Sepulang sekolah Mawar pergi ke sebuah apartemen, meski di luar cuaca cerah ruangan itu malah ditutupi tirai, di sana dia bertemu dengan seseorang.
"maafkan saya tuan, karena telah gagal menjalankan misi" kata Mawar
"kasihan sekali my litle Mawar, gagal tetap saja gagal"
"mohon berikan hamba kesempatan lagi untuk menbusnya" jawab Mawar
""bagaimana yaa… aahhh—kau yang memohon itu begitu indah" sambil meraba wajah Mawar
"untuk sekarang berteman baiklah… lalu pada saatnya tiba hancurkan dia hingga remuk urat nadinya"
Di sisi lain hari ini aku tidak masuk sekolah, aku pergi ke rumah sakit untuk melakukan check up. Setelah bertarung melawan satpam tempo hari, tangan kiriku cedera. Rasa nyeri yang tak kunjung reda, membuatku berpikir terjadi keretakan pada tulangku sehingga aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.
Ungkap dokter, syukurlah tanganku tidak patah hanya sedikit retak. Beliau membalut perban dan memberikan sepaket obat untuk mempercepat proses pemulihan tangan kiriku. Tak lupa memberikan saran untuk sering minum susu yang mengandung kalsium tinggi dapat memperkuat tulang.
Perhatianku yang terpusat pada kata-kata dokter teralihkan oleh orang-orang dari luar jendela yang melaimbaikan tangannya padaku tersenyum riang. Padahal hanya sakit yang sepele, mereka repot-repot menjengukku.
Mawar yang selalu ekspresif tak heran jika langsung merengek dan langsung memelukku. Tapi kenapa dua orang laki-laki ini malah ikut-ikutan, segera aku memarahi Leo dan Ringgo yang mencuri-curi kesempatan. Dasar anak laki-laki selalu seenaknya saja.
Kekhawatiran mereka bertiga terbayar lunas, karena aku bukanlah pasien rawat inap, hari ini juga aku diperbolehkan untuk pulang. Niatnya memang aku ingin segera pulang, beristirahat di kasur empuk yang kudambakan. Tawaran Ringgo yang menggiurkan membuatku lengah. Rumah sakit ini dekat dengan rumah Ringgo, tak mengherankan jika sangat mengenal daerah sekitar sini. Sudah menjadi kebiasaannya, untuk mampir ke café usai pulang sekolah.
Tujuan utamaku hanyalah satu, di mana ada café di sana pasti menjual coffe. Aku belum menyeduh coffe keduaku hari ini, barangkali aku bisa menemukan coffe yang berbeda dari biasanya. Baru saja sampai di depan pintu masuk café aku sudah sangat kagum.
Desain café bernuansa industrialis memakau hati, desain interior industrialis sendiri adalah seni terapan menggunakan suatu barang sebagai kreasi sebagai bentuk estetik dari seni. Konsep industri yang di sini akan membangkitkan mood kala siang hari, apalagi ditambah dengan aroma kopi yang kuat tubuh akan terhipnotis dan keceriaan akan menampakkan wajahnya.
Aku langsung menuju meja bar, untuk memastikan apakah café ini menyediakan roasted coffe. Dugaaanku sepenuhnya benar, tak hanya menyajikan coffe, temapt ini juga menjual biji kopi olahan milik sendiri. Terpampang jelas, bermacam-macam kopi yang diletakkkan di meja bar sebagai pilihan pelanggan.
Hari ini aku agak kurang cocok dengan keasaman, jadi aku pustuskan untuk memilih robusta. Kukatakan pada barista terbaik di tempat ini supaya menyajikan vietnam drip yang dimilikinya dengan tambahan susu, mengingat perkataan dokter untuk lebih sering mengonsumsi susu.
Ringgo mengikuti jejakku, namun ia tak semahir diriku, berdasarkan order-annya ia memilih capoccino. Kau takkan bisa mengetahui kualitas café ini jika memesan kopi sachet-an. Tidak dengan Leo, ia memesan satu cangkir espresso. Sungguh tindakan yang tak disangka-sangka, bahkan aku penyuka kopi takkan langsung memesan espresso.
