webnovel

Desember

Davin membuka matanya yang seketika pandangannya kabur, namun itu hanya berlangsung beberapa detik. Kemudian tampaklah disekelilingnya yang terasa sangat asing baginya.

Mata cokelatnya melihat jajaran pohon yang menjulang tinggi dan tumbuh tak beraturan. Tanahnya yang lembab membuat kakinya menjadi kotor.

Lelaki itu melangkahkan kakinya sambil menyapu pandangannya kesekeliling. Udara disana terasa sejuk, ia menghembuskan nafasnya dan udara dingin pun memenuhi dadanya. Ia berjalan dengan kaki telanjang. Ditanah banyak sekali ranting-ranting pohon kering yang jatuh membusuk dari dahannya, serta dedaunan kecokelatan juga berserakan disepanjang jalan setapak yang ia lalui.

Davin terus berjalan sampai akhirnya ia menemukan sebuah Gua yang besar didepannya. Telinganya menangkap sebuah suara. Itu terdengar seperti suara seseorang dari dalam Gua tersebut. Suara itu memanggil namanya.

Hal itu membuat dirinya merasa penasaran. Sebenarnya rasanya memang aneh, tapi itu bisa ia pikirkan lagi setelah rasa penasarannya pudar. Ia kembali beranjak mendekati bibir Gua untuk memastikan siapa disana. Dan untuk apa memanggil dirinya.

Angin dingin menghembus menghantam dirinya dari dalam Gua. Ia memeluk dirinya sambil terus masuk kedalam. Didalam benar-benar gelap tanpa penerangan sedikitpun. Ia sebetulnya ingin pergi dari tempat itu, tapi sesuatu yang memanggilnya itu seolah menghipnotis dirinya supaya terus mendekatinya.

Saat lelaki itu sudah berada cukup dari bibir Gua, suara itu padam. Kakinya tidak sengaja menginjak sebuah batu tajam dan hal itu membuat telapak kakinya terluka. Ia menahan perih dikakinya sambil mengutuk tempat itu. Tangannya menyetuh telapak kakinya yang terasa berkedut. Ada luka menganga serta darah yang dihasilkan juga cukup parah.

Namun tiba-tiba, saat dirinya sibuk dengan rasa perih dikakinya yang mulai menjalari keseluruh tubuhnya, ada sebuah cahaya yang menyala dari belakangnya.

Ia menyadari itu, kemudian segera berbalik. Pandangannya disambut oleh seorang perempuan yang terikat di dekat batu besar menghadap kearahnya.

"Davin," Ucap perempuan itu sambil menatap nanar kearahnya. "Davin! Tolong aku!" Katanya lagi. Davin menyipitkan kedua matanya agar bisa terlihat dengan jelas siapa dia. Stella. Matanya membulat sempurna.

"Stella? Stella, Ini dimana?" Tanya Davin sangat kebingungan menghampiri gadis itu sambil berjalan pincang. Stella menggeleng.

"Bukan dimana-mana." Ucapnya datar. "Kenapa kau bisa disini? Siapa yang melakukan ini padamu?" Saat belum puas dengan jawaban gadis itu, Davin bertanya kembali. Ia sama sekali tidak mengerti dengan semua kejadian ini. Hutan, Gua, Kemudian Stella yang terikat.

"Davin, Bintan akan membunuhku. Dia datang, lebih baik kau pergi saja." Gadis itu menangis. Wajahnya yang pucat sangat tidak asing dipandangan lelaki berusia dua pulu tahun itu. Mata gadis itu sudah sembab karena menangis.

"Stella, apa yang terjadi. Tolong katakan padaku." Davin terus memojokan gadis itu dengan pertanyaan-pertanyaan sudah meledak dikepalanya berharap gadis itu memberikan jawaban yang masuk akal.

"Davin, dia datang! Dav-" Sebuah batu besar mendarat diatas kepala gadis itu. Hal itu sontak membuat lelaki berambut cokelat yang berdiri tak jauh dari Stella. Kepala gadis itu hancur karena sebuah batu yang dibanting diatas kepala Stella oleh orang dibelakangnya.

Davin mengusap wajahnya karena darah terciprat mengenai dirinya. Dia berteriak histeris, sampai ketika-

****

Seorang laki-laki terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat hebat serta wajahnya sedikit pucat. Ia melihat kesekitarnya yang sudah bisa ditebak kalau ia berada ditempat tinggalnya.

"Oh, God." Ucapnya pelan sambil mengatur nafasnya. Ia baru saja mengalami mimpi buruk. Ia melihat kearah jam diatas meja dekat tempat tidurnya masih menunjukan pukul 02 : 14 AM. Ia terbangun dini hari.

"Ada apa denganmu, Davin?" Katanya berbicara sendiri. Ia beranjak dari tempat tidurnya menuju dapur dan berniat untuk minum air putih supaya perasaannya bisa tenang dan lebih baik.

