Liburan Rafael dan Liam diperpanjang menjadi dua minggu. Dan hal itu jelas saja membuat Karen sangat senang sekaligus bersemangat.
Pasalnya setelah malam itu, Karen menjadi sering ke sana dan menjadikan Ken sebagai tameng jika dia benar benar tidak melakukan hal yang salah di belakang ibunya.
Hanya Ken yang dipercaya oleh ibunya.
"Ini sudah hari ke sepuluh kita datang ke sini," gerutu Ken.
"Apa kau keberatan?"
"Tidak, kalau aku hanya denganmu. Tapi ini berbeda, kita selalu duduk di sini karena kau sedang menunggu monyet itu datang untuk menyapamu."
Karen melirik ke arah Ken dengan tatapan tidak suka. Dia tidak suka jika Rafael mengatai Rafael dengan sebutan monyet.
Namun Ken masih saja membenci lelaki lelaki yang begitu digilai oleh sahabatnya itu.
Padahal Karen sudah tahu benar bagaimana perasaannya padanya, tapi kenapa dia sama sekali tidak mau meresponnya?
Apakah perasaan Karen hanya biasa saja pada Ken? Makanya dia bersikap masa bodoh seperti itu?
"Karen, aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
"Apa?" Meski Ken yang bicara, tapi tetap saja mata Karen ke mana-mana.
"Ini soal perasaanku—apa kau—"
Belum sempat Ken menuntaskan kalimatnya, sosok bayangan yang ia sebut dengan monyet itu datang dan menghampiri Karen.
"Maaf lama, aku dihubungi manajerku tadi," kata Rafael dengan wajah penuh senyuman.
"Tidak apa apa."
"Ken aku akan pergi, kau bisa pulang." Karen meninggalkan Ken. Dan sudah selama sepuluh hari Ken hanya dijadikan pengawal untuk Karen.
Meski Karen menyuruhnya pergi, tapi dia tidak pergi. Masih di sana dan menunggu Karen sampai wanita itu muncul.
Namun—pada saat itu, Karen tidak muncul sampai jam dua pagi. Padahal biasanya dia sudah muncul jam dua belas malam, karena harus kembali ke rumah Nana, bukan rumahnya.
"Di mana sih dia?" gumam Ken.
Akhirnya—karena dia tak sabar dan penasaran, dia menemui Karen. Mencari bayangan Karen di setiap kubikel yang ada.
Namun dia tidak menemukan kedua bayangan itu.
Hanya ada Liam di sana.
"Kau cari siapa?" tanya lelaki itu dengan dingin. Dia sedang menenggak satu gelas bir dengan wanita di sisinya.
"Karen, kau pasti mengenalnya. Dia selalu bersama dengan temanmu," jawab Ken.
"Oh dia? Sedang ke hotel malam ini, apa dia tidak memberitahumu?" tanya Liam.
"Apa?"
"Apa kau tidak tahu kalau dia dan Rafael selalu ke hotel dan kembali jam dua belas? Tapi kenapa sekarang dia tidak datang datang ya?" gumam Liam, ia melihat jam di tangannya.
"Laki laki dan perempuan di dalam kamar hotel, memangnya ada apa?" tanya perempuan muda di samping Liam. "Apalagi mereka berdua saling menyukai."
"Bahaya," gumam Ken.
"Katakan pada sahabatmu, jangan sampai dia hamil karena akan menjadi bencana buat karirku dan Rafael."
Ken begitu geram mendengar pengakuan Liam yang seakan merendahkan Karen. Baru saja dia mencoba untuk menenangkan dirinya, kini dia tersulut emosinya karena ucapan Liam.
Ken hendak memukul Liam, tapi urung ia lakukan. Ia harus segera bergegas menuju hotel.
Hotel di kota itu hanya ada satu, jadi tak sulit bagi Ken untuk menemukan hotel tersebut.
Ken menunggu Karen muncul di depan hotel. Harapannya hanya satu, yaitu jika apa yang dikatakan Liam adalah omong kosong.
Namun ketika jam sudah menunjukan empat pagi, Karen muncul ditemani oleh Rafael.
Rasanya mereka seperti sangat dekat. Padahal baru beberapa hari saja mereka bertemu. Bagaimana bisa?
