Keesokan paginya , alarm berbunyi tepat pukul 05.00 . Gadis itu membuka matanya lebar dan menggeliat berusaha mengumpulkan nyawanya yang belum terisi penuh. Ia memastikan dirinya benar-benar sadar dan berlari menuju kamar mandi. Namun , baru saja ia meraih handle pintu tiba-tiba ia mendengar suara pintu kamarnya diketuk . Ia menghembuskan nafasnya kasar dan membuka pintu dengan hati menggerutu .
"Siapa?" ujarnya tanpa memandang orang di balik pintu .
" Apa Anda benar-benar merasa terganggu, hingga memasang raut wajah seburuk itu Nona Muda . "
Diza sontak terkejut dengan suara yang ia dengar . Bukankah itu suara Satya? Bagaiman mungkin sepagi ini? Bukankah ia bilang pukul 6.30.
" Kenapa kau ada disini kak? Aku bahkan belum bersiap." ia membanting pintu berharap Satya tidak melihat wajah kacaunya saat bangun tidur .
"Aku sudah bilang akan mengantar seragam mu, karena itu aku datang lebih awal , agar kau bisa bersiap . " Ia mengetuk pintu dan memegang handle dan mendorongnya kuat hingga merobohkan pertahanan gadis dibaliknya. Tidak ada pilihan hingga akhirnya gadis itu terpaksa membukakan pintu dan membalikkan badannya lantaran malu karena penampilannya yang kacau .
"Aku sudah melihatmu . Cepat bersiaplah , aku akan menunggu di luar . " ujar satya tersenyum sambil membelai lembut kepala Diza.
"Ah, memalukan . " ujar nya sembari menutupi wajahnya yang memerah .
Ia bergegas menutup pintu kamarnya, menguncinya dan berlari ke dalam kamar mandi . Kali ini ia tidak boleh melakukan kesalahan pikirnya. Ia pun langsung bersiap dan berdandan seadanya. Rambutnya ia biarkan terurai dengan dihiasi oleh sebuah bando yang membuatnya terkesan manis dan cantik natural . Bukan hal yang sulit , mengingat di masa lalu ia telah melakukan berbagai macam pekerjaan termasuk sebagai pekerja salon .
Sayangnya setiap kenangan itu sudah benar -benar musnah di kepalanya . Tapi bukan masalah kenangan itu memang bagian dari pahit dengan luka dalam yang tak kunjung sembuh . Setidaknya kini, karen sebuah luka di kepalanya ia berhasil melupakan kemalangannya dan akan mengisinya dengan kenangan manis.
Ia pun keluar dari ruangannya dengan seragam lengkap dan sebuah tas cantik yang bertengger di pundaknya . Ia tersenyum manis memandang Satya yang nyaris tak berkedip melihat betapa manisnya gadis yang berada dihadapannya kini . Situasi manis itu berlangsung sekitar 2 menit, hingga akhirnya Satya sadar dan membalas senyuman itu .
Ia meraba saku jaket yang ia kenakan, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalamnya . Kotak itu berisi sebuah cincin berhiaskan permata dan memasang kan nya di jari manis Diza . Tanpa ia sadari ia nyaris membuat jantung gadis itu lepas dari sarangnya . Detaknya begitu cepat hingga tangan gadis itu gemetar dan berkeringat .
"Kau begitu menyukainya , hingga tak berkedip gadis kecil. " ujar seorang pria menyadarkannya dari belakang .
Pria itu meraih tangannya ,membuatnya berbalik dan menjatuhkannya di dadanya. Memeluknya erat sambil mencium puncak kepalanya . Meraih setiap energi yang ia butuhkan . Ia begitu merindukannya hingga nyaris tak mau melepaskannya .
" Sampai kapan kau akan memeluknya Tuan Muda? Sudah waktunya kalian berangkat. Sungguh kau benar-benar menunjukkan sisi lain dirimu saat ini . Aku tak pernah melihat kau melirik perempuan sebelumnya . " Ledek Satya kepada pemuda itu yang tak alin adalah Azka.
" Itu karena kau membuatku cemburu kak. Bukankah aku yang seharusnya memasangkan cincin itu . " ia melepaskan pelukannya dan memutar-mutar cincin di jari Diza . "Aku akan menghapus sidik jarinya dari cincin ini. Jadi, kau anggaplah aku yang memasangkannya untukmu. Ini cincin tunangan kita . Maaf aku begitu terlambat memberikannya ."
