Aku tak mengerti dengan wanita yang ada di depanku. Ia tiba-tba menangis tanpa sebab. Aku terus memanggil namanya, namun ia tak menjawab apapun. Ia hanya menangis dan semakin hebat tangisannya.
Dalam kepanikan aku miminta Luke untuk memanggil dokter.
"Vina kumohon, katakan ada apa? Jangan membuatku takut!" Ia tak menyahut. Matanya sangat kosong. Ia menatapku, tapi tak tahu apa yang ia lihat.
Aku memanggil Sandra dan meminta bantuannya. Namun, Sandra tak menjawab.
Tak tahu harus bagimana. Aku memeluknya.
"Sudah, kumohon. Tenanglah. Tidak akan ada yang menyakitimu." kataku. "Aku di sini, ini belum berakhir. Siapaun tidak akan kubiarkan menyakitimu."
Tangisannya benar-benar terasa hampa. Tubuhnya berkeringat dingin. Kemana Lux dan dokter itu. Mengapa lama sekali?
Aku tak bisa berbuat apapun. Aku belum pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya. Kemarin, ia telihat sehat dan baik-baik saja. Pagi ini, saat kembali dari tempat Budayana, ia terlihat buruk!
Pria itu, apa yang telah ia perbuat padanya? Aku tak akan memaafkannya.
"Vina, kumohon tenanglah. Ini belum berakhir. Aku akan lakukan apapun, agar tak seorang pun menyakitimu. Ku mohon tenanglah."
Kata-kataku seperti terpental begitu saja. Tidak berguna, apa ia tidak mendengarku? Saat memeluknya, entah mengapa aku merasakan sakit luar biasa di hatiku. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?!
Dalam kebingungan, aku memutuskan untuk diam. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Hanya memeluknya se-erat mungkin dan berharap ini bisa membuatnya tenang. Aku mencoba mengosongkan pikiranku.
Satu dua menit seperti tak terjadi apa-apa. Tuhan, kumohon. Aku tak pernah meminta apapun. Doaku dalam hati.
Sekitar lima menit berlalu, nafas Vina mulai melambat. Kurasa, ia mulai tenang. Aku tak ingin membuatnya panik, masih terus memeluknya dan berusaha membuatnya tenang dengan pelukan ini.
"Aku kehilangan semuanya…"katanya lirih. Tangisnya mulai berhenti.
"Semua hal yang aku suka." Mendengar perkataannya membuatku terkejut. Aku melepaskan pelukanku sejenak dan mentaap wajahnya. Ia masih terlihat kosong.
"Tas, pakain, pekerjaan bahkan juga orang yang aku cintai. Semua hal yang aku cintai akan diambil dariku oleh Tuhan."
Mendengar hal itu membuatku menjadi menjadi sakit. Hanya memeluknya kembali, berusaha agar ia tidak kembali menangis dan semakin kosong.
Semakin ke sini, Vina semakin bicara yang tidak-tidak. Kali ini, aku tidak takut. Aku hanya merasa, kasihan padanya.
"Aku lelah, semua pada akhirnya Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Semua ini, akan segera diambil dariku."
Aku mengusap lembut kepalanya. Kurasa, wanita ini sedang depresi berat.
"Vina, tidak ada hal seperti itu di dunia ini."
Aku mengusap punggungnya dengan lembut.
"Masakah kita hanya mau menerima yang baik saja dari Tuhan tapi menolak yang buruk?" kataku lagi.
Aku menunggu responya.
"Jika sesuatu memang diambil dari kita, pasti semua akan Tuhan gantikan dengan yang lebih baik. Aku ada di sini, tidak akan ada satu pun hal yang akan diambil darimu. Tidak olehku, tidak juga oleh Tuhan. Tuhan tahu benar mana yang benar-benar milik kita dan mana yang bukan."
"Tapi aku mencintainya…." Isak Vina.
Cinta? Apa ini tentang Andrew Lau yang bodoh itu? Oh Tuhan, haruskan aku menemukannya dan menyeretnya agar ia meminta maaf pada Vina?
"Aku sangat mencintainya…"
Aku sedikit mendorong tubuhnya untuk melihat wajahnya. Jika kau Georgia, aku pasti sudah mendorongmu saat ini. Kau mengatakan mencintai orang lain di depan orang yang menikahimu secara sah. Apa kau sadar dengan keadaanmu?
