webnovel

Seseorang Disebuah Gang Kecil

Hujan yang turun mengguyur kota sejak tadi pagi, kini hanya menyisakan gerimis kecil yang membasahi. Keadaan langit juga sudah tidak semendung tadi, namun suasana yang dingin tidak kunjung usai. Jalanan, pepohonan, dan bangunan-bangunan yang berada disekitar masih terlihat lembab dan basah.

Davin menarik dirinya dari keramaian, dan berada pada sebuah gang kecil yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki saja. Ia sama sekali tidak berniat ingin melalui jalan itu untuk tiba di apartemennya, jika bukan karena seseorang yang menarik perhatiannya ketika dirinya sedang berjalan kaki, dan mencoba untuk memastikan siapa yang berada disana sendirian, sedang menangis, dan tidak ada satupun orang disana selainnya.

Orang itu belum mengetahui kehadiran Davin disana karena wajahnya tertutup rambut hitamnya yang tergerai, dia berjongkok seraya membenamkan wajahnya dengan kedua tangan, menghadap ujung sepatunya berwarna putih yang kini telah basah dan kotor. Orang itu menutup wajahnya sambil menangis.

"Hei," Panggil Davin padanya. "Ada apa denganmu?" Tanyanya. Kemudian tangisannya mulai berhenti, dan orang itu mendongakan kepalanya begitu dia mendengar ada seseorang menghampirinya. "Davin? Itu kau, rupanya." Ucap orang itu yang mengenal sosok seseorang yang menghampirinya sambil segera menyeka air matanya.

"Stella? Apa yang terjadi denganmu?" Davin buru-buru melangkah mendekati gadis yang ternyata adalah seseorang yang pernah berkenalan dengannya kemarin. Stella menggeleng lemah. Wajahnya yang sedikit pucat, serta kedua matanya yang sembab seolah menunjukan bahwa gadis itu tidak baik-baik saja.

"Aku tidak apa-apa, sungguh." Katanya sambil tersenyum pahit. Tapi Davin tidak percaya sama sekali. Ketika Stella tersenyum, Davin melihat sebuah luka diujung bibir gadis berambut hitam itu. Jelas sekali sesuatu terjadi padanya. "Kau terluka. Bagaimana aku bisa percaya itu." Ucap Davin. Stella menyentuh ujung bibirnya kemudian meringis.

"Katakan saja apa yang terjadi, aku akan membantumu." Kata Davin. Stella mengigit bawah bibirnya dan ragu untuk menceritakan sesuatu yang sepertinya ia tutup rapat dari lelaki itu. Ia baru mengenal Davin belum lama, tapi dirinya merasa terlalu banyak merepotkannya.

"Stella?" Ucap Davin membuyarkan lamunannya. Gadis itu sontak membuang pandangannya asal. "Hujannya belum reda ternyata ya?" Stella berusaha mengalihkan pembicaraannya seraya mendongakan kepalanya keatas, melihat kearah langit yang terhimpit kedua gedung dikiri dan kanannya.

Ia menengadahkan telapak tangannya kedepan, merasakan tetesan gerimis yang kian beradu dengan suara kendaraan yang melintas dengan samar. Tapi Davin menatap lekat gadis itu.

"Apa kamu orang yang bertengkar di Levada De Café?" Ucap lelaki itu menebak. Stella terkejut, bagaimana Davin bisa tahu akan hal itu. "Huh? Bagaimana kau bisa tahu, Davin?" Jawabnya malah balik bertanya. Davin tersenyum tipis. "Disitu tempatku bekerja, karena ada seseorang yang memberitahuku hal itu. Dan aku tidak menyangka itu adalah kau." Lanjutnya.

Stella tertunduk, ia menjadi kembali mengingat soal masalah yang terjadi padanya, karena Bintan. Saat air matanya sudah reda, kini mengalir kembali. Davin baru menyadari bahwa tubuh Stella sudah basah terguyur hujan, karena rambut hitamnya belum sepenuhnya kering. Ia juga tadi sudah melihat kalau wajah Stella sedikit pucat. Dia mungkin kedinginan.

Davin melepas jaketnya, kemudian melekatkannya pada tubuh Stella sebelum gadis itu benar-benar akan demam karena telah menangis dibawah hujan. Wajah berantakan Stella menatap kearah Davin. "Maafkan aku, tapi mungkin kamu kedinginan." Katanya dengan nada datar. "Terima kasih," Ucapnya. "Terima kasih." Stella mengulang perkataan yang sama.

****

Suatu hari saat hujan turun dengan deras sejak tadi, menyisakan rasa dingin yang terus menyelimuti. Sepertinya musim hujan sudah didepan mata. Buat sebagian orang, musim hujan adalah musim yang paling menyebalkan, sebab sebagian hidup mereka dihabiskan diluar rumah, dan jika hujan terus menerus, itu hanya akan menjadi halangan bagi mereka. Begitu pula dengan Stella, gadis berusia delapan belas tahun yang sedang berdiri di teras sebuah kafe bertema italia itu seolah seperti menunggu seseorang. Ia berdecik pelan sambil terus menerus mengutuk langit karena telah menumpahkan airnya pada waktu akhir pekan seperti ini.

