webnovel

6. Cinta pertamaku, Harry

Bentar lagi Ramadhan, aku menyambutnya dengan bahagia. Tapi… ada satu hal yang mengganjal di hatiku, yang membuatku merasa Ramadhan tahun ini berbeda dengan Ramadhan tahun lalu. Apa mungkin karena tahun lalu ada "Hary" yang menemaniku? Atau hal lain? Tapi apakah hal lain itu? Iya… mungkin karena sekarang tidak ada "Hary" lagi...

Siapa Harry?

Persepsiku, Harry adalah my first love. Seorang yang jadi cinta pertamaku, orang yang pertama mengucapkan "selamat ulang tahun" waktu ulang tahun ketujuh belas lalu sebelum teman-teman dekatku, orang yang pertama mengucapkan selamat atas kelulusanku sebelum orangtuaku, orang yang pertama bersedih waktu kegagalanku masuk PTN, orang pertama yang membuatku mengerti akan arti cinta yang sejati, dan butir-butir kata mutiara yang diberikannya paling bermakna dalam hidupku.

Memang, sebelum dia ada orang yang statusnya jadi "pacar ku," tapi itu hanya sebatas status. Waktu itu aku belum mengerti dengan "apa itu cinta" membuatku polos dan tak mengerti apa yang diucapkannya. Hal itu membuatnya jengkel dan tak perlu lama-lama jadi pacarnya, cukup dua minggu saja kami bergandeng dalam status pacaran.

Mungkin karena waktu itu kami sama-sama masih remaja, dia remaja yang sangat mengerti dengan cinta dan aku remaja yang tak mengerti dengan cinta. Dan keremajaan itu pula membuat dia tak bisa bersabar menghadapiku, bagiku pantang menuruti semua kata-katanya, aku juga tak paham dengan tingkah lakunya. Dan putus setelah dua minggu jadian.

Yang benar ku sebut dengan cinta pertama, ialah rasa cintaku pada Harry. Orang yang mampu memenuhi hatiku tentang dia, membuatku selalu merindukannya, kapanpun dan di manapun selalu teringat dia.

Sedikit tentang Harry; usianya harusnya dua tahun lebih tua dariku. Karena aku masuk sekolah lebih cepat, saat itu aku tujuh belas, dia udah kuliah dan umur sembilan belas. Kita tak pernah ketemu, wajahnya pun aku tak tahu. Apakah dia ganteng atau jelek? hidungnya mancung atau pesek? Tubuhnya tinggi atau pendek? Gendut atau kurus? Kaya atau miskin? Waktu itu ketika cinta ku meluap-luap untuknya membuat aku berpikir jika dipertemukan dengannya, aku akan menerima dia apa adanya. Lho??? Nggak pernah ketemu kok bisa cinta?

Tapi dia sempat memberitahukan ciri umum tentang dia, tingginya 174 cm, pakai kacamata, rambutnya lurus, beratnya termasuk kecil untuk ukuran lelaki. Sementara aku tinggi 163, mungkin gak terlalu jauh dengan dia kalau nanti sempat ketemu.

Bagiku… itulah yang disebut dengan Cinta yang sebenarnya. Kami merasa saling memiliki, walau terpisah oleh selat yang membelah posisi kami. Dan kami sama-sama merasa saling memiliki, walau kami saling tidak tahu bagaimana wajah orang yang kami sayangi.

Aku kenal dengan Harry beberapa bulan sebelum ujian akhir SMA. Perkenalan pertama pun terasa begitu lucu, dia terus miscall tak jelas. Setiap dia misscall, karena nomernya tidak kenal hanya aku balas misscall juga. Dalam pikiranku paling temen yang mau ngerjain aku. Berapakali dia misscall, sebanyak itu pula ku misscall balik. Jujur aku penasaran pada orang yang hendak mengerjai aku ini. Maklum, hapeku belum secanggih yang lain. Rasa penasaran hanya bisa dipendam.

Sekian lama kami saling misscall-misscallan, dan akhirnya pesan dari dia pun datang.

Dia : Hay… ini nomer siapa ya? Kok ada di kontak gw?

Aku: Ini sendiri siapa?

Aneh?

Kok bisa nomer aku ada sama kamu?

Dia: Iya… aneh banget?

Gw sendiri heran, kenapa nomer lu ada sama gw?

Berarti kita ditakdirkan untuk berkenalan.

Salam kenal aja, nama gw Harry

Aneh banget nih orang? Kecurigaan semakin meningkat. Aku semakin yakin ada orang yang hendak mengerjai aku. Namun juga jiwa muda masih ingin meladeni

Aku: Salam kenal juga!!!