"Tapi ia tidak mencitaimu.", jawabku lirih.
"Mengapa?" air matanya mulai mengalir lagi. Meski sangat sedikit tapi ini cukup terlihat.
Tak memiliki jawaban yang ia minta, aku hanya memeluknya. Lux datang dan membawa dokter. Vina tidak menyadarinya.
Dokter mengeluarkan jarum suntik. Ia mendekati kami perlahan.
Aku memberinya tanda untuk tak menyentuh Vina. Ia mengatakan dengan gerakan mulutnya, bahwa ia tak punya pilihan lain selain memberinya obat penenang.
Sementara Vina masih kacau dalam pelukanku. Aku mengalihkan perhatiannya dengan bicara.
"Ia tidak mencintaimu karena suatu hal yang tak ingin kau tahu." Kataku lirih.
Dokter nenusukkan jarum suntik ke lengannya. Ia terlihat kesakitan dan menoleh ke arah dokter. Dokter itu terlihat terkejut dan takut. Aku pun takut kalau-kalau Vina akan menampar atau melawan.
"Apa yang kau…"
Dan wanita itu pingsan. Si dokter terlihat lega dan berkeringat banyak. Dokter itu membantuku membaringkan Vina.
"Aku akan berjaga di luar, jika sesuatu terjadi kita akan membawanya ke rumah sakit." Kata dokter itu.
Luke mendekatiku.
"Cari Budayana cari tahu apa yang sudah ia lakukan padanya."
Luke terlihat terkejut. "Satu lagi, Andrew Lau. Bisakah kita menyeretnya dan membuatnya berlutut memohon pengampunan pada Vina?"
Luka tak menjawab dan langsung pergi. Sandra masuk dan membawakan minuman untukku dan Vina.
"Semua akan baik-baik saja." Sandra meletakkan minuman di meja. "Setiap orang mengalami beban mentalnya masing-masing. Vina beruntung ia memiliki pria sepertimu. Saat kau bermusuhan dengan Georgia, aku melihatmu benar-benar berjuang sendiri."
"Aku bahkan tak tahu apakah aku berguna baginya atau tidak!"
Sandra terkejut, tapi ia tak berani mengatakn apapun. Ia segera keluar dan menutup pintu. Aku meminta Angela untuk masuk dan membawa laporan yang Vina minta dari Penny dan Moore. Aku melihatnya satu per satu.
Suruh Penny pulang dan pastikan keluarganya aman. Moore, biarkan dia tingal. Vina ingin bicara saat ia bangun nanti. Angela tak banyak bicara dan melakukan tugasnya. Ia sangat bisa diandalkan untuk hal-hal seperti ini.
Aku membaca semuanya satu per satu. Healing Trill Departement. Beberapa karyawan mendapatkan gaji mencurigakan. Tidak sesuai dengan posisi mereka. Astaga mengapa sebanyak ini. Hampir di setiap kantor ada. Tak jarang mereka adalah dokter, teknisi dan kepala keuangan. Apa tak ada jalan lain mendapatkan uang dengan cepat?
"Nyonya Truxbell mengunjungi Tuan Budayana malam tadi. Ia memberikan sekoper uang. Ia ingin agar pria itu mengalah dalam persidangan." Jelas Lux melalui panggilan telepon.
"Jika hanya seperti itu, Vina tidak akan mengalami trauma."
Aku menutup sambungan dan bertanya pada Hansel. Kurang dari setangah jam Hansel tiba dengan
"Dia kekasihku." Jelasnya padaku.
Sejak kapan ia memiliki kekasih dan mendapatkan kekasih normal?
"Ada apa Tuan Immanuel, apa kami terlihat tak cocok?" tanyanya padaku. Aku tak tahu harus menjawab apa.
"Justru sebaliknya. Kau memilih orang yang tepat sekarang." Jawab Angela menyelamatkanku.
"Lihat benar bukan? Cinta memang tak pernah salah memilih tuannya." Celetuk pria itu. "Jadi apa yang bisa kami bantu."
Sebelum menjawab aku melihat wanita yang Hansel bawa. Hanya melihat caraku menatap wanita itu, ia langsung menyadari.
"Sayang, tunggulah di samping kolam. Ada hal yang harus aku selesaikan. Aku janji. Ini tak akan lama."