webnovel

4

Aku hanya ingin menampar orang yang sudah menjahiliku. Tak kusangka, oknum yang kumaksud adalah tikus raksasa yang tanpa permisi mengobrak-abrik dapur ibuku.

Dan di sinilah aku. Berteriak kencang memanggil nama Raka sambil berlari menghindari tikus itu. Meminta Raka mengaktifkan perisai bening dan menyemprotkan disinfektan sekitar rumah. Sedangkan diriku membawa tikus itu melakukan tur isi rumah gratis.

Ibu, maaafkan aku. Perabotanmu banyak yang hancur.

Aku bersembunyi di kamar. Jantungku berdegub kencang. Entah karena takut tikus itu segera menyusulku atau karena berlarian tiada henti sejak tadi.

Aku menggeledah isi lemari. Mengambil ransel roketku lalu memakainya. Jantungku yang masih berdegub kencang membuatku hampir terjatuh. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku dan pandanganku berbayang. Berjalan sedikit rasanya ingin muntah.

Aku berjalan sempoyongan menuju jendela. Dengan tergesa-gesa kubuka lebar-lebar. Bau disinfektan menyengat hidungku. Membuatku mengeluarkan sedikit isi perutku.

Kuusap bekas muntahanku yang tersisa di bibir. Aku merasa sedikit membaik. Meski jantungku masih berdegup kencang, tapi tidak seintens tadi. Kemudian mencoba menyalakan roket yang sudah lama tak kugunakan.

Aku menatap pintu menunggu tikus itu merangsek pintu kamarku. Cukup lama kumenunggu. Tak ada tanda-tanda kemunculannya.

Aku mulai khawatir. Kalau-kalau tikus itu menunggu di depan pintu. Lalu menyerangku saat membuka pintu. Tapi jika aku diam di sini saja maka aku—

"—Cit."

Otakku pasti sedang bercanda. Mana mungkin ada suara tikus. Makhluk omnivora itu belum memasuki kamarku. Dia masih di luar.

"Cit."

Ini tidak lucu, Otak. Tidak lucu. SANGAT TIDAK LUCU.

Aku tahu, situasinya sedang genting. Ada tikus di depan kamarku. Jadi pastilah suara decitannya terdengar sampai kemari.

Yup. Pasti begitu. Ya, kan?

"Cit."

Sebulir keringat mengucur ke leherku. Ayolah otak!!! Berhentilah mengkhayalkan yang aneh-aneh!

Aku berjalan cepat menuju pintu kamar. "Tikus itu ada di depan—" ucapku dalam hati.

'BRAK'

Ada sesuatu yang menerobos kamarku dari arah belakang. Aku perlahan menolehkan kepala dan di saat bersamaan ponselku berdering nyaring dan bergetar.

"Cit cit cit."

Aku menerima panggilan masuk tanpa memperhatikan siapa penelponnya.

"Rik, kau dimana?" tanya Raka dari seberang panggilan. "Tikus itu—"

"Iya, aku tau," potongku.

Aku mundur perlahan. Jantungku berdegub kencang lagi. Aku sedikit kesulitan bernapas.

Tikus itu ada di hadapanku. Entah bagaimana dia bisa manjat rumah berlantai empat ini.

Dan entah bagaimana tubuhnya bisa dua kali lipat lebih besar dari yang tadi. Hanya moncongnya yang muat masuk kamarku.

Aku terus mundur hingga mentok ke pintu. Segera kubuka pintu kamar dan berlari menjauh dari sana selagi sempat.

Aku loncat sana loncat sini seperti sedang parkour melompati barang-barang yang berserakan menghalangi jalan.

Aku naik ke lantai teratas agar bisa melarikan diri degan roket di punggungku ini. Sudah tak sanggup jika harus berlarian lagi.

Aku terduduk saat sampai di atap rumahku yang datar. Iya bentuk atap rumahku datar seperti di bangunan-bangunan luar negeri. Soalnya ada lingkaran tempat helikopter mendarat.

Jadi yaaa selain berfungsi sebagai atap rumah, juga dimanfaatkan sebagai landasan helikopter.

Kami kan holang kaya.

Aku perlahan berdiri dengan tangan memegang dinding. Kedua kaki gemetaran. Mereka sudah mencapi batasnya.

Aku maju beberapa langkah. Kemudian menyalakan roket. Tubuhku terangkat ke atas. Perlahan bisa melihat punggung tikus raksasa itu.

Aku meninggalkan rumah kesayanganku diobrak-abrik tikus itu. Sedih rasanya. Banyak kenangan di sana dan pesanan indomie yang belum sempat dimakan. Ngemban, ngembang dah tuh mie.

Aku terbang mencari keberadaan Raka. Kulihat dia bersembunyi di kebun buah. Keputusan yang tepat.

Aku menurunkan kecepatan roket agar bisa mendarat dengan mulus. Raka menyambut kedatanganku dengan memakan buah kesemek. Aku tersenyum tipis lalu kurasakan semuanya terbalik dan menghitam.