webnovel

MASALAH PERTAMA, DI HARI PERTAMA OSPEK

"Aku yang mau buat masalah sama kamu, kalau kamu gak balikin buku dia" sela seseorang yang berada di belakang Senja, dia adalah Arga. Arga memberikan tatapan tajamnya ke Zidan. Begitu pula dengan Zidan. Semua mata kini tertuju pada Zidan, Arga, dan juga Senja. Kantin yang tadinya ramai seketika berubah menjadi sunyi. Senja yang berdiri diantara kedua laki-laki itu hanya bergidik ngeri.

Senja membalikkan tubuhnya menghadap Arga. Berniat untuk meredam emosi Arga. Tapi ternyata, Senja malah terkesima dengan garis wajah Arga yang terlihat lebih indah jika dipandang dari jarak sedekat ini. Hatinya bergemuruh. Tubuhnya seketika kaku. Tidak ada kata yang bisa keluar dari bibirnya. Senja berkedip menyadarkan pikiran dan hatinya. Ini bukan waktu yang tepat untuk mengagumi Arga. Membawa Arga menjauh dari Zidan adalah yang terpenting untuk saat ini.

Dengan keberaniannya, Senja menatap mata Arga dan mengucapkan, "Kak, saya ingin pergi dari sini." ucapnya lirih yang masih bisa di dengar Arga. Tatapan tajam Arga masih tertuju pada Zidan yang sekarang dengan seringainya melempar buku itu di atas meja kantin.

"Niih...gue balikin. Gak guna juga buku itu gue simpan. Santai saja bro, gue cuma pengen main-main sebentar." ujar Zidan seraya menepuk pelan pundak Arga kemudian pergi beserta gengnya. Arga menghela nafas beratnya sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia marah, saat Zidan mengatakan "main-main sebentar", itu artinya Senja dianggap mainan oleh Zidan. Arga tidak terima. Dia ingin menyusul Zidan dan gengnya, namun ada sebuah tangan yang menahannya. Senja menahan Arga.

"Sudah kak. Saya gak mau ini menjadi ramai." ucap Senja setelah melepas tangannya. Senja mengambil buku catatan yang ada di atas meja kemudian dia berjalan menjauh dari kantin ini, menjauh dari Arga. Senja malu. Malu pada dirinya sendiri yang telah berani memegang tangan Arga, lelaki yang diam-diam ia kagumi.

Arga masih mematung di tempatnya. Bukannya ia tak mau mengejar Senja. Tetapi kakinya seperti tidak mau untuk digerakkan. Dia masih sangat terkejut dengan peristiwa tadi. Saat sebuah sentuhan lembut yang menahan amarahnya. Arga tau betul, itu adalah tangan Senja. Siapa lagi kalau bukan Senja, karena yang berada dekat dengannya tadi adalah Senja.

"Saat kita mulai jatuh hati pada seseorang, kita tidak bisa menahan hati dan pikiran kita untuk tidak memikirkannya. Bahkan, alat indra pun tidak bisa menyembunyikan perasaan kita kepadanya"~ Senja.

Senja berjalan menuju kelas untuk mengikuti materi yang di sampaikan oleh Arum, yaitu tentang sejarah berdirinya fakultas kedokteran.

"Assalamualaikum." salam Senja setelah mengetuk pintu. "Waalaikumsalam." Dika menjawab dari dalam kelas kemudian membukakan pintu. Senja tersenyum tipis pada Dika. "Maaf kak saya terlambat, tadi ada keperluan sebentar." ucap Senja. Kemudian di balas anggukan oleh Dika. Senja berjalan menuju bangku kosong di samping Rina. Rina memberikan tatapan penuh pertanyaan kepada Senja. Namun ia tahan, karena mereka sedang fokus mendengarkan materi dari kak Arum.

Di tempat lain, Arga sedang mencari keberadaan Zidan. Dia masih sangat emosi dengan perkataan Zidan di kantin tadi yang seperti merendahkan Senja. Arga tidak terima. Setelah mengelilingi fakultas hukum, akhirnya Arga menemukan keberadaan Zidan beserta gengnya. Dia tidak takut sama sekali dengan mereka. Bahkan Arga menantang mereka duel satu lawan satu. Arga sebenarnya adalah orang yang tidak suka kekerasan, tetapi dia lebih tidak suka dengan orang yang merendahkan wanita.

"Zidan" teriak Arga lantang sambil berjalan ke arah Zidan yang sedang menyeruput kopinya. Dia sedang nongkrong bersama gengnya di warung belakang.

"Gue ingatkan yaa..jangan pernah sekali-kali lo remehin atau bahkan merendahkan wanita seperti yang lo lakuin tadi." ujar Arga penuh penekanan.

"Gue heran yaa..lo tuh mahasiswa hukum, tapi kelakuan lo sering melanggar hukum." lanjutnya.