Ken bersembunyi. Kemudian melihat Karen masuk mobil kemudian menghilang di depan matanya.
"Kau ada di mana?" tanya Ken dengan suara gemetar yang ia tahan.
"Aku? Aku sudah ada di rumah Nana, maaf ya, aku tidak mengatakannya padamu," jawab Karen.
Untuk pertama kalinya, Ken merasa kecewa pada sahabatnya tersebut. Karena sudah dibohongi olehnya.
Jelas jelas dia baru saja keluar dari hotel, tapi kenapa mengatakan hal itu padanya?
"Baiklah, kalau begitu aku akan pulang," kata Ken.
**
"Siapa?" tanya Rafael ketika melihat Karen baru saja menutup teleponnya.
"Oh itu—temanku yang selalu menemaniku."
"Sepertinya dia menyukaimu, ya?" kekeh Rafael yang menunjukan rasa cemburunya pada Karen.
Karen senang melihat hal itu, merasa dicemburui oleh Rafael sama saja hal yang sangat berharga.
"Hmm, tapi aku hanya menganggapnya sebagai sahabat, karena aku—"
"Kau kenapa?" Rafael tertawa kecil.
"Karena aku menyukaimu," kata Karen pelan.
Perempuan itu terlihat lucu dan menggemaskan di mata Rafael. Dan dia sangat hebat di ranjang. Meski dia mengaku baru pertama kali melakukannya dengan Rafael, tapi Karen terlihat sangat andal.
"Aku juga," sahut Rafael tak mau melihat keresahan di wajah Karen.
Karen tersenyum senang.
"Kalau aku nanti hamil, bagaimana?" tanya Karen takut takut.
"Aku akan menikahimu, tenang saja. Aku akan bertanggungjawab."
"Serius?"
Karen yang waktu itu masih muda, tentu saja termakan janji manisnya. Apalagi yang mengatakan adalah idolanya sendiri yang sudah ia gilai selama ini.
"Jangan khawatir," kata Rafael ia mengelus punggung tangan Karen.
**
"Lho Ken? Di mana Karen, bukankah kalian tadi malam keluar bersama?" tanya ibu Karen ketika melihat Ken baru saja keluar dari rumahnya.
"Oh itu dia masih di rumah Nana, katanya dia akan berangkat kerja dari sana."
"Benarkah? Anak itu, akhir akhir ini menjadi jarang di rumah."
Ken hanya tersenyum hampa.
"Kau mau berangkat kerja?"
Ken mengangguk.
"Lelaki yang sangat rajin," puji ibu Karen.
Ken tersenyum kecut, andai saja dia mengatakan yang sebenarnya pada ibu Karen, pasti perempuan itu akan dikuliti dan tak akan dibiarkan untuk keluar lagi.
Namun sayangnya, Ken tidak memiliki tenaga untuk mengadukan hal itu.
**
Di kedai kopi, Ken, Galen dan Nana sedang berkumpul. Tak ada Karen, karena katanya perempuan itu ada acara dengan Rafael.
"Karena besok mereka sudah pulang, jadi Karen ingin bersamanya," kata Nana dengan santai.
"Kau ini—apa kau tau kalau kemarin dia baru saja keluar dari hotel?" tanya Ken dengan kesal.
"Lalu apa hubungannya denganku? Dia sudah dewasa, jadi hak dia Ken. Lagi pula kalau kau menyukainya lamar dia, katakan kalau kau menyukainya jangan jadi pengecut seperti ini."
Ken diam.
"Kalau ada apa apa dengan Karen, maka itu salahmu."
"Aku? Kenapa?"
"Hei, kau tak bisa menyalahkan Nana, sementara Karen saja melakukannya dengan sukarela," sahut Galen yang tak suka wanita yang disukainya diperlakukan seperti itu oleh Ken.
"Sangat mengesalkan," gerutu Ken. Ia meneguk tehnya sampai tandas kemudian pergi.
Ketika dia di parkir motor, ia melihat Karen baru saja keluar dari restoran kecil di seberang kedai kopi.
Mereka berdua tampak tertawa seakan dunia milik berdua.
"Firasatku mengatakan hal yang tidak baik akan terjadi," gumam Ken.