webnovel

Sekretaris Willona

Willona Adara Paramadhita—perempuan cantik bertalenta dengan otak cerdas. Ia harus mendapati perusahaan keluarganya bangkrut dan memaksa dirinya untuk menjadi seorang sekretaris dari Kenan Argadinatha—Argants Contructions Corporation. Sudah dua tahun lamanya Willona menjadi sekretaris Kenan menghadapi sikap dingin, angkuh, dan tak berperikemanusiaan memberinya lembur setiap malam. Lalu apa yang membuat Willona bertahan? Gaji besar! Jelas. Orang buta pun tahu jika seorang Kenan tak akan memberi gaji kecil kepada siapa pun yang berada di lingkup kerjanya. Dan hal inilah yang membuat Willona bertahan hingga detik ini. Namun, suatu malam mengubah segalanya. Willona harus menghadapi pernikahan mendadak dari keluarganya hanya karena sebuah janji. Terpaksa, hanya itulah kata keluar dari mulutnya untuk mengiyakan. Willona tidak menyangka seseorang yang telah menjadi suaminya adalah bossnya sendiri. Dan hal itu yang membuat Willona membrontak dalam hati karena mendapati Kenan bukanlah lelaki single. Dia mempunyai kekasih. Lalu, apa yang akan dilakukan Willona? Memilih bercerai atau tetap mempertahan pernikahan dengan menahan sesak di hati?

SenyaSSM · สมัยใหม่
Not enough ratings
18 Chs

Jangan Ganggu Milikku

"Apa yang kau lihat?" Suara berat itu membuat Willona dan Rendi seketika tertunduk dengan lutut bergetar. Kenan keluar dari balik pintu seraya menepuk-nepuk lengan tangannya sedikit kotor tersentuh dinding.

Lelaki itu berjalan ke arah Willona, tanpa memperdulikan satu karyawannya sedang diam-diam mencuri lirik takut-takut ke arah lelaki berkuasa tersebut yang menatap sang sekretaris.

"Willona ..." panggil Kenan sembari melepas kancing kemeja, mulai dari atas hingga bawah. Sekarang, ia berdiri tepat di depan tubuh wanita cantik itu. "Katakan pada Istriku untuk membawakan baju ganti." Lanjutnya membuat Willona dan Rendi membuka mata lebar.

Degub jantung Willona tiba-tiba bekerja tak beraturan, ingin rasanya ia meremas mulut Kenan. Sedangkan Rendi kebingungan sendiri, ia sedaritadi mencoba menyenggol lengan Willona setelah mendengar kalimat ambigu sang atasan.

"Istri? Pak Kenan punya Istri?" bisik Rendi bertanya, ia berharap telinganya benar-benar berfungsi untuk bisa menjadi bahan bergosip nanti.

Namun, Willona justru memilih bergeming, wanita itu tahu sebocor apa mulut Rendi meski dia seorang ketua devisi.

Setelah mengatakan kalimat tadi, tubuh kekar Kenan justru berbalik menatap ke arah karyawan tambunnya yang masih tertunduk takut. Tatapan tajam Kenan seakan ingin memakan bulat-bulat.

"Nyalimu banyak juga, kalau kau masih ingin di sini. Buat salinan dari design yang pernah timmu buat. Aku butuh tiga design untuk aku bawa ke luar seperti biasa," perintah Kenan menunjuk di depan wajah Rendi.

"Sekalian laporan yang aku minta tadi. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun," tambahnya.

Udara dingin di ruangan itu mendadak terasa menyeruak, membuat bulu kuduk merinding. Willona dan Rendi seakan seperti berada di luar angkasa dan Kenan sebagai monster dengan wajah tampan hanya sebagai tipuan semata.

Kedua mata Rendi terbelalak mendengar perintah Kenan yang terasa beranak pinak yang semula hanya mengerjakan laporan saja, kini bertambah dengan design.

Alamaak, harusnya Rendi tak datang ke ruangan Willona kalau seperti ini jadinya.

"Ingat apa yang aku katakan tadi. Aku tunggu laporanmu." Ulang Kenan dengan nada bariton.

Kenan kembali berjalan, tangan kekar Kenan terulur untuk membuka pintu ruangan Willona yang terhubung dengan ruangannya, ia melangkah ke dalam tanpa memperdulikan dua karyawannya sedang mengumpat dirinya dalam hati.