"Sekali lagi gue lihat lo seperti tadi, gue buat lo gak bisa jalan, ngertii !!" ucap Arga penuh penekanan dengan mata tajamnya dan emosi yang sudah memuncak.

Zidan tidak menanggapi. Dia dengan santainya tetap menyeruput kopinya. Sebelum Arga beranjak dari tempatnya, Zidan berkata. "Itu cewek lo ? Cewek yang ke berapa ? Omongan lo udah kayak pahlawanan kesiangan tapi kelakuan lo sama aja kayak gue. Suka merendahkan wanita." tantang Zidan tak kalah sengitnya.

"Apa maksud lo ?" tanya Arga tak mengerti.

"Jangan sok polos lo yaa." Zidan sudah sangat emosi. Entah apa maksud dari perkataan Zidan tadi.

Segera setelah mengucapkan itu, dia lantas menghantam pipi Arga dengan bogeman keras. Arga jatuh tersungkur di atas tanah. Ada sedikit darah yang keluar dari sudut bibirnya. Arga yang tidak tau maksud perkataan Zidan hanya bisa membalas pukulan Zidan. Zidan pun tersungkur di atas tanah karena kerasnya pukulan Arga. Akhirnya mereka berdua saling berduel, saling membalas pukulan satu sama lainnya. Anggota geng Zidan tidak ada yang melerai, bahkan di antara mereka memvideo kejadian pertengkaran itu dan yang lainnya memberikan sorakan layaknya pertandingan tinju.

Hingga sebuah suara menghentikan perkelahian mereka. Suara bariton yang begitu keras menggelegar membelah langit ketujuh. Yaa...itu adalah suara ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Lazuardi, yang bernama Adiyatma Mahasvir Bagaskara atau biasa disapa Bagas. Mahasiswa semester akhir, senior mereka yang terkenal galak dan tegas.

Mereka berdua, Arga dan Zidan akhirnya di giring menuju ruang rapat yang terdapat di gedung BEM.

"Kenapa kalian bertengkar lagi ?", sebuah suara memecah keheningan di dalam ruangan ini.

"Masih soal masalah yang terjadi di kantin tadi ?" lanjut Bagas. Kedua orang di depannya ini hanya bisa terdiam, tidak ada yang menjawab. Menghadap seorang Bagas, ketua BEM sudah seperti menghadap panglima TNI. Badannya tinggi tegap seperti prajurit militer. Arga dan Zidan masih terdiam.

"Mau saya panggilkan cewek yang di kantin tadi ? Biar masalah kalian cepet selesai ha ?" tawar Bagas. Karena tidak ada yang membuka mulutnya.

"Tidak, bang." sebuah suara menjawab. Itu adalah suara Arga. Arga tidak mau Senja terlibat masalahnya dengan Zidan.

"Biar clear ini masalah kalian. Aku capek mengiintrogasi kalian terus." ucap Bagas. "Kalian itu loh, sudah mahasiswa tapi kelakuan masih kayak siswa SMA saja." lanjut Bagas tegas.

Detik berikutnya, Bagas meraih handponenya untuk melakukan panggilan dengan seseorang.

"Hallo, assalamualaikum Dika."

"Iya bang, waalaikumsalam. Ada apa bang ?" jawab seseorang disebrang sana. Mendengar suara yang tidak asing, Arga menjadi sedikit cemas. Takut jika Bagas benar-benar akan memanggil Senja. Dan benar saja.

"Gini, tolong kamu panggilin mahasiswi baru di fakultasmu yang bernama Senja Tsabina. Bawa dia kesini ya." minta Bagas pada Dika. Arga berucap lirih menatap Bagas, "Bang.." dengan tatapan memelas meminta Bagas jangan memanggil Senja. Tapi Bagas tidak menggubrisnya. Bagas hanya memberi isyarat untuk Arga tetap diam.

"Siapa bang ? Senja Tsabina ?" Dika memastikan lagi. Takut salah bawa orang.

"Iya, Senja Tsabina. Bawa dia ke ruang rapat ya." "Ok sip." Bagas kemudian menutup teleponnya.

Di kelas, Dika meminta ijin ke Arum untuk membawa Senja keluar dengan alasan ada kepentingan. Senja terkejut. Ada apalagi ini. Batinnya.

"Mau kemana kita kak ?" tanya Senja pada Dika yang berjalan di depannya dengan terburu-buru. "Kamu di panggil ketua BEM untuk menghadapnya." jawab Dika.

"Ha..siapa kak ? Ketua BEM ? Maksudnya di panggil kak Bagas ?" tanya Senja, dia tahu nama ketua BEM karena sempat meminta biodata saat di kantin tadi. Pertanyaan Senja hanya di balas anggukan oleh Dika.

Sesampainya di ruang rapat, Senja dan Dika sama-sama terkejut melihat Arga dan Zidan dengan wajah yang sudah tidak karuan. Ada sedikit bekas darah di ujung bibir mereka berdua.