"Sejak kapan Anda berada disini Tuan?" ujar Diza kaku .
"Tuan? Bagaimana bisa kau memanggilku Tuan, padahal sebelumnya kau menyebutku tunanganmu ." ujarnya meraih dagu gadis itu dan mendekatkan wajahnya ke arahnya hingga gadis itu bisa merasakan setiap hembusan nafasnya.
" Apa yang kau fikirkan? Kenapa wajahmu memerah? Apa kau fikir aku akan menciummu seperti waktu itu?" ledeknya .
" Ti..ti..tidak Tuan.. Eh, Kak Azka. "
Bagaimana aku tidak berfikir seperti itu, wajahmu begitu dekat hingga aku bahkan tidak bisa bernafas dengan benar . Kau membuat jantungku hampir keluar . Dan bibirmu, ah lupakan. Batin gadis itu tak karuan.
" Mana mungkin aku berfikir macam-macam . Maafkan aku, tapi tadi kau tiba-tiba memelukku dan menggodaku, bukankah wajar jika aku merasa malu. "
" Aku lebih senang kau memanggilku kakak. Baiklah , gadis kecil berhubung kita masih bersekolah aku akan menahannya lebih jauh dan kita akan berkencan seperti yang dilakukan anak seusia kita pada umumnya. Maafkan aku yang lancang menciummu sebelumnya . Mari berangkat sekolah . "
Azka meraih tangan Diza dan membawanya menuju lift . Ia melarang siapapun mengikutinya . Dan mengarahkan lift menuju lantai atap . Diza yang merasa bingung , hanya memilih untuk diam dan mengikutinya .Pintu lift terbuka , mereka keluar dengan tangan masih bergandengan . Azka menarik gadis itu untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia .
Penthouse adalah tempat pelarian untuk Azka selama ini . Tempat untuknya menyendiri dan menenangkan fikiran .Karena itu, ia menciptakan akses pribadi untuknya ke lantai atap , sekaligus menyulap tempat itu menjadi taman indah dengan pemandangan seluruh kota yang terlihat jelas dari sana.
Ia menjatuhkan tubuhnya kasar dan duduk disamping Diza . Ia menarik nafas panjang, sekelalebat kenangan tentang Diza tiba-tiba menggerayanginya . Ada buliran panas di pelupuk matanya yang tidak bisa ia tahan , hingga akhirnya jatuh menetes satu persatu . Diza gadis disampingnya ini, ia telah menyakitinya tetapi gadis ini justru harus menganggapnya spesial dalam ingatan jangka pendek yang ia miliki . Ada ribuan perasaan bersalah yang menghantui fikiran nya .
Namun Diza yang tidak mengerti apa-apa mengenai situasi Azka, hanya merasakan suasana bertambah canggung diantara mereka. Ia menepuk lembut pundak Azka, meraihnya dan menyandarkannya pada bahunya. Sebelah tangannya masih berada di pundak Azka memeluknya , sementara sebelahnya lagi ia gunakan untuk menggenggam tangan pemuda itu yang mulai terasa dingin . Ia bisa merasakan bebannya yang begitu berat. Ia ingin membaginya, turut menanggungnya dan menjadi kekuatan untuknya bangkit .
Mau bagaimanapun ia adalah tunangannya. Entah serumit apa permasalahannya , mereka tetap harus saling mendukung satu sama lain . Melihat kondisi Azka yanh dalam titik terapuhnya ini, ia seakan merasa bersalah dengan apa yang baru saja difikirkannya tentang Satya.
Ia sudah memiliki lelaki ini sebagai tunangannya, bahkan ia sampai menunjukkan sisi terburuk nya saat ini . Bukankah itu artinya mereka sudah saling terikat begitu dalam . Ia tak seharusnya memandang lelaki lain, ia hanya harus fokus pada lelaki yang bersamanya kini . Lelaki yang telah mengikatnya dengan cincin yang saat ini melingkar di jarinya .
Mentari hampir menampakkan keseluruhan wajahnya. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit , yang artinya hanya tersisa 45 menit lagi sebelum bel tanda masuk berbunyi . Tetapi ia masih terkurung dalam situasi canggung bersama tunangannya . Pemuda itu masih terisak dalam pelukannya . Ia tidak ingin membuat suasana hatinya semakin memburuk dan membiarkan situasi canggung itu untuk beberapa saat.