webnovel

Sin of Lust

Setelah dikhianati kekasih dan sahabatnya, Aeris Rosewood mengira dirinya takkan pernah mampu jatuh cinta lagi. Dia membangun benteng yang begitu kokoh untuk melindungi puing-puing yang masih tersisa dari hatinya. Kemudian, Sky Aither masuk ke kehidupannya. Pria itu meretakkan benteng yang sudah susah payah Aeris bangun, kemudian menyatukan kembali reruntuhan-reruntuhan itu secara perlahan. Aeris sadar perasaannya terhadap Sky salah dan tak seharusnya ada. Namun, tak peduli sekuat apa pun Aeris berusaha menghindari Sky, dia akhirnya tetap jatuh cinta pada pria itu—kakak iparnya sendiri. Akankah Aeris menyerah pada perasaannya, mengkhianati kakaknya sendiri, dan menjadi simpanan Sky? Atau meninggalkan Sky dan melupakan cintanya terhadap sang kakak ipar? Mampukah Aeris mengorbankan kebahagiaannya demi kebahagiaan kakaknya? Akankah Aeris dan Sky bersatu? "Dalam kehidupanku, aku mati dua kali. Kematian pertama, saat aku tak lagi bisa mencintaimu. Kematian kedua ialah kematian yang sesungguhnya. Aku jauh lebih takut kepada kematian pertamaku, karena berhenti mencintaimu jauh lebih mengerikan dan menyakitkan dibandingkan dengan kematian itu sendiri." ~Sky Aither "Setiap kata cinta yang keluar dari mulutmu ibarat racun, tetapi memabukkan seperti anggur. Meski aku tahu itu akan membunuhku cepat atau lambat, aku tetap saja meminumnya. Aku tak sanggup berhenti. Jika terus meminumnya, aku akan mati. Namun, jika berhenti, aku justru akan mati lebih cepat." ~Aeris Rosewood Dipublikasi tangga 22 April 2022 ©Jili Nai, 2022 Kover: Picture by Unsplash Font by Canva

Jili_Nai · สมัยใหม่
Not enough ratings
7 Chs

Tears — Aeris

Perutku serasa seperti diaduk-aduk. Kepalaku berdentam-dentam, seolah ada sesuatu yang memukul-mukul bagian dalam tengkorakku. Ruangan di sekelilingku berayun-ayun dan segala benda di mataku tampak berlipat ganda. Cahaya matahari yang berhasil menerobos masuk melalui celah tirai jendela terasa begitu menusuk mata dan semakin memperburuk keadaanku. Ditambah lagi dengan ponsel yang tak henti-hentinya berdering. Aku mengerang dan mengumpat, kemudian tersaruk-saruk ke kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi perutku sampai yang keluar hanya berupa cairan pahit.

Aku duduk di lantai kamar mandi—terengah-engah, gemetar, dan berkeringat.

Kutunggu sampai rasa mualku mereda, menyandarkan punggung pada dinding marmer kamar mandi—merasakan sensasi dinginnya pada kulitku, sambil menghitung setiap tarikan napas. Perlahan, mual dan gemetaran itu mulai menghilang.

Kucengkeram wastafel untuk menghela sekaligus menopang tubuhku. Ketika menatap cermin perak yang terpasang di atas wastafel, sesosok wajah pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata serta rambut merah acak-acakan balas menatapku sendu. Aku memalingkan wajah, lalu cepat-cepat mencuci muka, menggosok gigi, dan terhuyung-huyung kembali ke ranjang.

"Bagaimana keadaanmu?" sebuah suara berat bertanya.

Aku terlonjak dan menjerit, secara reflek menutupi dada menggunakan kedua tanganku. Ketika berbalik, aku menemukan Sky bersandar di ambang pintu dengan kedua tangan terlipat.

"Tidak bisakah kau mengetuk pintu? Jangan asal masuk ke kamar seorang gadis! Bagaimana kalau aku ternyata sedang telanjang?" kataku sengit.

