webnovel

BAB1

Hujan mulai turun dan semakin deras. Di antara suara rintik yang diselingi klakson bersahut-sahutan, aku berdiri kedinginan. Aku terjebak di depan salah satu ruko di Jalan Harapan Raya. Sore ini aku harus menemui Neti, kekasihku. Namun, sepertinya hujan tidak mengizinkan aku melihat senyum Neti. Lama aku menatap jalanan yang masih disesaki kendaraan yang lalu-lalang. Sementara, aku masih berdiam di sini. Kalau nekat jalan, pasti aku basah kuyup.

"Yogi, kamu di mana?" "Aku terjebak hujan, Net

."

Lalu, dia tidak membalas pesan singkatku. Ya, aku tahu Neti pasti kecewa kepadaku. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, sekaligus hari jadi hubungan kami yang memasuki tahun kedua. Neti adalah perempuan yang mengingat momen apa pun dan selalu merayakan hari istimewa hampir semuanya. Terkesan berlebihan memang. Namun, bukankah perempuan memang suka begitu? Melakukan hal-hal yang kadang tidak wajar bagi lelaki. Meski tidak mengikuti ritual tukar kado tiap bulan, Neti selalu menginginkan kami untuk merayakan tiap bulan hari jadian. Dia melakukannya sampai satu tahun hubungan kami.

Katanya, merayakan hari jadi tiap bulan selama satu tahun pertama adalah cara untuk menguatkan fondasi hubungan kami. Menurut Neti, tahun pertama adalah tahun penentuan hubungan sepasang kekasih. Dan, aku mampu melewatinya dengan Neti. Meski sering kali Neti kesal karena aku lupa tanggal jadian kami, hal itu tak pernah sampai menjadi masalah yang runyam.

Sejujurnya, aku memang tidak begitu suka mengingat hal seperti itu. Bagiku, mengingat tanggal jadian tidak akan membuat cinta semakin merekat. Karena cinta bukan untuk dihitung hari, melainkan untuk dijalani sepenuh hati. Sampai di tempat kita tidak lagi sanggup melangkahkan kaki membawa hati.

Hujan pun mereda. Tetesannya kini hanya tinggal gerimis. Satu per-satu angkot berwarna merah dan oranye masih lalu-lalang di depanku. Meski angkot menjadi hal yang unik di kota ini, aku kurang suka dengan sopirnya, karena sering ugal-ugalan. Atau apakah rata-rata sopir angkot memang suka ugal-ugalan? Aku mengulurkan telapak tanganku ke udara, memastikan hujan apakah sudah reda. Setelah merasa yakin, aku pun berangkat menuju YKWI Sakuntala dengan motorku. Di antara sisa gerimis itu, aku menaruh harapan agar bisa bertemu dengan Neti. Aku bahkan sudah menyiapkan kado untuknya. Sebenarnya, kalau hujan tidak turun, aku dan Neti pasti sudah bertemu. Dan, kami pasti sudah memenuhi ruang kelas dengan tawa.

Aku berjalan menuju kelas. Rambutku agak basah terkena imbas gerimis yang belum usai. Aku mengelapnya dengan saputangan sebelum masuk ke kelas. Memastikan wajahku tidak berantakan saat bertemu Neti.

"Kok baru datang?" tanya Santi.

"Neti mana?" tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaan Santi.

"Udah balik." Panjul menjawab malas. Dia sibuk dengan laptopnya.

"Kau sih, pakai telat segala. Dia udah nungguin kau dari tadi." Doli menambahkan.

Mereka memasang tampang kesal.

Lho, kenapa aku yang disalahkan? Aku kan tidak bermaksud untuk telat. Kalau mau menyalahkan, salahkan saja hujan. Hujanlah yang membuatku datang terlambat. Lagi pula, aku baru terlambat satu jam. Itu bukan waktu yang lama untuk menunggu saat hujan deras seperti tadi.

"Kalian kenapa, sih?" Aku bertanya heran, menatap tiga sahabatku itu.

"Yogi, kamu nggak nyadar juga ya? Parah!" Santi mengalih-kan wajahnya ke jendela.

"Tunggu. Maksud kalian apa? Aku belum mengerti maksud kalian ini."

"Jelaskan, Dol!" Panjul meminta Doli menjelaskan kepadaku, lalu dia kembali sibuk dengan laptopnya. Dia memang suka begitu, sibuk dengan laptopnya sampai tidak tahu waktu. Runtinitas dengan layar laptop yang berlebihan itu, membuat matanya harus menggunakan kacamata.