Namaku Yukita

Setiap hari kami berkirim pesan, rasa curiga masih menggelantung dalam benakku. Walau tak ada tanda-tanda dia akan mengerjaiku.

Akhirnya dia menelpon.

"Helow…"

"Ya halo…"

"Yukita yah?"

Suaranya, bener-bener khas Sunda "Iya donk… Harry? Kasi tahu donk, siapa yang kasi nomer aku ke kamu?"

"Beneran… sumpah??? Nomer kamu udah ada di kontakku"

"Kok bisa?"

"Entahlah. Emang gak boleh yah nelpon kamu?"

"Ya… kalau nggak jahilin aku sih nggak apa-apa"

"Buat apa atuh aku ngerjain kamu"

"hahaha" beneran orang Sunda

"Kenapa ketawa?"

"Nggak… salam kenal aja ya?"

"Oke salam kenal juga Yukita…"

Sejak itu kecurigaan ku hilang, dan yakin dia tidak mencoba mengerjai aku. Karena aku tak punya temen dari Bandung, sedangkan Harry itu orang Bandung. Waktu itu Harry kuliah di Institut Teknologi yang ada di Bandung. Aku seneng dengar aksen Sundanya itu. Semakin lama, dia semakin sering menghubungi aku.

Karena tiap hari diperlakukan istimewa seperti itu, muncul sebuah rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Yaitu rasa senang diperhatikan, rindu apa bila belum ada pesan dari dia, mungkin itu yang disebut "Cinta."

Aku paling suka mendengar suara Sundanya yang kental, karena di sini tak ada satupun ngomongnya seperti itu. Dia orang yang sangat perhatian, dan membuatku tak ingin kehilangan dia. Karena dia, aku bersemangat menghadapi Ujian Akhir.

Semangat yang sekalu diberikannya aku berhasil menempuh ujian Akhir dengan usaha ku sendiri dengan predikat "sangatt memuaskan."

Dia pula yang menemani hari-hariku sebelum melaksanakan ujian masuk PTN. Namun, dengan cinta pertama yang ku rasakan begitu menggebu-gebu membuat kepalaku berisi tentang Harry setiap saat. Aku mengikuti bimbingan belajar super intensif untuk seleksi, minggu pertama aku bener-bener serius mengikuti pelajaran. Namun hasil TO minggu pertama sangat tidak memuaskan, namun Harry tetap memberiku semangat untuk tidak menyerah. Setelah konsultasi dengan tentor, ternyata untuk kemampuan awal itu sudah bagus. Tapi aku tetap merasa kecewa dengan hasil yang pertama.

Harry terus bilang "jangan menyerah begitu saja!!! Kamu pasti bisa"

Karena semangat yang diberikannya itu, serasa ada yang merasuki dan membuatku menginginkan passing grade yang bagus. Untuk TO selanjutnya aku nyontet punya temen-temen yang ku anggap pinter dan hasilnya, passinggrade kali ini jauh melonjak, ku ceritakan pada Harry tentunya tanpa bilang hasil contetan dan… Harry memujiku. Lalu dia mengharapkanku bisa kuliah di Bandung, tempat dia berada. Dalam formulir ku masukkan pilihan Matematika Unpad. Ya elah... ngga tau diri bangad.. 🤣 jelas geblek matematika, pakai sok-sokan pilih jurusan itu pula?

Pilihan kedua di Kesehatan Masyarakat Unand karena permintaan Ibu ku dan pilihan ku sendiri di Pendidikan Bahasa Indonesia karena aku sangat cinta pada dunia Sastra.

Harry terus memberiku semangat, seharusnya dengan semangat yang diberikannya aku bisa bersemangat belajar untuk mengahadapi seleksi yang semakin hari semakin dekat. Namun, semangat itu membuat rasa cinta untuknya semakin besar, lebih tinggi dari Mount Everest, lebih dalam dari Samudra yang terdalam (aciiee elah... lagi lebay mode:on). Setiap semangat yang diberikannya, aku semakin bersemangat untuk menulis puisi tentang cintaku padanya.

Dan setiap try out, aku menyontek tes teman. Gara-gara TO terus nyontek, hari-hari ku isi menulis kisahku dengan Hary kedalam rangkaian kata dalam puisi cinta. Tak pernah membolak-balik buku, membaca atau latihan dalam matematika membuatku kocar-kacir saat Seleksi yang sebenarnya. Aku terpisah dengan teman-teman bimbelku, dan di seleksi ini aku tak berani nyontek karena pengawasan yang begitu ketat.