Napas panjang terhela kasar mendapati boss mereka sudah tidak lagi berada di antara mereka. Nyawa rasanya sudah kembali terkumpul lengkap, ingin rasanya Willona dan Rendi mendudukan tubuh di lantai.

Kedua kaki mereka benar-benar telah mati rasa.

"Huhh ... selamat!"

"Aku pergi dulu, Wil. Kamu masih punya hutang padaku, cerita tentang istri Pak Kenan." Rendi pun pergi dengan cepat tanpa berbasa-basi lagi, sedangkan Willona langsung melempar tubuh rampingnya di atas bangku kebesarannya.

Willona menangkup wajah cantiknya yang telah berubah begitu lelah, meresapi apa yang telah terjadi hari ini. Ulasan ingatan menyebalkan mendadak memutar di benak, bibir merah tipisnya telah disentuh lelaki yang tak pernah terpikir oleh Willona.

'Aagh ... siaalan! Kenapa Pak Kenan menciumku?!' batin Willona begitu kesal.

"Willonaaa!"

Tubuh Willona tiba-tiba terhenyak saat namanya dipanggil begitu kencang, membuat Willona loncat tergesa dari dari kursinya. Kedua iris mata hitam wanita itu langsung menyebar, mencari pusat suara melengking tersebut.

Tak berapa lama, Willona menepuk cepat dahinya. Willona benar-benar telah melupakan tugas yang baru saja diberikan Kenan.

"Astagaa, aku lupa!"

"Di mana lagi lemarinya," sambung Willona gugup sembari berjalan maju mundur, kemudian berputar. Dan tak lama kedua iris hitam legamnya menemukan lemari baju besar yang sengaja di letakkan di samping meja kerja Willona.

"Ck, sialan! Kenapa juga benda ini di sini," umpat Willona sembari menendang lemari tersebut dengan sebal.

Willona menarik napas kasar, menengadah wajah dengan menggeram, mencoba menetralkan emosinya. Setelah hatinya mulai tenang, Willona menurunkan pandangan, mengayun langkah semakin dekat.

Kedua tangannya terulur membuka lebar kedua pintu lemari yang terlihat begitu mewah. Pandangan itu menyebar, meneliti warna yang cocok untuk digunakan Bossnya untuk hari ini.

"Sepertinya warna ini cocok untuk Pak Kenan, terlihat cerah di wajah galak pria itu," gumam Willona seraya menggerakkan kemeja yang kini telah berada di tangannya.

Willona mengambil satu warna yang menurutnya cocok digunakan untuk bertemu klien. Ia pun berlari ke arah ruangan Bossnya mengangkat kemeja itu sedikit tinggi dari tubuhnya agar tidak kusut.

Tangan kanan sudah berlabuh pada gagang pintu kayu bercat hitam. Satu ketukan saja dari Willona sudah membuat celah di sana terbuka. Terlihat kepala Kenan melongok, memandang Willona.

"Pak Kanan, ini kemejanya," ucap Willona sembari menyodorkan gantungan kemeja berwarna abu-abu pilihannya.

Kenan menarik kasar, dan langsung menutup pintu kencang hingga membuat tubuh Willona berjengit terkejut.

BRAK!

"Astaga, Pak Kenan!"

"Dosa apa aku bisa kerja dengan boss gila seperti pak Kenan," gerutu Willona sembari berjalan kembali ke ruangannya. Langkah itu semakin terayun seiring dengan ingatan beberapa berkas yang harus ia siapkan untuk meeting nanti.

Jarum jam sudah mununjukkan waktu hampir mendekati kesepakatan waktu meeting. Tapi, Kenan justru tak kunjung segera keluar. Willona mencoba menjijit untuk memastikan keberadaan bosnya di dalam sebuah ruang tidur.

"Aku nggak mungkin dobrak pintu ini kan?" monolog Willona sembari mengangkat kedua buku tangan menyatukan di depan kaca pintu kamar, mencoba mengintip Kenan di dalam sana.

Willona berdesis sebal, ia sudah tak sabar ingin masuk ke dalam sana. Jika mereka kehilangan klien penting hari ini, Willona sudah bisa memastikan jika perusahaan sang atasan akan sangat merugi. Dan siapa yang akan disalahkan Kenan? Jelas Willona.