"apa kau serius mau espresso itu pait sekali lhoo"
"haah… yang benar? Aku penasaran karena namanya, yauda karena sudah terlanjur pesan kita liat saja hahaha" canda Leo. Melihat responnya, ternyata dia hanya sekedar penasaran, aku kira dia sang ahli kopi.
"kalau aku juice aja" kata Mawar kepada barista yang bermain dengan gelas. Seketika itu semua melirik tajam kepada Mawar
"heeh—ada apa memangnya dengan juice? Salah emang?" kata Mawar
Lantas kubalas ucapannya dengan menunjukkan ibu jari ke bawah
"baiklah saya akan mengulangi pesanananya—vietnam drip, capoccino, espresso, dan juice yaa? Silahkan ditunggu di tempat duduk" kata barista do depan kami.
Tak sampai sepuluh menit pesananku sudah datang, ternyata cepat juga pelayanan di tempat ini layak aku beri skor maksimal. Aku tak bisa langsung menyeduhnya, ini masih permulaan dari tantangan si barista. Aku masih harus menunggu kopi ini tersaring secara sempurna, sambil memandangi gelas aku menelan ludah.
"kasihan sekali kau Alice… sepertinya aku duluan yang menikmati karya si barista, lihatlah capoccino ini begitu lembut dan creamy"
"dasar curang—woooohh… creamnya membekas di mulutmu lhoo Ringgo hahaha" aku menertawakannya.
Dengan wajah merah jambu ia mengusap mulutnya
"permisi… satu espresso dan juice, silahkan dinikmati"
Kemudian kami berempat memandangi espresso milik Leo, "ini memang benar hanya segini?"
"gak tau juga aku juga belum pernah memesannya" tambah Ringgo
"mungkin ada yang salah biar aku biilang kepada pegawainya" sahut Mawar
"tidak-tidak… espresso memamg seperti itu bentuknya. Espresso disajikan dalam gelas sloky, begitu kau meminumnya kau akan tau rasanya" kataku
Leo yang termakan omonganku, langsung meminum epspresso dalam satu tegukan
Gleekk… Gleekk…
"PAHHIIIIIITTTTTTT" ia berteriak kencang sekali sampai seisi café memandang ke arahnya. Tak kusangka akan jadi seperti ini, Ringgo yang terlihat malu langsung menjitak kepala Leo
"dasar malu-maluin aja" kata Ringgo yang masih mengepalkan tangannya, jelas saja Ringgo sampai bersikap seperti itu mengingat kawasan ini dekat dengan rumahnya. Ia pasti tak ingin beredar rumor aneh-aneh tentang dirinya. Tapi menurutku reaksi Leo sangat lucu begitu polos tak mengenal espresso sama sekali, lantas aku menawarkan untuk memesan espresso untuk kedua kalinya. Sayangnya semua serempak berkata tidak.
Tak lama kemudian datang beberapa orang ke table kami. Sepertinya, tingakah Leo barusan menarik perhatian seseorang kemari, mungkinkah akan terjadi keributan? tapi aku tak peduli karena aku akan menikmati vietnam dripku yang sudah sempurna ini.
"ya ampun lihatlah ternyata di sini ada kumpulan orang norak!" kata pria berambut merah yang memakai anting
"yaaa… mau bagaimana lagi mereka pasti murid baru, pasti masih kekanak-kanak-an" lanjut perempuan berambut pirang dengan kulit sawo matang
"sudahlah teman-teman tak usah ganggu mereka, nanti anjing-anjing liar ini bisa marah" sahut seseorang lagi menimpali.
Aku menghela napas, pasti ini akan jadi masalah yang panjang. Perkelahian anak laki-laki, kenapa mereka selalu menyelesaikan masalah menggunakan otot. Ketiga orang yang menghampiri kami, jika kulihat dengan seksama mereka memakai seragam yang sama dengan kami, apa mungkin kakak kelas?