Sky mencibir. "Aku sudah mengetuk pintu sejak sepuluh menit yang lalu, tetapi tidak ada jawaban. Aku—" Sky memotong perkataannya sendiri, kemudian berpaling. "—kau tak perlu khawatir. Lagi pula, tidak ada hal menarik yang bisa dilihat darimu," sahutnya dengan nada merendahkan yang samar.

Aku ingin bertanya apa yang sebenarnya ingin dia katakan. 'Aku' apa? Namun, harga diriku mencegahku untuk bertanya. Aku tak ingin terlihat penasaran, apalagi di hadapan seseorang yang telah melanggar privasiku dengan masuk ke kamarku tanpa izin. Dan nada bicaranya itu membuatku harus menahan diri untuk mencakar wajahnya.

Pria itu melangkah ke arahku, kemudian meletakkan telapak tangannya di keningku (hanya sekilas, kemudian menarik tangannya secepat kilat—seolah aku ini sejenis bakteri berbahaya atau apa) dengan agak kasar sehingga kepalaku terdorong ke belakang. Aku berusaha menahan lidah supaya tidak menyumpahinya.

"Minum. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," perintahnya sembari meletakkan sebutir obat di telapak tanganku.

Aku menanti suami kakakku itu pergi. Namun, dia tetap berdiri menjulang di hadapanku, tampak agak gamang. Aku mendongak, kemudian mengangkat sebelah alisku. "Ada hal lain yang ingin kau katakan?" tanyaku. Secara tersirat menyatakan, 'Enyah kau dari hadapanku!'

Sky mengerjap-ngerjap. "Eh?" Dia menyugar rambutnya yang hitam legam, kemudian menyunggingkan senyum kaku sembari mengangkat bahu dengan lagak tak acuh—tetapi aku melihat kecanggungan pada gerakannya itu seraya berkata, "Yah … kalau kondisimu memungkinkan, turunlah. Aku sudah menyiapkan makan siang."

Setelah itu, dia melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya.

Aku duduk termenung cukup lama, merenungkan keanehan sikap Sky. Aku tidak terlalu dekat dengan Sky, atau bahkan bisa dibilang sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kakak iparku itu meskipun dia sudah menikahi kakakku selama hampir satu tahun. Mauve selalu mencoba mendekatkanku dengan Sky, berupaya supaya sikapku bisa sedikit lebih hangat kepada suaminya, tetapi untuk apa? Aku tidak berniat hidup bersama pria itu.

Lagi pula, aku tidak pernah menyukainya. Menurutku, Sky hanya memanfaatkan Mauve—hartanya. Namun, meski aku tidak tahu menahu tentang sikap atau kebiasaan suami kakakku itu, aku yakin sikapnya yang canggung dan terkesan gugup itu bukan seperti dirinya.

Kemudian, aku menatap ke sekeliling kamar tempatku berada. Dengan memandang sekilas saja aku sudah bisa mengenalinya. Ruangan yang didominasi warna putih dan hitam ini tak asing lagi bagiku. Tidak ada banyak perabot di ruangan ini.

Di samping tempat tidur, ada sebuah nakas dengan sebuah lampu tidur di atasnya. Aku melihat mantel dan tas yang kukenakan semalam ada pada kaitan di dinding sisi lain kamar. Meja belajar, rak buku, lemari berkuran besar, meja rias, serta sofa yang biasa kugunakan untuk membaca. Dari jendela lengkung besar itu, aku bisa melihat kalau hari sudah terang.

Aku sekarang berada di rumah kakakku di Paradise Hills. Namun, ada satu yang mengganggu pikiranku. Bagaimana aku bisa sampai di sini?

*

Terakhir kali kuingat, aku berada di Dionysus, berusaha menenggelamkan kesedihan dengan mabuk-mabukan—dan sedikit berharap kalau aku benar-benar tenggelam, secara harfiah. Entah sudah berapa lama waktu berlalu ketika akhirnya bus berhenti. Aku memandang ke sekeliling dan baru menyadari kalau aku sudah tiba di Fortunata Street.

