Beberapa jam berlalu, setelah selesai membantu Bumi membersihkan diri, makan dan sebagainya, akhirnya Jiya pun istirahat di kursi yang ada di dekat anak laki-laki tengil itu.
"Kamu capek?" tanya Bumi sambil melirik ke arah Jiya.
Jiya pun tersenyum kecil. "Tidak, kenapa capek. Hanya saja saat ini aku lapar tadi lupa belum sarapan. Aku pergi cari sarapan dulu ya," ucap Jiya dengan ceria.
Bumi pun langsung menyahut, "Jangan. Biar mereka yang membelikan makanan untuk kamu." Bumi mengatakan hal tersebut sambil menunjuk ke arah dua wanita yang ditugaskan untuk merawat dirinya.
Kemudian kedua wanita itu pun langsung mendekat ke arah Jiya. "Iya, biar kami saja yang membelikan makanan untuk kamu. Kamu ingin apa?" tanya salah satu dari mereka.
Jiya pun tersenyum canggung. "Maaf merepotkan ya Mbak. Aku mah apa saja, yang penting pedas dan bukan masakan rumah sakit ini," ucapnya sambil mengambil dompet yang ada di dalam tas kecilnya.
Tapi dua orang wanita itu menolak uangnya dan segera pergi begitu saja meninggalkan kamar tersebut.
Sesaat kemudian masuklah Adam ke dalam ruangan tersebut bersama seorang dokter yang berjalan beriringan dengannya.
"Baiklah, bagaimana keadaan kamu hari ini bocah tampan?" tanya Dokter tampan tersebut dengan ramah.
"Baik," sahut Bumi dengan singkat.
Jiya pun tersenyum kecil melihat tingkah Bumi tersebut.
"Mbak Jiya, kamu sudah lama datang?" sapa Dokter tersebut dengan ringan.
Jiya pun melempar senyum manis ke arah dokter tersebut. "Cukup lama Dok," sahutnya dengan hangat.
"Ehem," dehem Bumi kecil. "Ada apa Pak Dokter ke sini?"
Dokter itu pun tersenyum kecil mendengar gaya berbicara Bumi yang terdengar seperti orang dewasa itu. "Tentu saja ingin memeriksa kamu, bukankah kamu ingin segera pulang?"
Raut wajah Bumi pun langsung berubah cerah. "Benarkah aku akan pulang?" tanyanya memastikan.
"Tentu. Tapi jika kamu masih ingin di sini juga tidak akan keberatan," sahut Dokter muda tersebut dengan santai.
"Tidak." Bumi pun kembali menyahut dengan singkat.
Jiya pun terkekeh melihat ekspresi Bumi yang menggemaskan saat ini.
Dokter itu pun menatap ke arah Jiya. "Oh iya Ji, apa ajakanku kemarin sudah kamu pertimbangkan?"
Dan dalam sekejap wajah Jiya pun berubah memerah. "Nanti akan aku jawab di chat," sahut Jiya sambil mengedipkan matanya beberapa kali.
Dokter itu pun tersenyum mendengar jawaban malu-malu dari Jiya tersebut.
"Ehem," dehem Adam menyela. "Apa kita bisa memulai sekarang?" tanyanya dengan nada dingin.
Dokter itu pun langsung menatap ke arah Adam. "Maaf aku hampir lupa," ujar Dokter tersebut sambil tersenyum canggung ke arah Adam.
"Ya," sahut Adam singkat seperti yang biasa dilakukan oleh Bumi.
Lalu Dokter tersebut segera mengecek keadaan Bumi kecil dengan cepat. Dan setelah selesai, Dokter itu pun segera meninggalkan kamar tersebut karena ada pasien lain yang menunggu dirinya.
Beberapa jam berlalu, setelah mereka semua selesai melengkapi semua prosedur dan selesai berkemas, akhirnya mereka pun meninggalkan rumah sakit tersebut.
"Di mana mbak-mbak yang merawat Bumi?" tanya Jiya pada Adam, setelah ia selesai membantu memasukkan Bumi ke dalam mobil.
"Aku mengusir mereka," jawab Bumi dengan santai.
Adam pun segera menyahut, "Kamu sudah mendengar sendiri jawabannya."
Jiya pun menghela napas pendek. "Baiklah, aku paham," ujarnya lalu masuk kembali ke dalam mobil dan duduk di dekat Bumi.
Sedangkan Adam kini duduk di bagian depan bersama dengan Barak yang kini duduk di bagian pengemudi.
*
Selama di perjalanan mereka pun terus berbincang masalah kejadian seminggu yang lalu. Hingga Adam berkata kalau ia sudah menemukan dalang di balik kebakaran toko dan teror yang terjadi pada Jiya.