"Hei, kalian nggak lihat hujan deras banget tadi?"

"Terus, apakah cintamu dikalahkan hujan?" serang Santi kepadaku.

"Santi. Apa-apaan sih ini!"

Aku tidak mengerti dengan sahabat-sahabatku hari ini. Terutama Santi, apa maksudnya membandingkan cintaku dengan hujan? Dasar perempuan aneh. Apa-apa dikaitkan. Dasar Ratu drama!

Aku menatap mata Santi. Mata yang biasanya tenang, kini menyimpan kesal yang tidak bisa disembunyikan. Aku tak paham apa yang mereka pikirkan tentang semua ini. Bukankah hal seperti ini tidak perlu dipermasalahkan secara berlebihan?

***

Malam itu, aku datang ke rumah Neti. Aku menelepon sebelum sampai di depan rumahnya. Seperti biasa, dia tidak mengizinkanku untuk bertamu di rumahnya. Awalnya dia tidak mau bertemu denganku, mungkin masih kesal dengan kejadian tadi siang. Namun, saat aku katakan aku akan datang ke rumahnya, dia memintaku menunggu. Neti tahu, aku akan nekat datang jika dia tidak mau menemuiku.

Dua anak kecil datang menyanyikan lagu. Mengamen. Wajah mereka terlihat lusuh. Tidak terurus. Suara mereka pun terdengar biasa saja. Cenderung cempreng bahkan. Aku kasihan melihat mereka. Segera kuambil satu lembar uangku, lalu mereka pun berhenti menyanyi. Setelah kuberi uang kertas dua ribu, mereka langsung pergi. Tanpa terima kasih.

Beberapa menit kemudian, Neti datang diantarkan oleh adik lelakinya.

Aku ingat betul. Dulu, ketika kami sedang bercanda, aku suka memegang hidungnya. Rambut Neti ikal dan hitam kepirang-pirangan, terlihat berkilau diterpa sinar cahaya lampu jalan. Meski tak sejenjang model-model ternama, tubuh Neti terbilang cukup sedang namun berisi untuk ukuran perempuan Indonesia rata-rata. Sayang, kekesalan yang tersirat di wajah Neti seolah berusaha merebut segala keindahan itu.

"Kamu main aja dulu, tapi nanti jemput Kakak ya, setengah jam lagi." Adiknya kemudian meninggalkanku dan Neti di depan Warung teman kami bernama Lidya malam itu. Di bangku yang dingin terkena hujan sore tadi, aku merasa sikap Neti lebih dingin daripada udara malam itu.

"Maaf...." Aku membuka pembicaraan.

"Udah. Lupain aja," ucapnya dingin.

"Tapi, aku nggak bermaksud seperti itu."

"Yogi..." Dia menatap mataku. "Hari ini, dua tahun hubungan kita. Aku nggak mau bertengkar. Aku nggak mau berdebat." Suaranya terdengar lelah.

Aku memilih diam. Aku merasa bersalah telah menunggu hujan reda. Harusnya, aku bisa menerobas hujan dan membiarkan tubuhku basah kuyup, jika dengan begitu Neti—juga Santi—bisa menganggapku benar-benar mencintai Neti. Dan, Neti tidak akan meragukanku seperti malam ini.

"Selama dua tahun ini, aku sering melakukan hal aneh di mata kamu. Merayakan hari jadi tiap bulan pada tahun pertama misalnya. Tapi, aku melakukan semua itu untuk hubungan kita."

"Neti..., aku nggak bermaksud membuatmu berpikir begitu."

"Tapi, kamu nggak pernah benar-benar ikhlas kan, melakukan semua itu?"

Benar, aku memang tidak terlalu suka hal seperti itu. Namun, bukan berarti aku tidak mencintai Neti. Bagiku, mencintai Neti tidak bisa ditakar dengan perayaan bulanan, tahunan, atau apalah namanya. Aku mencintai Neti sepenuh hatiku. Tidak sekadar membakar dan meniup lilin di kue brownis. Bukan juga perkara bertukar kado setiap bulannya. Bukan begitu. Aku mencintai Neti dengan caraku. Dengan aku tidak mencintai perempuan lain selain dirinya. Aku bahkan tidak pernah berniat membuka hati kepada siapa pun, kecuali untuknya.

Apa itu kurang?

"Neti, kita sudah dewasa, aku cuma nggak mau melakukan ritual seperti remaja labil itu."

"Remaja labil?" Mata Neti membelalak kepadaku. Dia seperti menahan air bah di bola matanya.