"apaa mau kalian? Tiba-tiba datang menghina kami" sentak Leo menggedor meja, yaa.. begitulah dirinya selalu semangat dalam segala hal.
"kalian tersinggung yaa? Syukurlah kalau sadar hahaha" pria berambut merah menanggapi.
"apa katamu!" Leo semakin emosi menarik baju kerah pria itu
"heeii… heii… berani juga kau anak baru!" ucap perempuan pirang
"hentikan! Jangan melakukan keributan di sini! Kalian mengincar lencana kami kan?" ucap Ringgo
"waaahhh—pemikiranmu cepat juga bocah" kata lelaki rambut merah
Aku tertegun menundukkan kepala, sudah kuduga lencana ini pembawa masalah. Semua siswa pasti tertarik dengan lencana yang kami pakai di blazer, kami sama seperti seseorang yang memakai perhiasan senilai sepuluh juta rupiah. Jelas sekali akan menarik perhatian seorang pencuri. Sebenarnya apa tujuan Kepala Sekolah, bukankah memberikan perhiasan ini akan membahayakan kami?
Adu mulut yang tak kunjung usai sampai pada puncakknya, ucapan dari gadis blonde telah mencapai konsensus. Sebenarya mereka bertiga sengaja menghampiri kami bukan karena Leo yang bertingkah norak, namun lebih dari itu—mereka tertarik dengan lencana yang kami kenakan.
Pria berambu merah lantas melepaskan lencana di blazernya, lalu menunjukkan ke hadapan kami.
"nama saya Akai, wahai sang Raja, dengan darah ini lindungilah kami" itu adalah kata-kata yang diucapkan untuk menantang seseorang untuk berduel. Mempertaruhkan lencana dalam pertandingan sudah menjadi tradisi turun temurun di SHS, merupakan sebuah kehormatan yang layak dijunjung tinggi untuk bisa mengikutinya. Tipe pertandingan ditentukan oleh lawan tanding, dan aturan permainan ditentukan oleh sang penantang.
Belum sempat Leo menyopot lencanannya, Ringgo sudah menjawab tantangan dari Akai. Wajar saja jika Ringgo menyerobot pertandingan ini, tempat ini sudah seperti rumahnya sendiri. Café yang selalu ia kunjungi sepulang sekolah, takkan ia biarkan siapapun mengacau tempatnya bernaung.
Tipe pertandingan yang diajukan oleh Ringgo adalah pertandingan makan. Siapapun pemenangnya akan mendapatkan lencana bintang milik lawan, si rambut blonde mengajukan diri sebagai juri. Kompetisi makan yang dilakukan adalah menghabiskan mie jumbo level neraka—itu adalah menu yang menjadi best seller di café ini. sekarang aku paham kenapa Ringgo sering terkena diare.
"yaaa… kau benar itu adalah menu andalan di café ini, sejauh ini belum ada yang sanggup menghabiskan menu iblis itu. Jadi kita harus menghabiskan mie pedas jumbo ini dalam waktu 5 menit. Yang bisa menghabiskan terlebih dahulu dialah pemenangnya" kata si rambut blonde
"dimengerti—majulah Ringgo kalahkan dia!" teriak Mawar
Hanya perlu menunggu limat menit mie jumbo super pedas telah terjadi di meja peserta. Gadis blonde mengatur timer pada jam tangannya, bersiap memberi aba-aba. Saat kulihat mie di mangkok itu hawa kematian yang terpancari begitu kuat, mungkin satu suapan saja bisa membuat mereka berdua pingsan.
Bahkan aku yang berada di meja sebelah merasakan aroma pedas begitu menusuk, berapa banyak cabe yaa kira-kira yang dimasukkan ke dalam mie neraka itu? mungkin sekitar 100 biji. Setidaknya, apa perlu ambulance untuk pencegahan kejadian yang tidak-tidak? Mungkin Ringgo, hari ini perlu menulis surat wasiat dulu sebelum makan mie ini?
