebuah kalimat di kertas itu. Alyx melemparkan kertas ke atas meja dan membuka yang lainnya. Lagi-lagi hanya ada sebuah kalimat singkat. "Kau di rumah sekarang? Segera nyalakan HPmu. Iya aku di sini," Alyx menjawab seenaknya. "Kudengar kau mau pergi? Kau jangan pergi." Dia menyingkirkan itu. "Ini hari kelima. kuharap kau sudah kembali." Alyx mempercepat tangannya membuka amplop-amplop itu. "Kau sudah kembali?" Kalimat ini lagi.
Alyx memperhatikan kembali surat-surat itu dan mencoba menyusunnya. "Pastinya ini sebelum aku pergi. Kemudian ini, benar kan?" Dia memulai berbicara pada dirinya sendiri. "Hari kelima dan nya…lakan Hpmu."
Alyx berdiri menuju ruang tidurnya, mengambil smart phone yang tadi dicharge-nya. "Sudah penuh." Dia mengambilnya dan hanya melihati barang yang selalu dibawanya itu.
"Sepertinya orang itu tahu kalau aku sudah kembali." Dia menjadi bingung, haruskah dia menyalakannya sekarang atau hanya membiarkannya. "Aku nyalakan saja, kalau pun bisa magic, orang itu juga tidak akan keluar dari hp ini."
Alyx mengaktifkan smart phone miliknya, menunggu beberapa saat, tapi tidak terjadi apa-apa. "Apa maksudnya? Apa orang itu ingin mengirim pesan. Ah… Membuatku bingung saja. Sudahlah." Alyx berdiri mengambil mangkuk dan gelas.
Alyx hampir saja menjatuhkan gelas saat mendengar bel flatnya berbunyi. Dia mempercepat langkahnya menuju dapur dan segera keluar melihat tamu yang datang. Senyum lebar terbentuk di wajahnya.
"Michi, kau datang."
"Sepertinya kau sudah sangat rindu padanya," pria yang membawa Michi itu tersenyum.
Alyx meraih Michi yang sepertinya segera tahu kalau dia sudah berada di pelukan tuannya. Dia mengeong keras.
"Terima kasih telah merawat Michi," ucap Alyx setelah mengambil keranjang Michi. "Ah, perutmu membesar, apa kau makan banyak?" Alyx mengelus perut Michi dan mengajaknya bermain di sofa.
Di tengah permainan mereka, sepertinya Michi lebih tertarik pada kertas-kertas di meja, sama seperti tuannya yang sedari tadi memikirkan mengenai pengirim surat itu. Mungkin saja dia mengirim surat itu untuk mengingatkan Alyx mengenai bahaya yang akan ditemuinya, tapi bukankah tidak terjadi apa-apa. Lalu apa maksud pengirim itu sebenarnya. Dan sesaat kemudian gagang telepon telah menempel di telinganya.
"Halo," suara seorang pria menyapa.
"Tom, kau sudah kembali, ini aku Alyx."
"Ada apa, Miss?"
"Bisa kau sambungkan pada Jane, aku ingin menanyakan sesuatu padanya."
"Sudah kusuruh pergi. Maksudku dia tidak sedang di sini. Memang ada apa?" Nada suara Tom terdengar berubah.
"Sepertinya kau tidak akan tahu mengenai ini, seperti kata Jane kau juga tidak di sini selama seminggu ini. Tapi, apa kau bisa menebak siapa yang mengirim surat-surat ini?"
"Surat-surat?"
"Iya, kurasa tukang pos tidak mengirim surat pada penerima surat yang tidak jelas. Hanya ada namaku saja di amplop. Mungkin orang itu membawanya sendiri."
Tak ada suara untuk beberapa saat. "Mungkin saja. Bisakah aku melihatnya?"
"Tidak terlalu penting, Tom."
"Surat tanpa nama pengirim?" tanya Tom kemudian.
"Iya, itu."
Kembali hening, untuk sesaat. "Kurasa hanya orang iseng, Miss. Dia mengatakan sesuatu yang salah?"
"Tidak. Hanya seperti sedang memperingatkan sesuatu."
"Kurasa memang orang itulah yang mengirimnya."
"Kau tahu?"
"Aku tahu bayak orang yang sering berbuat iseng seperti itu."
"Ehm, baiklah untuk lebih jelasnya, aku akan bertanya pada Jane kalau dia sudah datang." Alyx mengakhiri pembicaraan. "Kenapa aku bersikap seperti seorang detektif. Sudahlah, lebih baik aku istirahat," gumamnya saat melihat Michi yang sudah tertidur di sampingnya.
*