Padahal ia sudah memiliki janji dengan seseorang untuk bertemu ditempat itu pada akhir pekan, tapi orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Ia memeriksa ponselnya dan melihat pesan chat terakhirnya dengan orang yang ditunggunya, yang terakhir di baca pada hari selasa malam.

"Apa Bintan lupa, ya?" Ucapnya pelan bergumam sendiri. Padahal seingat dia bahwa laki-laki itu sudah menyepakati pertemuannya di kafe ini. Bahkan tadi malam Stella sudah berusaha menghubunginya, namun tidak ada jawaban sama sekali.

"Bintan itu kenapa, sih?!" Kesalnya sambil kembali memasukan kembali ponselnya. Gadis bercelana jeans mini itu hanya bisa pasrah dibuatnya menunggu oleh lelaki yang notabenya adalah kekasihnya. Mereka sudah menjalin hubungan asmara hampir tiga tahun.

Karena hujan semakin deras setiap menitnya, Stella pun memutuskan untuk pergi masuk kedalam daripada harus terus menunggu Bintan diluar begitu, apalagi sekarang sedang hujan. Stella memilih tempat disebelah kanan yang tidak jauh dari pintu masuk bertulisan selamat datang dalam bahasa inggris. Nuansa didalam kafe, benar-benar terasa nyaman. Semua dekorasi dibuat menggunakan konsep yang indah, serta musik klasik eropa yang mengiringi pagi ini. Ditambah suara hujan yang terdengar samar, membuat siapa saja yang berada didalam kafe tersebut menjadi lebih rileks dibanding saat mereka berada diluar.

Stella memilih menunggu daripada harus memesan sesuatu meskipun pelayan kafe sudah mendatanginya untuk mencatat pesanan. Gadis itu mengetuk-ngetuk jarinya diatas meja sambil sesekali mengibaskan pandangannya keluar untuk memastikan kedatangan sosok Bintan dan berharap agar dirinya tidak menunggu terlalu lama.

Hari sudah mulai siang, Stella terbangun setelah seseorang membangunkannya. Ia tidak menyadari bahwa dirinya tidak sengaja tertidur disana. Ia melihat jam diarloji yang dikenakan ditangan kirinya, dan ia terkejut karena jam sudah menunjukan pukul 11:17 AM dan laki-laki yang ditunggunya benar-benar tak kunjung tiba. Stella sudah muak dengan hal ini, dan dia berniat untuk bergegas meninggalkan tempat itu, tidak peduli hujan masih turun dengan deras sejak pertama ia menginjakan kedua kakinya di kafe berbau italia itu.

Namun setelah langkahnya sudah tiba didepan pintu masuk, ia pun tak sengaja berpapasan dengan seorang laki-laki bertubuh jangkung yang mengenakan mantel berwarna navy sedang dirangkul seorang gadis disebelahnya. Mereka berdua sama-sama terkejut begitu kedua pandangannya saling berhadapan.

"Bintan?!" Ucap Stella pada lelaki yang sejak tadi ia tunggu, ternyata telah tiba, namun tidak sendirian. "Siapa dia?!" Tanyanya kemudian sambil menunjuk kearah seorang gadis berkulit sawo matang disamping kekasihnya.

"Stella-" Kata Bintan terputus, karena Stella langsung menyambarnya. "Kamu tahu berapa lama aku menunggumu disini? Dan ini yang aku lihat?!" Ucap Stella tersenyum miring. Secara tidak sengaja Stella melayangkan telapak tangannya kewajah gadis yang diketahui adalah mainan Bintan dibelakang dirinya. Stella sudah kehilangan kesabarannya dan tidak peduli dengan orang-orang yang memperhatikannya.

"Aku tidak suka kamu begini!" Kata Bintan dengan nada tinggi. Stella membalas perkataan laki-laki itu dengan emosinya yang telah meluap, yang sejak tadi sudah dipendam. Perasaannya telah meledak ketika mengetahui jawabannya kenapa laki-laki itu tidak memberinya kabar. Dan setelah ia mengetahui alasan dibalik itu semua, justru malah sebuah penghianatan yang ia terima

Namun ketika berdebatan antara keduanya semakin memuncak, Bintan tanpa sadar melayangnya tangannya kearah wajah Stella.

Gadis bercelana jeans mini itu pun terjatuh karena tak bisa menahan tenaga lelaki yang baru saja memukul wajahnya. Stella semakin kesal dan ia kembali membalas Bintan dengan sesuatu yang ada didekatnya, Vas bunga bercorak dengan warna yang hampir sama dengan warna cat yang menghiasi seluruh bagian dalam tempat itu.

Bintan menghindar, namun Stella langsung buru-buru pergi dari sana. Ia menerobos hujan. Bintan berusaha mencegahnya dengan perasaannya yang bersalah, tapi gadis itu sudah terlanjur merasa hancur. Dadanya terasa sesak, ia tidak menyangka jika akan menjadi seperti ini.

Tangisannya pecah, padahal hujan turun dengan deras tapi hujan yang mengguyur tubuhnya tidak bisa menutupi air matanya. Gadis itu berlari didalam air yang berjatuhan dari langit mengguyur kota. Ia berlari dari tempat itu, meninggalkan lelaki hidung belang yang bersama dengan gadis lain.

****