"Kalau kau akan turun, agaknya kau benahi dulu penampilanmu, Nona. Bekas air matamu terlihat jelas, bahkan di dalam kegelapan sekali pun."

Aku menoleh cepat ke arah suara datar itu—satu-satunya teman seperjalananku yang sedari tadi tertidur pulas. Pemuda itu bangkit, kemudian mulai berjalan ke arah pintu. Jelas dia lebih tinggi dibanding Grey. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena hampir separuhnya tertutup syal, tetapi aku masih bisa melihat sekilas rambutnya yang hitam pekat sebelum kemudian dia memasang tudung mantelnya.

Angin dingin berembus masuk ketika pintu bus terbuka, kemudian pemuda itu menjejalkan kedua tangannya ke saku mantel dan melangkah keluar.

'Apa dia melihatku menangis?'

Aku menggeleng. Terserah jika dia melihatnya. Lagi pula, kecil kemungkinannya kami akan bertemu lagi. Kuusap sisa air mataku, kemudian turun dari bus. Kakiku membawaku ke Dionysus. Setelah itu, aku memesan minuman dan mulai minum.

Hanya sebatas itu yang kuingat.

Astaga! Seberapa banyak yang kulupakan? Separah apa aku mabuk? Yang lebih penting lagi, siapa yang membawaku ke sini? Sebanyak apa aku mempermalukan diriku sendiri?

Aku selalu sadar dengan keterbatasanku. Daya tahanku terhadap alkohol begitu rendah, dan aku tidak bisa mengingat apa yang terjadi ketika sedang mabuk—sama sekali, sehingga sebisa mungkin menghindari minuman beralkohol. Namun, semalam aku membiarkan diriku untuk melanggar batasan yang selama ini kutetapkan.

Aku ingin melupakan walau hanya sesaat. Meskipun sekarang, rasa sakit itu perlahan kembali dan ingatan-ingatan yang ingin kusingkirkan mulai menyerbuku. Bayangan saat Grey dan Azzure yang tengah bercinta berkelebat di benakku. Sekarang, mereka pasti tengah berduaan—bermesraan, bercumbu, dan menertawakanku.

Kubenamkan wajahku ke bantal dan mulai terisak-isak.

Katakanlah aku bodoh, tetapi tak dapat kupungkiri kalau aku masih mencintai Grey. Aku merindukannya. Dan lebih bodohnya, aku juga merindukan Azzure. Hanya kepada mereka berdua aku berani menunjukkan diriku yang sebenarnya. Diriku yang seutuhnya—yang kini tak lagi utuh, dan memang tidak pernah utuh. Serpihan-serpihan hatiku yang tersisa kini ibarat pecahan kaca—setiap emosi yang kurasakan justru berbalik melukai jiwaku sendiri.

Aku sadar bahwa sebuah perasaan yang dibangun selama bertahun-tahun tidak mungkin hilang begitu saja hanya dalam semalam. Namun, aku tetap merasa sangat bodoh telah merindukan Grey dan Azzure, padahal mereka sudah memperlakukanku dengan begitu buruk. Sampai sekarang, aku masih enggan memercayai fakta bahwa Grey dan Azzure berselingkuh.

'Salahmu …. Ini semua salahmu …. Andai kau tidak terlalu bodoh …. Andai kau tidak terlalu mudah percaya …. Andai kau memberikan yang kumau .... Andai kau tidak terlalu keras kepala …. Andai aku tidak pernah terlahir …. Salahmu ….'

Dadaku sesak. Napasku tersengal.

"Tidak," engahku sembari menggeleng. Namun, suara-suara itu terus berbisik di kepalaku, menyalahkanku.

"Berhenti. Kumohon …" pintaku, terisak. Kemudian, aku mulai menjerit.