Dasar boss sialan! Tak waras, otak sinting!

"Pasti pak Kenan sedang—" Belum sempat dirinya melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba ia melihat lelaki tampan itu keluar dari ruang kamar, mendadak menyelonong berjalan ke arah ruangan Willona.

Willona bergegas ikut berlari, tapi mendadak langkahnya terhenti saat Kenan tiba-tiba menghentikan langkah, menoleh dengan wajah dinginnya ke arah Willona.

"Kau ikut aku meeting kan?"

"I-iya, Pak. Saya ikut meeting."

"Bagus, persiapkan berkasnya. Jangan merias wajahmu, aku tidak mau sampai terlambat," imbuh Kenan lagi dan langsung melangkah panjang ke pintu keluar.

Willona dengan tergesa langsung mengambil berbagai tumpukkan dokumen yang telah dipersiapkan sedaritadi, ia tak mau sampai melihat tanduk keluar dari kepala sang atasan.

Seluruh karyawan menunduk hormat pada kedatangan Boss mereka dan juga wanita cantik yang selalu berada di samping lelaki tampan itu.

Langkah panjang yang dibalut sepatu pantofel memaksa Wiillona harus menyelaraskan langkah. Mengingat Kenan sama sekali tidak menyukai keterlambatan dan juga ketidaksiplinan.

"Pastikan seluruh dokumen kerja sama terbawa. Jangan sampai tertinggal," sambung Kenan saat tubuh kekar itu telah memasuki lift diikuti Willona telah berdiri di sampingnnya. "Satu hal lagi, wanita untuk Mr. Chen Lou sudah kau siapkan?" Kenan kembali merapihkan dasinya yang sedikit mencekik.

Willona mengangguk hormat. Ia tadi juga hampir melupakan kebiasaan buruk Mr. Chen Lou, tapi untungnya alarm ponselnya membuat Willona selamat dunia akhirat. "Sudah Pak, seperti biasa," jawabnya.

Pintu lift terbuka membawa mereka tiba di lobby, mobil hitam mewah sudah terparkir elegan di depan perusahaan. Siap mengantar sang pemilik ke mana pun.

Kenan masuk dengan begitu angkuh penuh kuasa, sedangkan Willona menghentikan langkahnya sejenak untuk menarik napas dalam, setelahnya senyum palsu terlukis di bibir sebelum tubuhnya ikut masuk.

Perjalanan mobil mereka hanya memakkan waktu sepuluh menit. Maka dari itu Willona begitu senang mengikuti meeting kali ini. Sangat cepat, dan akan ia selesaikan dengan waktu yang sama.

Kenan dan Willona berjalan menyusuri lorong di sebuah restauran yang begitu tertutup hanya tamu VIP terpilihlah yang bisa masuk ataupun menyewa tempat tersebut. Tidak berapa lama mereka menemukan nomor ruang private klien mereka.

Terlihat seorang lelaki tua beruban tersenyum ramah pada Kenan dan Willona.

"Hallo Mr. Kenan."

"Hallo Mr. Chen Lou ... apakah wanita yang sudah saya siapkan cukup bisa melayani Anda?" ucap Kenan sembari menjabat tangan lelaki berwajah Chinese tersebut.

Mr. Chen Lou tidak menjawab pertanyaan Kenan. Tapi, pandangannya justru teralih pada sosok cantik yang berada di samping Kenan. Lelaki itu mengulurkan tangan pada Willona dengan senyum sumringah.

"Nona Willona semakin cantik saja," puji Mr. Chen Lou, lantas menoleh ke arah Kenan. "Apakah aku bisa mengganti wanita-wanita itu dengan Nona Willona, Tuan Kenan? Maksudku, hanya menemani makan malam. Apa bisa?"

Manik biru Kenan menajam mendengar permintaan terang-terangan tersebut. Tubuh Willona mendadak bergerak sangat dekat dengan tubuh Kenan. Wanita itu menurunkan pandang pada tangan kekar yang melingkar lancang di pinggang rampingnya.

"Maafkan saya, Mr. Chen Lou ... kalau Nona Willona tidak bisa aku serahkan, karena dia adalah istriku."