"Siapa?" tanya Jiya yang begitu penasaran.
Adam pun menjawab dengan santai, "Setelah sampai di rumah aku akan memberitahu semuanya."
Jiya pun menghela napas panjang, kemudian menyahut, "Baiklah."
Setelah itu mereka pun mulai membahas tentang apa yang terjadi di tempat penyerangan Jiya dan Bumi. Hingga Jiya merasa ada sesuatu yang kurang dari kejadian itu.
"Oh iya Mas Barak, saat itu kamu ke mana? Tumben kamu nggak mengantar Bumi ke tempatku?" tanya Jiya yang terdengar menyelidik.
Barak pun langsung menjawab dengan kaku. "Maaf Nona, apa Anda mencurigai saya? Saya adalah orang yang setia pada Tuan, saya tidak akan mencelakai Tuan Kecil seperti itu."
"Jangan tersinggung, aku kan hanya bertanya. Lagi pula aku tidak akan mungkin meragukan orang kepercayaan Pak Adam, hanya saja andaikan saat itu ada kamu … mungkin semuanya pasti akan berakhir lebih baik," ucap Jiya dengan tenang.
Tiba-tiba Barak menghentikan mobil tersebut. Ia pun langsung menatap ke arah Adam. "Maafkan saya Tuan, saya sadar jika saya bersalah akan hal ini. Saya siap menerima hukuman dari Anda," ujarnya dengan tegas sambil menundukkan kepalanya—sikap mengakui kalau dia memang bersalah.
"Jangan mendengarkan gadis konyol di belakang, lanjutkan saja perjalanan ini," tukas Adam dengan tenang.
Barak pun langsung mengangkat kepalanya dan menatap Adam. "Tapi Tuan—"
"Apa kamu tidak dengar apa yang aku katakan?" tandas Adam dengan cepat.
Barak pun mengangguk setelahnya. "Baik Tuan," sahutnya lalu kembali mengemudikan mobil tersebut dengan cepat.
'Dasar bodoh, kenapa dia bisa percaya begitu saja pada orang lain,' batin Jiya sambil menatap ke arah Adam.
Setelah setengah jam akhirnya mereka pun sampai di rumah yang di sewa oleh Adam. Di sana terlihat orang tua Jiya dan juga Nindy sedang menunggu di depan rumah tersebut. Kemudian mereka pun segera membantu menurunkan Bumi dari dalam mobil itu.
"Mbah sudah membuat ikan goreng kesukaan kamu, nanti kita makan sama-sama ya," ucap Bu Mutia sambil mengelus kepala Bumi dengan lembut.
Jiya pun mengernyitkan keningnya. 'Sejak kapan mereka jadi akrab?' pikir Jiya sambil menatap aneh ke arah ibunya.
"Kenapa kamu diam saja? Sini biar ibu bawa masuk," ujar Bu Mutia sambil memegang belakang kursi roda, dan menggantikan Jiya mendorong kursi roda tersebut.
'Sebenarnya apa yang aku lewatkan,' batin Jiya sambil berjalan mengikuti ibunya masuk ke dalam rumah tersebut.
Cukup lama semua orang berada di rumah itu untuk menyambut kepulangan Bumi, hingga akhirnya Bumi pun merasa mengantuk dan istirahat. Setelah Bumi beristirahat, semua orang pun berpamitan untuk pulang kecuali Jiya yang memang masih ada urusan dengan Adam.
*
Di ruang tamu.
"Baiklah Mas, katakan siapa pelakunya?" tanya Jiya yang sudah sangat penasaran.
Adam tak menjawab pertanyaan tersebut, ia pun masuk ke dalam kamarnya dan mengambil sebuah amplop besar lalu memberikan amplop tersebut pada Jiya.
"Apa ini?" tanya Jiya sambil menerima amplop tersebut.
"Buka saja," sahut Adam dengan santai sambil duduk di sofa.
Jiya pun membuka amplop berwarna coklat tersebut dengan cepat. Ia mengambil beberapa lembar kertas dari dalam amplop tersebut dan segera membaca apa yang tertera di sana.
Awalnya Jiya mengernyitkan keningnya saat membaca keterangan yang ada di dalam amplop tersebut, hingga akhirnya matanya pun membulat ketika membaca nama orang yang ada di dalam sana.
Jiya langsung menatap kembali ke arah Adam. "Apa ini benar?" tanya Jiya yang merasa sedikit tak percaya melihat hasil penyelidikan Adam.
"Kenapa, apa kamu sangat percaya pada laki-laki itu?" tanya Adam dengan nada sinis.
Jiya pun kembali menatap kertas yang ada di tangannya. "Tapi dia itu seorang ….