Setelah itu, ia menuju kamar mandi lalu membasuk wajahnya diwastafel. Davin menatap dirinya dicermin. Ia menyadari kalau dirinya terlihat kelelahan. Lelaki itu menampar-nampar pelan wajahnya untuk memastikan bahwa ia sudah tidak bermimpi. 'Kenapa mimpiku seperti itu?' Benaknya.

Davin duduk atas meja yang hanya ditemani cahaya remang yang dihasilkan dari lampu kecil diatas meja. Ia memainkan ponselnya, kemudian memutar lagu kesukaannya.

Setelah mimpi buruk itu, ia menjadi sulit untuk kembali tidur. Sebelumnya Davin lupa bahwa ini adalah hari minggu. Dia bersyukur karena hanya akan bekerja saja. Alex juga sempat mengabarinya bahwa sebentar lagi kafe akan didekorasi dengan tema Natal, karena mengingat sudah memasuki bulan Desember.

Ditambah sebentar lagi akan libur panjang juga. Sungguh bulan ini adalah bulan yang paling ditunggu oleh Pria itu.

Davin berpikir sejenak, apakah libur kali ini ia harus pergi ke Yogyakarta, mengunjungi Ibu dan Adiknya disana, atau hanya menikmati kesendirian seperti ini lagi seperti sebelumnya.

Tahun lalu ia ingat bagaimana suasana Natal dan Tahun baru diibukota. Banyak pertunjukan kembang api yang sangat megah. Tapi baginya berjalan-jalan diluar menghindari kerumunan itu sudah lebih dari cukup. Tempat favoritnya adalah jembatan taman kota.

Ponselnya tiba-tiba bergetar, ada notifikasi dari seseorang yang masuk di pesan 'Line'nya. "Stella?" Ucapnya pelan ketika melihat nama yang muncul di layar ponselnya.

Davin mengusap layar ponselnya kemudian menekan logo berwarna hijau diantara tab menu. Ia membaca pesan itu yang ternyata dari Stella.

'Kau belum tidur? Maaf aku mengganggumu.'

'Aku terbangun karena mimpi buruk.' Balas Davin segera.

Tak lama pun Stella membalas, 'Hah? apa kau tidak apa-apa? Kau tidak lupa membaca doa sebelum tidur kan? Pasti harimu sangat lelah, kan?' Pesan masuk dari Stella itu penuh dengan pertanyaan.

Davin tidak buru-buru merespon, ia tersenyum kecil. Ia belum penah mengetahui jika masih ada orang lain yang sangat memperdulikannya seperti itu.

'Terimakasih, aku baik-baik saja. Kau sendiri, kenapa malam ini masih terjaga?' Ibu jari lelaki itu menekan tombol kirim.

Ponselnya menyala lagi, 'Tidurku memang selalu tidak nyenyak.' Balas Stella.

'Begitu rupanya. Tapi kau juga harus memiliki waktu tidur yang baik.'

'Haha, terimakasih banyak.'

Setelah percakapannya dengan Gadis berambut hitam itu, Davin meletakan ponselnya di atas meja yang ia duduki sejak tadi. Musik yang ia mainkan diponselnya masih berputar dengan lagu yang sama.

Ia merasa bahwa Stella adalah orang yang berbeda. Entah kenapa ia merasa begitu, padahal belum seminggu Laki-laki berdarah Indonesia-Kanada itu mengenal Gadis lokal seperti Stella. Tapi dirinya berhasil membuat sesosok laki-laki seperti Davin bisa terasa nyaman saaat berada didekatnya.

Minggu pagi, ia harus pergi ke Psikologi untuk memeriksa kesehatannya. Ia sebenarnya memang sudah rutin pergi ketempat itu hampir tiga tahun lamanya. Sebulan bisa tiga kali kunjungan, sesuai dengan jadwal yang diberikan dokter kepadanya. Dan besok kebetulan memang waktunya untuk kembali kesana.

Obatnya penenangnya sudah hampir habis. Davin sudah tidak meminum obatnya lagi, karena dirasa penyakitnya sudah sembuh, dan ia tidak ingin ketergantungan lagi. Tapu semua itu salah, ia salah menduganya soal dirinya tidak merasa cemas setiap hari.

Ia merahasiakan hal itu kepada siapapun termasuk keluarganya. Memang inilah alasan kenapa dirinya tidak ingin menjadi seorang Guru Bahasa Inggris. Meskipun tidak sedikit orang yang mengenalnya bahwa ia adalah sosok yang sempurna, tapi bagi Davin, dia hanya sampah. Apalagi jika setiap kali ia bercermin didepan kaca besar yang memantulkan dirinya.

Ia menatap wajahnya lekat ketika ia merasa depresi. Tertawa asal seperti orang gila. Inilah kepribadian sesungguhnya yang ia punya dalam dirinya. Terlahir sebagai seorang Blasteran tidak menjamin siapapun bisa merasa istimewa bagi dirinya.

****