Aku melirik pada Akai, sepertinya dia terlihat santai. Mungkin Akai sudah terbiasa menerima challenge ini. Gleekk—aku menelan ludah. Membayangkan betapa pedasnya mie neraka, air liurku berlimpah ruah dalam mulut.
"pertandingan dimulai"
Ringgo mengangkat mie dengan sumpit, terlihat lebih jelas puluhan biji-biji cabe yang melekat pada mie. Apa benar dia harus memakannya?
Aku memalingkan wajahku tak tega untuk melihatnya, sedangkan Mawar penuh antusias menyemangati Ringgo membuatku makin kesal.
Bersamaan Akai sudah menyantap mie-nya, tak ada jalan mundur Ringgo pun juga harus cepat menghabiskannya. Apa ini salah satu jalan mendekatkan diri pada yang Kuasa?
Haapp… nyam… nyam…
Suuuiii…. Suuuiii…
Haaahh… huuuffftt…
Ringgo meniup sembari melahap mie seper pedas itu, suap demi suap tanpa henti ia memakannya sampai tak perlu mengunyah mie itu. Uap panas dari mie bahkan belum hilang, mungkin lidahnya sudah terbakar sekarang. Sesekali ia minum air mineral yang tersedia di meja.
Satu menit sudah terlewati, kini waktu telah menjadi ilusi bagi mereka. Padahal hanya butuh lima menit saja, tapi berlangsung begitu lama. Mie di mangkok seakan tak ada habisnya. Apalagi harus menyantap toping beefnya juga, semoga perut Ringgo tak meledak. Keringat di dahinya berkucuran semua, telinganya pun memerah, apa dia masih sanggup untuk melanjutkan pertandingan ini, dia bahkan belum sampai seperempat perjalanan.
Aku terlalu meremehkan Ringgo, meski sikapnya yang lembek seperti mie, tapi semangat dan kekuatan hatinya begitu keras bagai berlian. Ia menambah kecepatan lahapnya, nampaknya ia mulai murka.
Tiga menit telah terlewati, Ringgo sudah menyantap lebih dari setengah mangkok. Ia beristirahat sejenak mengambil napas, mungkin perutnya sudah tak muat lagi, atau lambungnya sudah tersiksa?
Sang lawan Akai tak mau kalah, ia memberi perlawanan sengit pada Ringgo. Harga dirinya sebagai kakak kelas tak boleh jatuh di sini, yagn tersisa di mangkoknya hanya tinggal beberapa suap lagi. Si gadis blonde melihat timernya, memberi peringatan empat menit sudah terlewati, hanya tinggal satu menit saja semuanya akan berakhir. Mata mereka berdua membara, ini adalah pertarungan penghabisan. Gerakan sumpit mereka semakin gesit, mangkok yang perlahan kosong mulai bergeming terkena sentuhan sumpit.
"times up"
Mie yang berada di mangkok mereka berdua benar-benar habis tak tersisa. Sekarang siapa yang jadi pemenangnya?
Ringgo masih berusaha menelan mie yang ada di mulutnya, gawat! Cepatlah! Sebisa mungkin ia berusaha untuk tidak tersedak, segera ia minum air untuk membantu menelan sisa makanan di mulut. Sedangkan Akai, mulutnya sudah terbuka, apa ini artinya Akai menjadi pemenang?
Si gadis pirang mengambil keputusan bersamaan dengan Ringgo yang berhasil menelan suapan terakhirnya. Sang juri mengahmpiri Ringgo, dan mengangkat tangannya, "pemenang pertandingan adalah Ringgo!"
Meskipun Akai sudah membuka mulutnya terlebih dahulu, tapi makanan yang di dalam mulutnya belum di telan—itulah yang membuat dirinya kalah. Tapi pertandingan selanjutnya baru dimulai, kini mereka berdua bertanding siapa yang lebih cepat masuk ke dalam toilet.